back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30.5 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Makassar Makin Padat: Hutan Kota yang Hilang

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Siang itu, Maulana Ishak menatap matahari dari balik jendela rumahnya di Mariso. Udara terasa tajam, menampar kulit tanpa ampun. Sinar mentari...
BerandaPerempuanPelajaran dari Mitos Buaya di Makassar: Ketika Keseimbangan Alam dan Manusia Terganggu

Pelajaran dari Mitos Buaya di Makassar: Ketika Keseimbangan Alam dan Manusia Terganggu

Penulis: Farisal, Mahasiswa Kajian Budaya Pascasarjana FIB-Unhas

KISAH warga Makassar yang meyakini bahwa seekor buaya adalah bagian dari leluhur mereka, hingga berujung pada tragedi, bukan sekadar kejadian aneh atau irasional. Ini adalah contoh nyata bagaimana mitos berfungsi sebagai peringatan atas keseimbangan antara manusia dan alam. Dalam tulisan berjudul “Legenda Buaya di Kalangan Masyarakat Sulawesi Selatan” yang diterbitkan historia.id menegaskan bahwa di Sulawesi Selatan masyarakat percaya buaya adalah jelmaan dari leluhur.

Dalam berbagai mitologi lokal di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan, hewan seperti buaya sering kali diasosiasikan dengan leluhur atau penjaga alam. Kepercayaan ini bukan sekadar cerita turun-temurun, tetapi refleksi dari hubungan manusia dengan lingkungannya. Roland Barthes (1972) dalam Mythologies menjelaskan bahwa mitos bukan sekadar kisah, tetapi konstruksi makna yang membentuk cara pandang masyarakat terhadap realitas. Dalam kasus ini, mitos buaya mengandung pesan tentang harmoni yang harus dijaga antara manusia dan alam.

Peringatan

Tragedi yang menimpa Baco Daeng Rani, pria yang mengaku cucu buaya yang diterkam saat memberi telur ke hewan berukuran 5 meter itu di Cimory Dairy Land Gowa, Senin malam (17/02/2025) bisa dilihat sebagai bentuk “kemarahan” alam ketika keseimbangan terganggu. Dalam banyak kepercayaan lokal, makhluk seperti buaya dipercaya memiliki peran sebagai penjaga alam, dan ada aturan tidak tertulis bahwa mereka harus dihormati. Ketika buaya ini ditangkap dan dipindahkan, warga yang meyakininya sebagai leluhur merasa bahwa tatanan kosmis mereka telah dilanggar.

Harus dipahami bahwa sistem simbol dalam suatu budaya adalah cara masyarakat memahami dunia. Mitos tentang buaya sebagai leluhur bukan hanya kepercayaan lama yang usang, tetapi juga cerminan dari ekologi spiritual yang berkembang seiring dengan interaksi manusia dan alam. Ketika buaya itu ditangkap dan ditempatkan dalam penangkaran, reaksi warga tidak hanya emosional, tetapi juga bagian dari upaya mempertahankan harmoni dengan dunia yang mereka yakini.

Modernitas dan Keseimbangan Alam

Modernitas sering kali mengabaikan aspek kepercayaan lokal dalam menangani persoalan alam. Bagi pemerintah, buaya adalah ancaman yang harus diamankan demi keselamatan publik. Namun, bagi warga yang masih memegang mitos tersebut, buaya bukan sekadar hewan liar, melainkan bagian dari sistem nilai mereka. Inilah bentuk pertarungan ideologi yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu (1986) melalui konsep habitus, di mana tindakan masyarakat dibentuk oleh kebiasaan dan struktur sosial yang telah lama mereka anut.

Ironisnya, ketika Baco Daeng Rani mencoba menunjukkan kasih sayang kepada buaya yang ia anggap leluhur, ia justru menjadi korban serangan. Ini mengingatkan pada banyak kisah dalam mitologi lokal, di mana manusia yang melanggar tatanan alam sering kali menerima konsekuensi. Dalam banyak cerita rakyat, makhluk seperti buaya, harimau, atau ular sering kali digambarkan sebagai penjaga keseimbangan. Mereka bisa melindungi, tetapi juga bisa menghukum jika manusia terlalu lancang atau melanggar batas.

Belajar dari Kearifan Lokal

Kejadian ini memberikan pelajaran bahwa keseimbangan dengan alam adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam banyak budaya tradisional, ada aturan tidak tertulis tentang bagaimana manusia harus berinteraksi dengan lingkungan. Modernisasi yang mengabaikan dimensi budaya dan spiritualitas sering kali berujung pada konflik, baik secara sosial maupun ekologis.

Mitos, sebagaimana dijelaskan Barthes, bukan hanya sekadar kisah, tetapi juga alat yang digunakan masyarakat untuk memahami dunia. Dalam konteks ini, mitos tentang buaya sebagai leluhur seharusnya tidak dilihat sebagai takhayul belaka, tetapi sebagai pengingat bahwa manusia harus selalu menjaga harmoni dengan alam. Jika keseimbangan terganggu, konsekuensinya bisa datang dalam bentuk yang tak terduga dan kisah di Makassar ini menjadi salah satu bukti nyata.

Tragedi ini seharusnya menjadi refleksi bahwa ada batasan dalam hubungan manusia dan alam yang tidak bisa dilanggar tanpa konsekuensi. Dalam hal ini, mitos memiliki fungsi sosial dan ekologis yang penting dalam menjaga keseimbangan. Mitos konsepnya aturan, pesan, dan tuturan . Oleh karena itu, dalam menangani konflik antara manusia dan satwa liar, lebih menghargai perspektif lokal sangat diperlukan agar keseimbangan yang telah dijaga selama berabad-abad tidak semakin terkikis oleh modernitas. Akankah buaya menunjukkan perilaku buas para pemilik modal? (*)