IN, MAKASSAR — Terik matahari membuat aroma begitu menyengat di bantaran kanal di RT 1 RW 5, Kelurahan Pattingalloang, Kota Makassar, Minggu (04/05/2025).
Di bantaran kanal itu, Ketua RT 1 RW 5, Musdalifah menyebut ada sekira 50-100 kepala keluarga yang bermukim. Ratusan kepala keluarga menambatkan harapan mereka, di atas tanah yang rapuh, di tepi air yang tak lagi jernih.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kanal-kanal di Makassar kini bukan lagi sekadar saluran air. Ia adalah luka terbuka. Hitam, penuh sampah, dan berbau busuk. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menyebutnya “kritis”, sebuah istilah yang tak hanya merujuk pada kualitas air, tetapi juga pada potensi bencana yang mengintai, banjir, krisis kesehatan, hingga konflik sosial.
BACA JUGA: Wali Kota Makassar Dorong Penataan Kota untuk Mitigasi Bencana
“Pemerintah tidak bisa terus-menerus menutup mata. Kanal sudah berubah jadi sumber ancaman, bukan perlindungan. Penataan adalah keniscayaan, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati dan melibatkan warga,” ujar Slamet Riyadi, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel, Minggu (4/5)/2025).
Slamet menegaskan tiga langkah mendesak: pemetaan kanal yang paling bermasalah, pendataan wilayah penghasil sampah terbesar, dan pelibatan aktif masyarakat. WALHI bahkan menyarankan pendekatan berbasis data visual, seperti peta sebaran Covid-19, untuk mengidentifikasi zona merah sampah.
“Kanal yang rusak tidak hanya persoalan lingkungan, ini potensi bencana yang nyata,” tambahnya.
Di bantaran kanal, kehidupan bergulir antara bertahan dan bertengkar dengan ruang. Hajir, seorang pedagang ikan, membangun bangunan semi permanen di tepi air untuk menyimpan gabus dan peralatan dagangnya.
“Rumah saya kecil. Kalau bukan di sini, di mana lagi?” katanya lirih.
Di sisi lain, Sunni, 63 tahun, menolak dikalahkan oleh narasi kerusakan. “Air naik sedikit kalau hujan, tapi tidak pernah parah. Sampah juga cepat diangkut tiap pagi,” katanya sambil tersenyum, mencoba menjaga optimisme di tengah aroma air yang pekat.
“Warga memang menjaga. Tapi jika kanal terus dibiarkan tanpa intervensi serius, bencana tinggal menunggu waktu,” tegas Slamet.
WALHI mendesak Pemkot Makassar agar tidak terjebak pada pendekatan represif seperti penggusuran tiba-tiba. Kanal bukan hanya soal teknis drainase, tapi tentang ekosistem hidup—air, tanah, dan manusia. Tanpa partisipasi warga, penataan hanya akan menciptakan ketegangan baru, bukan solusi.
“Kini, saat kanal mengalir dengan getir, pertanyaannya bukan lagi siapa yang salah. Tapi, kapan kita duduk bersama, membaca tanda-tanda krisis, dan mulai menata sebelum semuanya terlambat?”tutur Slamet. (mg1/IN)