Durian Maiwa dan Pelajaran Berbagi dari Kaluppang Enrekang

Enrekang
MENARIK. Bupati Enrekang, Yusuf Ritangnga bersama beberapa kolega menikmati durian Maiwa di Halaman Rumah Jabatan Bupati Enrekang. (foto:instagram)

ENREKANG, inspirasinusantara.id — Akhir Desember 2025, aroma durian kembali menguat di sejumlah wilayah Sulawesi Selatan. Musim ini selalu datang seperti penanda waktu: dinanti, dirayakan, dan dinikmati bersama. Dari Luwu Utara hingga Enrekang, durian bukan sekadar buah, tetapi bagian dari denyut hidup masyarakat.

Di tengah musim itu, Bupati Enrekang Yusuf Ritangnga turut “menyapa” publik lewat unggahan Instagram. Ia memperkenalkan Durian Maiwa—durian khas dari Kecamatan Maiwa, Enrekang—dengan satu kalimat sederhana namun penuh keyakinan: “Durian Maiwa tidak ada duanya. Luar biasa.”

Unggahan itu bukan hanya promosi buah. Ia adalah pintu masuk menuju kisah panjang tentang tanah, warga, dan nilai kebersamaan yang masih hidup di pedesaan Enrekang.

Salah satu sentra durian di Maiwa berada di Desa Kaluppang. Desa dengan penduduk sekitar 3.000 jiwa ini terletak sekitar 50–60 kilometer dari pusat Kota Enrekang, sekaligus berada di kawasan perbatasan dengan Kabupaten Sidrap. Setiap musim durian tiba, Kaluppang berubah menjadi tujuan. Penikmat durian datang dari berbagai daerah, menyusuri jalan desa demi mencicipi rasa yang disebut-sebut berbeda itu.

Durian di Kaluppang bukan hanya soal rasa legit dan daging tebal. Bagi warga, ia adalah sumber penghidupan utama. Baharuddin, salah satu warga, menggambarkan bagaimana musim durian tahun ini membawa berkah. Ia menyebut, hampir seluruh pohon durian milik warga berbuah lebat.

“Tahun ini, semua pohon durian milik warga berbuah cukup banyak. Ada yang berbuah 300 sampai 700 buah per pohon, dengan harga per buah Rp4.000 sampai Rp7.000,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari berbagai artikel.

Namun, yang membuat durian Kaluppang istimewa bukan hanya produktivitasnya. Ada aturan tak tertulis yang dijaga lintas generasi, sebuah tradisi yang justru menjadi fondasi harmoni sosial desa.

Di Kaluppang, siapa pun boleh memungut durian yang jatuh dari pohonnya. Bahkan jika pohon itu bukan miliknya. Selama durian jatuh dengan sendirinya, buah itu dianggap halal untuk diambil oleh siapa saja yang menemukannya.

Sebaliknya, warga yang mencoba memagari pohon duriannya dan melarang orang lain memungut durian jatuh akan mendapat sanksi sosial. Ia dicemooh, dicap kikir, bahkan dipercaya sebagai penyebab durian tak lagi berbuah.

“Biar kita tidak punya pohon durian di desa ini, tetap bebas memungut durian di kebun orang lain. Kecuali dipanjat atau dilempar, itu tidak halal. Tapi sepanjang duriannya jatuh sendiri, siapa pun yang mendapatinya boleh mengambilnya,” kata Baharuddin.

Tradisi ini menjadikan durian lebih dari sekadar komoditas. Ia adalah alat berbagi, penanda keadilan sosial, dan pengingat bahwa rezeki tak selalu harus dipagari. Di tengah logika ekonomi modern yang sering menekankan kepemilikan dan batas, Kaluppang justru merawat nilai sebaliknya: kebersamaan.

Maka ketika Bupati Enrekang memperkenalkan Durian Maiwa ke ruang digital, yang sejatinya diperkenalkan bukan hanya buah unggulan daerah. Ada cerita tentang desa yang hidup dari alam, tentang warga yang percaya pada berbagi, dan tentang tradisi yang membuat durian tetap berbuah—bukan hanya di pohon, tetapi juga dalam relasi antarmanusia.

Di Kaluppang, durian jatuh bukan sekadar tanda matang. Ia adalah simbol kepercayaan. (*/IN)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top