back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
26.9 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Bapenda Makassar Lakukan Penertiban Reklame Ilegal

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar kembali melakukan penertiban terhadap reklame ilegal yang tidak membayar pajak dan melanggar aturan perizinan. Penertiban ini...
BerandaEksklusifKrisis Ekologis di Sungai Tallo Makassar

Krisis Ekologis di Sungai Tallo Makassar

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Suatu sore di musim kemarau, Prof Khusnul Yaqin, berdiri di tepi kanal Biring Romang, memandangi permukaan air yang kehitaman.

“Warnanya seperti tas ini,” ujarnya sembari menunjuk ransel miliknya. Air itu tak hanya keruh dan berbau, tapi juga nyaris tanpa oksigen.

“Kami ukur pakai diometer, hasilnya nol. Nol oksigen itu sama dengan ruangan hampa udara. Tak ada kehidupan.”

Baca juga: Seni Melawan Krisis Iklim di Makassar

Sungai Tallo, salah satu sungai utama di Kota Makassar, kini menghadapi ancaman ekologis yang serius. Dalam riset terbatas yang dilakukan Prof. Khusnul dan tim dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, sejumlah titik aliran sungai menunjukkan gejala pencemaran akut.

“Bukan sekadar limbah rumah tangga. Ini pencemaran berat,” katanya.

Air Mati di Kanal-Kanal Kota

Penelitian dilakukan dengan pendekatan hotspot sampling, yakni mengambil titik-titik yang secara kasat mata dan dari laporan warga menunjukkan tanda pencemaran.

Kanal Biring Romang dan Bontoa menjadi lokasi paling mengkhawatirkan. Di sana, air berwarna hitam dan berbau menyengat. Ketika diuji, kandungan oksigen terlarut—indikator utama kualitas air—berada di angka nol.

Baca juga: Iklim Tak Pernah Netral: Warga Miskin Makassar di Titik Terdepan

Namun yang lebih mencemaskan adalah hasil uji biologis terhadap organisme hidup. Tim Khusnul menggunakan embrio ikan Oryzias celebensis, atau dikenal sebagai ikan binisi oleh warga lokal. Embrio ini direndam selama enam hari di air Sungai Tallo. Hasilnya: semuanya mati.

“Yang di Lakkang ada dua yang selamat, tapi pertumbuhannya terlambat dan akhirnya mati juga,” ujar Khusnul.

Embrio binisi dikenal memiliki korion (lapisan telur) tebal dan relatif tahan pencemaran, sehingga hasil ini menunjukkan tingginya tingkat toksisitas air.

Kisah Ikan yang Hilang

Dulu, Sungai Tallo menjadi rumah bagi ikan-ikan lokal seperti salamata dan kakap putih. Kini, sebagian besar sudah menghilang.

“Warga bilang, dulu banyak ikan, sekarang sulit ditemukan. Produktivitas berkurang,” kata Khusnul.

Tak hanya ikan, kawasan bantaran Sungai Tallo juga menyimpan sistem penyangga alami: pohon nipah. Tanaman ini tumbuh lebat di pinggiran sungai dan secara ekologis terbukti menyerap logam berat.

“Kami uji, E. coli di tepi sungai yang ditumbuhi nipah lebih sedikit dibanding tengah sungai,” ujarnya.

Baca juga: Makassar dan Krisis Iklim dari Rumah Tangga

Bahkan penelitian mahasiswa Unhas menunjukkan air nira dari pohon nipah tidak mengandung logam berat, meski akarnya penuh kandungan logam.

“Artinya, nipah menyerap dan menyimpan logam itu di akarnya. Tapi buahnya aman,” jelasnya.

Namun sayangnya, banyak pohon nipah ditebang. Warga belum sepenuhnya sadar fungsi ekologisnya. Padahal selain menyerap pencemaran, nipah juga memiliki nilai ekonomi. Dari hasil panen ballo (nira), warga bisa memperoleh penghasilan hingga Rp700 ribu per hari.

