MAKASSAR, inspirasinusantara.id — Di Kota Makassar, kebiasaan membeli kopi take away sudah menjadi gaya hidup sehari-hari, terutama di kalangan anak muda dan pekerja urban. Aktivitas ini memang praktis, tapi dampaknya terhadap lingkungan mulai terasa berat.
Barista seperti Takdir dan Asmawinda menjadi saksi langsung bagaimana gelas plastik dan kemasan sekali pakai menumpuk setiap hari di Makassar.
Setiap pagi, saat kota masih setengah terbangun dan jalanan mulai riuh oleh motor dan langkah terburu, Takdir Hidayat meluncur dengan motornya yang sudah rentan. Knalpotnya bersuara serak, joknya sobek, tapi motor itu setia membawanya ke sebuah kedai kopi kecil di Jalan Batua Raya, Makassar. Di sanalah ia bekerja sebagai barista, meracik kopi untuk pelanggan yang datang dan pergi dengan cepat—kadang bahkan tak sempat menyapa, hanya memesan dan melesat lagi.

“Seratus cup sehari, kira-kira,” katanya sambil mengusap keringat di dahi. Tangannya tak pernah betul-betul berhenti—menggiling, menyeduh, menuang, menutup cup plastik, lalu menyerahkannya ke tangan pelanggan yang terburu-buru.
Sebagian sudah mulai membawa tumbler sendiri. “Itu sudah bagus,” katanya, “tapi masih sedikit.” Mayoritas masih mengandalkan gelas sekali pakai—plastik PET, kertas berlapis plastik, dan sedotan. Semua praktis, semua cepat, semua akhirnya menjadi sampah.
Takdir bilang sudah lama terpikir untuk beralih ke kemasan ramah lingkungan. Tapi biaya jadi tembok yang tinggi. “Pelaku usaha kopi sudah banyak diskusi soal ini,” ujarnya. “Cuma ya itu, kemasan ramah lingkungan masih mahal. Kami yang skala kecil susah ikuti.”
Makassar terus bertumbuh—bangunan naik, kedai kopi bertambah, dan gaya hidup serba cepat makin menjalar. Tapi bersama pertumbuhan itu, tumpukan sampah juga ikut membengkak. Menurut Dinas Lingkungan Hidup Makassar, tiap harinya kota ini menghasilkan sekitar 1.200 ton sampah. Sebagian besar datang dari rumah tangga dan usaha kecil, termasuk kedai kopi seperti tempat Takdir bekerja.
Semua sampah itu bermuara di TPA Antang, tempat yang kini disebut sudah hampir kritis. Dalam laporan WALHI Sulsel, Makassar bahkan dicatat sebagai kota dengan peningkatan konsumsi plastik tercepat di Sulawesi Selatan dalam lima tahun terakhir.
Di kawasan Minasaupa, Asmawinda juga menjalani hari-hari yang mirip. Ia barista di kedai kopi kecil dekat masjid. Ia meracik minuman dingin yang populer di kalangan mahasiswa dan pekerja. “Bisa sampai lima puluh cup sehari,” katanya. “Sebulan bisa seribuan cup.”
Sama seperti Takdir, ia juga tahu bahwa hampir semuanya dikemas dalam plastik. “Belum pernah saya minta pelanggan bayar lebih karena pakai plastik. Nanti mereka lari ke kedai sebelah,” katanya, setengah bercanda.
Ia pernah menyarankan agar pelanggan membawa tumbler sendiri, tapi sering kali dianggap merepotkan. “Mereka maunya praktis, cepat. Pemerintah juga belum kasih aturan yang jelas. Jadi ya, kami ikuti arus saja.”
Sementara itu, di sisi lain kota, ada yang menikmati kopi dengan cara lain. Muh Ikram, baru saja lulus SMA. Ia memesan kopi tiga kali seminggu lewat aplikasi. Duduk manis di rumah, kopi datang dengan plastik, lengkap dengan sedotan. “Praktis,” katanya. Ia tahu bahwa sampahnya akan berakhir di tempat pembuangan. Tapi ia tak selalu memikirkannya.
“Kadang kepikiran juga sih soal lingkungan,” katanya, “tapi jarang.” Namun ia tak sepenuhnya abai. Ada niat kecil yang mulai tumbuh. “Kalau memang bisa bantu lingkungan, saya bersedia kok bawa tumbler, nggak pakai sedotan.”
Syarifah Hijrah, mahasiswi Unismuh, punya kebiasaan serupa. Membeli makanan dan minuman dalam kemasan plastik adalah hal biasa baginya. Ia suka yang cepat dan mudah. Tapi belakangan, ia mulai merasa ada yang mengganjal. “Mungkin saya bisa mulai dari hal kecil dulu, kayak buang sampah di tempatnya,” ucapnya.
Di balik semua ini, ada yang memperhatikan dengan cermat. Green Youth Celebes, komunitas pemuda peduli lingkungan di Makassar, melihat fenomena ini bukan sekadar soal sampah. “Budaya ngopi, nongkrong, dan belanja instan lewat aplikasi adalah bagian dari gaya hidup yang tidak sadar telah mendorong produksi sampah makin tinggi,” kata Taufiqurrahman Yunus, salah satu pendirinya.
Ia mengatakan bahwa sebagian besar orang sebenarnya sudah tahu dampak konsumsi sekali pakai. Tapi tekanan ekonomi, standar sosial, dan kurangnya dukungan kebijakan membuat perubahan terasa berat. “Yang harus diubah itu bukan cuma kebiasaan, tapi juga sistem. Kita harus berhenti mengukur sukses dari apa yang kita konsumsi,” ujarnya.
Menurutnya, edukasi lingkungan harus menjadi arus utama sejak dini. Perusahaan juga harus ikut bertanggung jawab atas kemasan produk mereka. “Jangan hanya menyalahkan konsumen kecil,” tegasnya.
Hari-hari terus bergulir. Kedai kopi tetap buka. Pesanan tetap datang. Gelas-gelas plastik tetap berpindah tangan. Di antara hiruk-pikuk itu, cerita kecil tentang kesadaran mulai tumbuh—meski masih malu-malu. Dari barista yang memikirkan masa depan, pelanggan yang mulai bersedia membawa tumbler, sampai komunitas yang terus menyuarakan perubahan.
Mungkin belum cukup. Tapi barangkali, di setiap gelas kopi yang kita bawa pergi, ada kesempatan untuk berpikir ulang: tentang apa yang kita minum, apa yang kita buang, dan dunia seperti apa yang ingin kita tinggali kelak. (And/IN)