Bukan Kebetulan. Ini Tanda Perubahan Iklim Sudah Nyentuh Makanan Sehari-hari Kita
Penulis: Farisal
Di pertengahan Desember 2025, matahari sore di pinggir Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar memantulkan kilau merah rambut-rambut kecil yang tertata lesu di keranjang pedagang. “Rambutannya sudah ada, Pak,” kata Arif, si penjual, sambil menunjuk buah-buah yang baru saja tiba. Tetapi ada sesuatu yang berbeda.
Harga mencapai Rp30.000 per kilogram atau hampir setengah lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya di waktu yang hampir sama. Bukan hanya itu: buah-buah ini bukan lagi berasal dari kampung-kampung rambutan yang dekat, yakni di Kabupaten Gowa yang biasanya berbuah lebat di musimnya. Saat ini, buah datang dari berbagai daerah jauh, karena di Gowa sendiri belum banyak, bahkan kurang buahnya.
“Buah kecil berjatuhan waktu akhir Oktober sampai awal November. Banyak gagal, ini tidak biasanya,” ujar Daeng Te’ne, seorang penjual di Pasar Balang-balang yang juga memiliki kebun rambutan di Bontomarannu, Minggu, (14/12/2025). Suaranya rendah, tetapi ada keheranan yang sama di antara petani lain di pasar itu.
Di desa tempat saya tinggal, di kaki bukit Bontomarannu, pohon-pohon rambutan yang biasanya berbuah rimbun sejak awal November kini tampak lebih banyak bunganya yang gugur tanpa berbuah. Rambutannya kalah jumlah, kalah warna, kalah musim.
Selama bertahun-tahun, musim rambutan di Sulawesi Selatan adalah ritme yang tak tertulis: buah matang dan dipanen antara November sampai Januari, dan harga pasar pun stabil. Kini, ritme itu terguncang.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produksi rambutan nasional mencapai sekitar 9,6 juta kwintal (sekitar 960.000 ton) pada 2024, menjadikannya salah satu buah tropis penting di negeri ini. Namun tren tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan produksi hampir 5%, dengan konsumsi lokal yang juga berfluktuasi di berbagai daerah, termasuk Sulawesi Selatan dikutip dari GoodStats.
Di tingkat iklim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam laporan tahunan iklimnya menyebutkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan suhu rata-rata dan anomali curah hujan dalam beberapa tahun terakhir. BMKG mencatat bahwa periode 2023–2025 termasuk dalam fase dengan variabilitas iklim tinggi, ditandai dengan pergeseran awal musim hujan dan intensitas hujan yang tidak merata di berbagai wilayah, termasuk Sulawesi Selatan.
Dalam literatur pertanian, perubahan pola hujan dan suhu berpengaruh langsung pada fase generatif tanaman buah. Studi yang diterbitkan dalam jurnal Agriculture (MDPI, 2024) menjelaskan bahwa tanaman buah tropis sangat sensitif terhadap perubahan iklim karena fase pembungaan dan pembentukan buah membutuhkan kondisi cuaca yang relatif stabil. Ketidaksesuaian antara curah hujan, suhu, dan waktu berbunga dapat menyebabkan kegagalan buah atau penurunan kualitas hasil panen.
Fenomena ini menjelaskan mengapa bunga rambutan tetap muncul, tetapi buahnya tidak bertahan hingga matang.
Di tingkat lokal, perubahan itu diterjemahkan melalui bahasa sehari-hari petani: buah jatuh, musim lambat, hasil berkurang. Tidak ada istilah teknis, tetapi ada pengalaman berulang yang dirasakan bersama.
Rambutan tidak hilang total, tetapi ritmenya mendadak berubah.
Bukan hanya Gowa. Di beberapa sentra rambutan lain, produksi buah juga tidak stabil seperti dulu. Petani berbicara soal waktu bunga yang tidak sinkron, hujan yang datang terlalu cepat atau terlalu lambat, panas yang tiba lebih sering, hal-hal yang dulu terasa biasa kini terasa canggung.
“Biasanya kalau akhir November atau awal Desember ada mi Rambutan, kata Risman seorang teman yang berdomisili di Buriko, Kabupatan Wajo saat dihubungi melalui telpon.
