Makassar nyaris tak pernah benar-benar tidur. Di dalam kamar-kamar sempit kos mahasiswa, di balik ruko-ruko bisnis yang menyala hingga dini hari, hingga di sela-sela lampu neon jalanan yang menggantung lelah, cahaya layar ponsel terus menyala. Seolah menjadi nyala api kecil yang memanaskan dunia dari tempat-tempat yang tidak pernah kita kira.
Di kamar kosnya, Ahmad Nur—mahasiswa sekaligus duta kampus Sulawesi Selatan—menyentuh layar ponselnya untuk yang kesekian kalinya, Senin malam (26/05/2025). Tangannya sudah refleks membuka aplikasi media sosial. Jam menunjukkan pukul sebelas malam.
“Saya bisa habiskan waktu enam jam sehari di ponsel. Tiga sampai empat jam hanya untuk media sosial,” katanya, datar. Tak ada rasa bangga, hanya pengakuan yang jujur.
Di usia mudanya, ia mengandalkan media sosial sebagai ruang ekspresi sekaligus sumber penghasilan. Bukan jumlah yang besar, tapi cukup. Cukup untuk bertahan. Cukup untuk hidup. Namun, ada yang tidak cukup—udara bersih.

Di tempat lain, Fadli, Kepala Divisi Transisi Energi dan Pangan WALHI Sulawesi Selatan, menjelaskan dengan nada yang lebih serius. “Hampir semua aktivitas manusia, termasuk yang digital, meninggalkan jejak karbon,” katanya. Kalimat yang ringan diucapkan, tapi berat untuk dipikirkan. Bagaimana mungkin swafoto, chat ringan, atau transaksi e-money bisa menyumbang emisi karbon?
Fadli menyebut: server terus menyala. Data harus disimpan, diproses, dikirimkan kembali. Semua itu butuh energi, dan sayangnya, di Sulawesi Bagian Selatan, lebih dari separuhnya masih berasal dari fosil. “54,2%,” katanya tegas, “masih dari energi fosil.” Maka, ketika seseorang membuka video lucu lima menit di media sosial, di tempat lain mesin tetap berdengung, menelan listrik, dan diam-diam menghembuskan panas ke udara.
Selmy Hartono Putri tahu soal ini. Ia sudah lama menggantungkan bisnisnya pada media sosial. Jualan jilbab online yang dijalankan dari rumahnya di Makassar mengandalkan koneksi stabil, sinyal kuat, dan sistem pembayaran digital. Semua berjalan baik—di layar. Tapi di balik itu, ada jejak-jejak energi yang tak kasatmata. Ia menyadari itu. Tapi seperti kebanyakan orang, ia juga tahu: tidak mudah keluar dari lingkaran ini.
“Sulit dikurangi karena teknologi berkembang terlalu cepat,” ujarnya, lirih. Nada seorang pebisnis kecil yang ingin sadar, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Dari seorang pembelajar, Kaharuddin berbicara tentang batas yang memudar. “Berselancar di dunia maya membuat ruang dan waktu jadi kabur,” katanya.
Sebagai mahasiswa Pascasarjana Sosiologi, ia melihat bagaimana dunia digital tak lagi sekadar tempat pelarian, tapi telah menjadi tempat tinggal. Dalam dunia ini, batas antara yang nyata dan maya semakin tipis, dan begitu pula batas antara konsumsi dan konsekuensinya.
Kaharuddin mengingatkan, konsumsi data bukan hal yang netral. Ia membawa beban yang tak tampak. “Streaming, penyimpanan cloud, semua itu membebani server. Akhirnya berdampak pada lingkungan.”
Suara dan pikirannya seperti bergema, memantul di lorong-lorong kampus dan mungkin tak terdengar oleh mereka yang larut dalam video pendek berdurasi 15 detik.
Lalu ada Mustikasari, Ketua Jurusan Teknik Informatika di UIN Alauddin Makassar. Dari ruangannya yang dingin oleh pendingin udara, ia menyebut angka yang mengejutkan. “Data center kecil bisa mengonsumsi hingga 100 kilowatt,” ujarnya. Artinya, bahkan sebuah pusat data berskala terbatas bisa menyamai konsumsi listrik belasan rumah tangga dalam sehari.
Ia berbicara tenang, dengan bahasa teknis yang sesekali diterjemahkan menjadi peringatan. Email, browsing, aplikasi sederhana, semuanya menyumbang beban. Ia juga menyebut strategi efisiensi: perangkat hemat energi, sistem pendinginan cerdas, penggunaan panel surya. Semua bisa dilakukan. Tapi seperti angin musim, ia belum yakin kapan benar-benar akan tiba.
Meski belum ada riset lokal khusus di Makassar yang meneliti jejak karbon digital secara spesifik, Mustikasari menyebut sejumlah dokumen dan upaya yang mulai berkembang. Ada gagasan tentang pusat data hijau, ada perusahaan yang mencoba mengurangi konsumsi energi server, dan ada lembaga negara yang mulai menyediakan energi bersih sebagai layanan. Tapi semuanya masih seperti bayangan. Belum mengakar di ruang-ruang digital masyarakat sehari-hari.
Fadli dari WALHI, menutup dengan ajakan yang sederhana tapi bermakna. “Mulailah dari hal kecil,” katanya. Hapus data yang tak perlu. Turunkan resolusi saat streaming. Dan yang paling penting, dorong pemerintah untuk mempercepat transisi energi bersih.
“Kita harus perjuangkan hak atas energi bersih. Itu bagian dari masa depan yang layak,” tutupnya. (And/IN)