Layanan Publik Makassar Berubah, Munafri Arifuddin Pilih Sistem Terpadu

Munafri Arifuddin
INOVASI. Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin saat memimpin rapat pembahasan pengintegrasian server teknologi informasi dan aplikasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Ruang Rapat Sipakatau, Kantor Wali Kota Makassar, Selasa (30/12/2025). (foto:ist)

MAKASSAR, inspirasinusantara.id — Di tengah tuntutan layanan publik yang semakin cepat dan transparan, tata kelola teknologi informasi menjadi salah satu tantangan utama pemerintahan kota. Di Makassar, pengelolaan sistem digital yang terpisah-pisah antarinstansi selama ini berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran, duplikasi aplikasi, hingga risiko keamanan data.

Isu tersebut menjadi fokus Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin saat memimpin rapat pembahasan pengintegrasian server teknologi informasi dan aplikasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Ruang Rapat Sipakatau, Kantor Wali Kota Makassar, Selasa (30/12/2025). Rapat ini dihadiri Sekretaris Daerah Kota Makassar serta seluruh jajaran SKPD lingkup Pemerintah Kota Makassar.

Munafri Arifuddin menyampaikan bahwa Pemerintah Kota Makassar berpotensi menghemat anggaran sekitar Rp20–30 miliar per tahun melalui sentralisasi server dan integrasi aplikasi layanan publik. Efisiensi tersebut, menurutnya, dapat dicapai tanpa mengurangi layanan kepada masyarakat, bahkan justru meningkatkan kualitas dan keterpaduan layanan.

Penghematan anggaran itu dirancang melalui penguatan Layanan Online Terintegrasi Warga Makassar (LONTARA+) sebagai super apps layanan publik. Platform ini mengintegrasikan layanan dari 51 SKPD dan 210 subbagian dalam satu sistem dengan standar harga dan alur layanan yang seragam.

Munafri menjelaskan bahwa LONTARA+ telah terhubung dengan Dasbor Command Center di Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Makassar. Melalui sistem tersebut, seluruh proses layanan dan aduan masyarakat dapat dipantau secara waktu nyata, sehingga mempercepat respons, meningkatkan transparansi, dan memperkuat akuntabilitas pelayanan.

Dalam arahannya, Munafri menegaskan bahwa ke depan seluruh aplikasi dan server teknologi informasi di lingkungan SKPD akan terintegrasi dan berpusat di Diskominfo. Kebijakan ini, menurutnya, bukan semata pilihan teknis, melainkan bagian dari tata kelola pemerintahan digital yang sejalan dengan regulasi nasional.

“Secara regulasi nasional, tidak ada satu pun aturan yang membolehkan SKPD membangun infrastruktur IT secara independen tanpa tata kelola dari Dinas Kominfo,” kata Munafri.

Ia menilai pengelolaan sistem digital secara terpisah justru membuka ruang pembelian berulang, meningkatkan biaya operasional, dan menyulitkan pengawasan. Dengan sentralisasi, pemerintah kota dapat memastikan keamanan data, kesinambungan layanan, serta keseragaman standar sistem di seluruh perangkat daerah.

“Kita ingin pelayanan kepada masyarakat berjalan lebih baik, lebih cepat, dan lebih aman. Dengan sistem yang terintegrasi, pemerintah bisa bekerja lebih efisien dan akuntabel,” ujarnya.

Munafri juga menegaskan bahwa integrasi tidak berarti seluruh tanggung jawab pengelolaan teknologi informasi dibebankan kepada Diskominfo. Dalam skema ini, Diskominfo berperan sebagai pengelola utama infrastruktur digital, termasuk pusat data, server, keamanan informasi, dan integrasi antar sistem, sementara SKPD tetap mengelola modul layanan, proses bisnis, dan inovasi sesuai bidang masing-masing.

“Pada saat terintegrasi, ada tugasnya Kominfo dan ada tugasnya SKPD. Bukan berarti semuanya diserahkan ke Kominfo lalu SKPD tinggal diam,” jelas Munafri.

Memasuki 2026, seluruh pengadaan infrastruktur teknologi informasi, termasuk server untuk Command Center dan Makassar Government Center (MGC) atau Mal Pelayanan Publik (MPP), akan berada dalam kerangka sistem terintegrasi. Pendekatan ini dirancang untuk menjaga keseimbangan antara sentralisasi infrastruktur dan ruang inovasi di tingkat SKPD.

Munafri menekankan bahwa kebijakan ini bertujuan menghilangkan pemborosan anggaran akibat sistem yang berjalan sendiri-sendiri. Menurutnya, jika satu sistem dapat digunakan bersama, tidak ada alasan bagi instansi untuk membangun atau membeli infrastruktur yang sama secara terpisah.

“Bukan soal mengambil tanggung jawab, tetapi menghilangkan kemungkinan pembelian berulang. Kalau ada satu sistem yang bisa dipakai bersama, kenapa harus beli sendiri-sendiri,” katanya.

Ia menambahkan, jika akumulasi efisiensi ini dihitung dalam jangka lima tahun, potensi penghematan dapat mencapai ratusan miliar rupiah, di luar manfaat non-anggaran seperti penguatan kemandirian sistem dan berkurangnya ketergantungan pada pihak luar.

Munafri juga menyoroti pentingnya integrasi layanan strategis, seperti Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), agar seluruh proses dapat dipantau masyarakat dari awal hingga akhir melalui LONTARA+.

“Pelayanan harus transparan. Masyarakat harus tahu berapa biayanya, ke mana uangnya, dan bagaimana prosesnya berjalan,” ujarnya.

Di akhir arahannya, Munafri mengajak generasi muda Makassar untuk terlibat dalam penguatan sistem digital pemerintahan. Menurutnya, transformasi digital tidak hanya soal teknologi, tetapi juga budaya kerja kolaboratif dan komitmen memperbaiki sistem bersama.

Dengan sentralisasi server dan integrasi layanan digital, Pemerintah Kota Makassar menempatkan efisiensi anggaran sebagai pintu masuk perbaikan tata kelola. Tantangan berikutnya adalah memastikan sistem ini dijalankan secara konsisten, sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat dalam bentuk layanan publik yang lebih cepat, aman, dan transparan. (*/IN)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top