back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
27.8 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Ketika Kebencian Menjadi Sebuah Seni

Judul Buku : Malice Pengarang : Keigo Higashino Alih Bahasa : Faira Ammadea Editor : Rara Desain Sampul : Martin Dima Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Tahun Terbit...
BerandaPemerintahanMacet Tiap Jam Pulang di Makassar? Mari Lihat Akar Masalahnya

Macet Tiap Jam Pulang di Makassar? Mari Lihat Akar Masalahnya

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Setiap pukul lima sore, Takdir bersiap menghadapi rutinitas paling menyebalkan hari itu: pulang kerja. Lelaki 29 tahun itu bekerja di sebuah kedai kopi di kawasan Batua Raya, Makassar.

Tapi rumahnya yang terletak di Perumahan Royal Spiring, Jalan Tun Abdul Razak, hanya bisa ditempuh dalam 15 menit jika jalanan lancar. Itu hanya ada dalam ingatan masa lalu.

“Sekarang bisa sampai 30 menit, kadang lebih. Macetnya gila,” keluhnya. Titik paling menyebalkan? “Hertasning. Selalu padat, apalagi akhir pekan.”

Takdir bukan satu-satunya yang frustrasi. Fira, staf yayasan pendidikan yang tinggal di Moncongloe, menceritakan hal serupa.

“Kerja saya mulai pukul delapan pagi, tapi saya harus berangkat sebelum jam tujuh. Kalau telat sedikit, bisa habis waktu 40 menit di jalan,” katanya.

Ia menuding truk dan kendaraan berat yang masuk ke kota pada jam sibuk sebagai salah satu penyebabnya.

Baca juga: Dishub Makassar Adopsi Konsep Smart City Atasi Kemacetan Lalu Lintas

“Macet bikin kerja nggak fokus. Energi sudah habis duluan di jalan.”

Dalam beberapa pekan terakhir, Inspirasi Nusantara mengumpulkan keluhan warga dari berbagai titik di Makassar. Keluhannya sama: kemacetan parah tiap jam pulang kerja, terutama di jalur utama seperti Jalan Perintis Kemerdekaan, Sultan Alauddin, Aroepala, dan Hertasning.

Tapi pertanyaannya: mengapa masalah ini tak kunjung reda?

Ledakan Kendaraan, Jalan Tak Bertambah

Kepala Dinas Perhubungan Kota Makassar, Zainal Ibrahim, menyebutkan angka yang mencengangkan: lebih dari 1,8 juta kendaraan beroperasi di Makassar, menyumbang lebih dari sepertiga total kendaraan di Sulawesi Selatan.

“Itu belum termasuk kendaraan dari luar kota yang masuk setiap hari,” ujar Zainal. “Kemacetan ini persoalan serius.”

Dishub memang menurunkan lebih dari 200 personel untuk mengatur lalu lintas, terutama di titik-titik seperti Kecamatan Panakkukang.

Tapi kebijakan jangka panjang masih abu-abu. Wacana ganjil-genap seperti di Jakarta sempat muncul, namun belum ada kajian matang.

“Kami masih perlu koordinasi dengan kepolisian,” kilahnya.

Jusman, Kepala Bidang Angkutan Umum Dishub Makassar, menyebut ada empat pilar utama penataan transportasi kota: desain lalu lintas, pembatasan kendaraan, pengembangan transportasi umum, dan literasi hukum. Namun semua itu, katanya, masih jauh dari ideal.

Baca juga: Antisipasi Kemacetan, Dishub Makassar Awasi Antrean Truk di SPBU

Transportasi Umum Kolaps, Bajaj dan Ojek Online Masuk

Makassar pernah punya angkot dan pete-pete yang dominan di jalan. Tapi kini mereka nyaris punah. Masuknya ojek online dan bajaj memperparah kondisi.

“Tidak ada regulasi ketat, semuanya masuk tanpa kontrol. Ini memperumit,” kata Jusman.

Ironisnya, Dishub di satu sisi mendorong pembatasan kendaraan pribadi, sementara di sisi lain, produsen kendaraan gencar mempromosikan pembelian mobil dan motor.

“Ini kontradiktif,” ujar Jusman. “Pasar mendorong konsumsi, pemerintah mengerem. Tapi tanpa insentif angkutan publik, warga tetap memilih kendaraan pribadi.”

Penyebab Utama: Kota Membesar, Tanpa Kendali

Kemacetan di Makassar bukanlah sekadar soal volume kendaraan. Di balik simpul-simpul padat itu, tersembunyi persoalan yang lebih struktural—tentang rencana tata ruang yang gagal dijalankan.

“Karakter kemacetan di Makassar itu sebenarnya lebih lokal sifatnya. Titik-titik macet muncul di sekitar simpul aktivitas—seperti pasar, kampus, atau pusat perbelanjaan—yang menekan kapasitas jalan,” kata Ketua Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) UIN Alauddin Makassar, Iyan Awaluddin.

Namun, ia menambahkan, gejala itu juga diperparah oleh arus komuter dari pinggiran kota dan kawasan sub-urban.

“Ruas-ruas penghubung antara Makassar dan daerah-daerah satelit seperti Gowa dan Maros kini jadi titik macet baru. Kota tumbuh ke luar, tapi tanpa kendali,” katanya.

Fenomena yang disebutnya sebagai urban sprawl—atau perluasan kota yang tak terkendali—menjadi pemicu utama. Semakin tingginya harga lahan di pusat kota mendorong warga bermigrasi ke pinggiran, mencari hunian yang lebih terjangkau.

Tapi pilihan ini membawa konsekuensi: mobilitas harian meningkat, dan jalan menjadi titik temu antara rumah murah di pinggiran dan pekerjaan di pusat kota.

“Ada fenomena pergeseran fungsi lahan yang tidak diikuti oleh pembenahan infrastruktur. Kita punya dokumen tata ruang, tapi pelaksanaannya lemah,” lanjut Iyan.

Padahal, lanjutnya, wilayah metropolitan Mamminasata—yang mencakup Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar—sudah dirancang sebagai satu kesatuan kawasan terintegrasi.

Tetapi dalam praktiknya, koordinasi antardaerah kerap tumpul di pelaksanaan. Bangunan berdiri tanpa izin, melanggar garis sempadan jalan dan sungai. Fungsi pengawasan dan penindakan mandek.

Iyan menggarisbawahi perlunya ketegasan dalam pengendalian ruang, bukan hanya di atas kertas perencanaan.

“Selama pengawasan lemah, kita akan terus berkutat pada gejala, bukan akar masalahnya.”

Makassar kini berdiri di persimpangan. Di satu sisi, ambisi menjadi kota metropolitan terus digaungkan dalam dokumen perencanaan. Di sisi lain, wajah kotanya macet, semrawut, dan penuh kompromi terhadap aturan yang ada.

Bila tata ruang terus diperlakukan sebagai formalitas administratif belaka, maka kemacetan bukan sekadar problem lalu lintas—ia adalah tanda dari kota yang gagal mengatur dirinya sendiri.

Kota Tanpa Komando

Makassar memang tumbuh. Tapi pertumbuhan itu tak diiringi manajemen yang kuat. Wacana pengembangan transportasi publik belum menjawab kebutuhan.

Penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang nyaris tak terdengar. Dan warga dibiarkan beradaptasi sendiri di jalanan yang macet setiap hari.

Sayangnya, bagi ribuan warga seperti Takdir dan Fira, kemacetan bukan sekadar soal waktu yang hilang. Ia adalah gejala dari kota yang tumbuh, tapi kehilangan arah. (mg1/IN)