Fenomena ini bukan sekadar cerita lokal, melainkan bagian dari pola besar. Para ahli iklim memperingatkan bahwa perubahan pola cuaca global, alias perubahan iklim, dapat memengaruhi produksi tanaman buah tropis dengan merusak fase-fase penting tanaman seperti pembungaan, penyerbukan, dan pengikatan buah. Suhu tinggi, hujan yang tidak menentu, atau periode kering yang panjang memengaruhi kemampuan pohon untuk menghasilkan buah secara normal dikutip dari jurnal MDPI.
Bahkan laporan global tentang bagaimana perubahan iklim mengancam produksi buah tropis menyebut bahwa naiknya suhu dan perubahan pola hujan bisa memengaruhi siklus hidup tanaman, termasuk penyerbukan dan kualitas buah seperti yang tercatat dalam ResearchGate.
Petani rambutan di Gowa tidak perlu istilah ilmiah untuk merasakan dampaknya, mereka melihatnya setiap pagi di kebun mereka. “Dulu setiap rumah punya pohon rambutan bisa dipanen,” kata Daeng Te’ne.
“Sekarang pohon itu lebih sering berbuah kecil atau buahnya jatuh sebelum matang,” sambungnya.
Perubahan iklim telah memberi dunia cuaca yang tidak biasa. Ekstrim panas yang datang lebih cepat, hujan yang turun di luar musim, atau jeda-jeda panjang tanpa tetes yang berarti, semua ini memengaruhi tanaman yang selama puluhan tahun bergantung pada siklus musiman yang stabil.
Menurut data iklim terbaru, Indonesia mengalami anomali suhu yang memecahkan rekor hangat dalam beberapa tahun terakhir, trend yang dapat membuat fase bunga dan buah tanaman menjadi tidak sinkron dikutip dari Reddit.
Bunga yang mekar terlalu cepat atau terlambat berarti penyerbukan menjadi kurang optimal, dan buah pun gagal berkembang dengan baik sebelum musim panen tiba. Hal ini bukan hanya menurunkan jumlah buah, tetapi juga memperpendek musim panen, sehingga waktu pasar dan harga pun berubah.
Harga yang Naik, Mereka yang Merasakan
Di pasar, harga buah rambutan menjadi tanda paling nyata bagi konsumen dan petani: harga melonjak tajam, karena pasokan menipis sementara permintaan tetap. Ketika buah rambut itu tidak lagi datang dari kebun dekat rumah, melainkan dari tempat jauh yang butuh ongkos angkut lebih besar, harga pun melonjak.
Bagi pedagang kecil seperti Arif, itu berarti harga jual harus naik demi keuntungan yang tetap. Bagi petani lokal, itu berarti buah yang diharapkan sebagai pendapatan besar musim ini kalah jumlah. Bagi konsumen, itu berarti buah favorit saat musim panas tiba kini terasa lebih mahal, bahkan terasa “hilang”.
Cerita dari Bontomarannu: Ketika Alam Bicara
Dalam percakapan singkat di pasar, Daeng Te’ne menatap pohon-pohon rambutan dekat rumah warga sekitaran pasar yang dulu membara dengan buahnya. Ia menatap tajam salah satu pohon yang kini penuh bunga tetapi sedikit buah. “Ini tidak biasa,”katanya sekali lagi. “Musimnya berubah mi, dan kita mi yang rasakan sekarang,” tegasnya.
Cerita itu bukan sekadar anekdot. Itu adalah gejala yang lebih besar tentang bagaimana iklim yang berubah memengaruhi makanan kita sehari-hari, sesuatu yang dulu terasa stabil kini menjadi tanda ketidakpastian. Petani, pedagang, dan konsumen kini berbagi pengalaman yang sama: produksi turun, musim tergeser, harga naik, dan buah yang selalu menandai musim raya terasa lebih jarang.
Dalam kisah rambutan musim 2025 ini, terdapat pesan yang lebih luas: perubahan iklim bukan lagi isu jauh di puncak gunung atau kutub utara. Ia sudah berada di meja makan kita, terlihat dari harga yang kita bayar, dari pasar yang kita kunjungi, dari kebun yang kita lewati. Ini bukan kebetulan. Ini tanda perubahan iklim telah menyentuh makanan sehari-hari kita.
Dan ketika rambutannya “hilang”, itu bukan sekadar rasa rindu musiman, tetapi alarm kecil dari alam bahwa sesuatu telah berubah. (*/IN)