back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
28.3 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Bekerja Aman di Zaman Serba Digital

Penulis: Muthi’ah Sahra Fadillah Patangke (Mahasiswa Program Magister K3 FKM Unhas) Di tengah persaingan global dan perubahan industri yang semakin cepat, keselamatan dan kesehatan kerja...
BerandaBudayaDari Mitos ke Aksi Nyata, Tradisi Sulsel Lawan Krisis Iklim

Dari Mitos ke Aksi Nyata, Tradisi Sulsel Lawan Krisis Iklim

inspirasinusantara.id — Ketika dunia berlomba menghadapi krisis iklim, masyarakat adat di Sulawesi Selatan (Sulsel) justru telah lama mempraktikkan cara-cara alami yang selaras dengan prinsip konservasi modern. Melalui mitos, aturan adat, dan tradisi menjaga hutan serta mangrove, mereka ikut berperan mengurangi dampak perubahan iklim tanpa menyebutnya secara ilmiah.

Di tengah maraknya deforestasi, masyarakat Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba masih memegang teguh aturan adat yang disebut Passang Ri Kajang. Dalam hukum adat ini, warga dilarang menebang kayu, meretas rotan, berburu satwa, hingga mencabut rumput di kawasan hutan adat (Borong Karama’).

“Bagi kami, hutan adalah ibu yang memberi hidup. Jika kami menebangnya, berarti kami melukai diri sendiri,” tutur Ambo Towa, tokoh adat Kajang, dikutip dari Forestdigest.com.

Hutan Borong Karama’ yang dianggap keramat, kini menjadi pelindung alami terhadap perubahan iklim. Dilansir dari RRI.co.id (2023) menunjukkan, wilayah hutan larangan Kajang berperan menjaga suhu mikro dan menahan erosi, sekaligus menyimpan cadangan karbon penting bagi ekosistem setempat.

Tradisi serupa juga hidup di komunitas adat Patalassang, Kabupaten Gowa. Menurut laporan Mongabay Indonesia (2013), masyarakat di sana tidak bisa menebang pohon tanpa izin adat. Sebelum menebang, mereka “berdialog” dengan alam melalui pemangku adat untuk memastikan pohon tersebut “rela ditebang.” Jika tidak, penebangan dibatalkan.

Baca juga : Bukan Sekadar Gaya Hidup: Keadilan Krisis Iklim Dimulai dari Dapur 

Kebiasaan itu terbukti menjaga keanekaragaman hayati dan menghindarkan wilayah mereka dari longsor serta kekeringan ekstrem yang kini sering terjadi di banyak daerah.

Mangrove, Penjaga Pesisir dari Kenaikan Air Laut

Selain di daratan, masyarakat pesisir Sulsel juga punya tradisi menjaga hutan mangrove (bakau)  ekosistem yang kini disebut ilmuwan sebagai benteng alami menghadapi krisis iklim.

Menurut data Pemprov Sulsel (2025), dalam setahun terakhir, dilakukan penanaman 142.000 bibit mangrove di empat kabupaten pesisir untuk mendukung rehabilitasi pesisir dan ekonomi biru. Program ini juga melibatkan komunitas lokal, pelajar, hingga pelaku usaha kecil. (sumber: sulselprov.go.id)

Sementara di pesisir Makassar, aktivis lingkungan Nirwan Dessibali melakukan restorasi mangrove di Lantebung bersama masyarakat sekitar. Ia menegaskan bahwa mangrove bisa menyerap karbon lima kali lebih banyak dibanding hutan tropis biasa.

“Kalau kita hilangkan mangrove, artinya kita membuka jalan untuk badai, abrasi, dan kehilangan cadangan karbon alamiah,” ujar Nirwan dikutip dari mangobay.co.id

Dari Hutan Keramat ke Harapan Dunia

Krisis iklim bukan hanya urusan teknologi dan kebijakan internasional. Di Sulawesi Selatan, solusi justru berakar dari keyakinan lama: menjaga alam sama dengan menjaga hidup.

Dari hutan larangan Ammatoa Kajang hingga mangrove Lantebung, masyarakat membuktikan bahwa mitos bukan penghalang kemajuan, melainkan panduan moral untuk melindungi bumi.

Ketika dunia berbicara soal emisi karbon, masyarakat adat Sulsel sudah melakukannya dengan caranya sendiri, melalui doa, larangan, dan rasa hormat terhadap alam. (*/IN)