Negara yang Tidak Hadir Sepenuhnya

Penelitian Khusnul dan tim hanya dilakukan beberapa kali, dan tidak mencakup keseluruhan Sungai Tallo.

“Idealnya dilakukan sepanjang tahun,” ujarnya. Namun dana terbatas. Pemerintah pun, menurutnya, masih memandang remeh peran riset lingkungan.

Padahal, dampaknya bisa jauh melampaui sektor ekologi. Mahasiswa Unhas pernah meneliti ikan binisi yang ditangkap di Sungai Tallo dan tambak sekitar Jalan Tol Makassar.

Baca juga: Pakaian Bekas di Makassar dan Iklim yang Kian Sesak

Hasilnya mencengangkan: kandungan timbal (Pb) dalam tubuh ikan mencapai 35 mg/kg, padahal ambang batas aman menurut SNI hanya 1,5 mg/kg. Artinya, ikan yang dikonsumsi masyarakat bisa menjadi vektor logam berat ke tubuh manusia.

Namun Dinas Lingkungan Hidup maupun instansi lain jarang melakukan investigasi menyeluruh. Bahkan topik-topik baru seperti mikroplastik nyaris belum tersentuh.

“Padahal itu bahaya yang nyata,” katanya.

Belajar dari Berlin, Menolak Jalan Pintas

Khusnul lalu membandingkan dengan pengalamannya saat menempuh studi doktoral di Berlin. Di sana, ketika ditemukan pencemaran organoklorin di sungai, pemerintah setempat tidak melarang memancing, tapi mewajibkan hasilnya dijual ke pemda untuk dimusnahkan.

“Selama tiga tahun pemerintah membeli dan membakar semua ikan tangkapan. Mahalnya luar biasa, tapi nyawa manusia dianggap mahal,” tuturnya.

Bandingkan dengan Indonesia, di mana pakar lingkungan seperti dirinya kerap dipandang sebelah mata. Penelitian dianggap mahal, tidak instan, tidak “menghasilkan”. Pemerintah lebih suka mengejar inovasi teknologi cepat saji, tapi abai pada dasar keberlanjutan: lingkungan.

“Kalau lingkungan rusak, yang sakit manusianya. Harapan hidup kita sekarang mungkin sekitar 55 tahun. Di Jerman, bisa sampai 90. Itu soal kualitas lingkungan,” katanya.

Tudang Sipulung untuk Menyelamatkan Tallo

Menurut Khusnul, salah satu solusi menyeluruh adalah mengadakan forum terbuka yang melibatkan semua pemangku kepentingan.

“Kita perlu tudang sipulung. Universitas, industri, pemerintah, masyarakat, NGO, duduk bersama. Bangun rasa kepemilikan,” ujarnya.

Ia juga mengusulkan penggunaan alat pemantau kualitas air otomatis yang datanya bisa diakses melalui ponsel atau komputer.

“Kalau alat kurang, industri bisa bantu. Toh mereka juga mengambil manfaat dari sungai ini.”

Lebih jauh, ia mendorong pengolahan limbah terpadu, penampungan limbah rumah tangga, serta pengembangan produk-produk turunan dari ekosistem lokal seperti nipah: nata de coco, gula semut, hingga produk kesehatan berbasis antioksidan alami.

Kesadaran Ekologis sebagai Fondasi Peradaban

Dalam pandangan Khusnul, budaya Bugis-Makassar adalah budaya perairan. Sungai bukan sekadar jalur air, tapi nadi peradaban. Maka sudah seharusnya paradigma pemerintahan di Makassar berpijak pada pengelolaan wilayah berbasis sungai dan pesisir.

Namun itu semua tak akan berarti jika pemerintah terus berpikir jangka pendek.

“Tambang itu ada batasnya. Kalau habis, selesai. Tapi keanekaragaman hayati seperti nipah, selama kita jaga dan tanam ulang, tidak akan habis. Itu tabungan jangka panjang manusia Nusantara.”

Tapi negeri ini, kata Khusnul, sedang kehilangan kesabaran.

“Maunya instan. Ambil, jual, untung. Tidak pakai otak.” (Andi/IN)