Inspirasinusantara.id — Keringat menetes di antara lautan tubuh yang saling bersenggolan mencari lowongan kerja. Job fair yang digelar di tengah terik ibu kota dipadati ribuan Gen Z—anak muda yang haus akan peluang kerja.
Mereka tak hanya membawa CV, tapi juga harapan. Namun, di balik keramaian itu, tersembunyi ancaman yang kerap luput dari perhatian: lowongan kerja palsu yang menyesatkan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 menunjukkan angka yang mencengangkan: lebih dari 842 ribu pengangguran berasal dari kalangan sarjana, naik dari tahun sebelumnya. Lulusan SMA bahkan mendominasi angka pengangguran, mencapai 2,29 juta orang.
Ijazah Tinggi, Harapan Menipis
Total pengangguran nasional kini menyentuh angka 7,28 juta jiwa, atau sekitar 4,76% dari angkatan kerja. Ironisnya, jumlah tenaga kerja aktif justru tumbuh mencapai 145,77 juta orang. Tapi mayoritas diserap oleh sektor informal.
Hanya sekitar 59,4% yang bekerja di sektor formal, selebihnya menjadi buruh lepas, pekerja harian, atau bahkan tanpa kepastian pekerjaan.
Mengapa para sarjana justru menyumbang angka pengangguran yang tinggi? Jawabannya terletak pada dua fenomena: aspirational mismatch dan reservation wage gap.
Banyak lulusan perguruan tinggi yang enggan menerima pekerjaan teknis atau informal karena merasa tak sebanding dengan gelar mereka. Akibatnya, mereka menunggu pekerjaan yang dianggap “layak”, yang tak kunjung datang.
Baca juga : Fenomena Baru Gen Z: Career Catfishing dan Office Ghosting
Diploma dan Vokasi: Jalan Lebih Realistis
Berbeda dengan lulusan sarjana, tren pengangguran di kalangan diploma justru menurun. Dari 305 ribu pada 2020, kini tinggal 170 ribu.
Pendidikan vokasi yang berbasis praktik dinilai lebih selaras dengan kebutuhan industri. Dunia kerja lebih membutuhkan keterampilan daripada sekadar gelar akademik.
McKinsey mencatat, hanya 40% anak muda usia 25-34 tahun di Indonesia yang menyelesaikan pendidikan menengah atas. Jumlah peneliti pun hanya 400 orang per 1 juta penduduk—jauh dari negara-negara maju.
Lapangan Kerja Tidak Sesuai Narasi
Kenyataan di lapangan juga menampar ekspektasi. Lapangan kerja terbesar masih di sektor pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan. Sektor yang selama ini dijanjikan sebagai masa depan seperti digital dan energi hijau—belum mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan.
Di balik gelar dan ijazah, generasi muda Indonesia menghadapi realita yang tidak selalu sesuai impian. Job fair bukan sekadar tempat mencari kerja, tapi juga medan bertahan dari ilusi, penipuan, dan jurang ketimpangan antara harapan dan kenyataan.
Kini, yang dibutuhkan bukan hanya pendidikan, tapi juga adaptasi, keterampilan, dan keberanian untuk menerima kenyataan baru dunia kerja. (*/IN)