Inspirasinusantara.id — Budaya nongkrong telah menjadi denyut kehidupan di tengah hiruk-pikuk kota, menjembatani kebutuhan sosial, kreativitas, dan kebersamaan. Dari sudut warung kopi sederhana hingga kafe estetik yang instagramable, budaya ini terus bertransformasi sambil membawa tantangan untuk tetap berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
Di tengah deru kehidupan kota yang sibuk, budaya nongkrong menjadi oase sosial yang tak tergantikan. Dari Jakarta hingga Makassar, dari kota besar sampai pelosok daerah, budaya nongkrong telah menjelma menjadi gaya hidup yang menyatukan obrolan santai, inspirasi kreatif, hingga kolaborasi lintas komunitas.
Dilansir dari UNM Online Journal System, dalam studi berjudul “Perilaku Nongkrong Anak Muda di Café (Studi pada Pelanggan Coffee Shop Kedai Rakyat di Watampone)” disebutkan bahwa umumnya coffee shop hanya di jadikan sebagai tempat untuk melepas penat, atau tempat untuk beristirahat dan sebagai ruang publik tempat untuk melakukan berbagai interaksi.
Namun, di era masyarakat modern nongkrong di kafe cenderung hanya untuk menunjukkan jati diri sebagai seseorang yang kekinian. Lebih dari sekadar aktivitas mengisi waktu luang, budaya nongkrong kini menjadi simbol kebiasaan urban yang melekat kuat dalam keseharian generasi muda.
Dari Kedai ke Kafe: Evolusi Tempat dan Makna Sosial
Sejak era kolonial, nongkrong bukanlah hal baru. Dulu, kedai kopi berfungsi sebagai ruang diskusi dan temu intelektual. Kini, tempat-tempat nongkrong berevolusi menjadi kafe berdesain estetik, angkringan modern, bahkan co-working café yang memadukan kenyamanan, koneksi internet, dan suasana kondusif untuk kerja kreatif.
Baca juga : Ngopi juga Meninggalkan Jejak Karbon di Makassar
Tempat-tempat ini bukan hanya menjual kopi, tetapi juga menjual pengalaman—baik visual, sosial, maupun emosional.
“Di banyak kota, budaya nongkrong bahkan menjadi identitas ruang. Misalnya, di Yogyakarta, angkringan menjadi titik temu budaya lokal dan gaya hidup mahasiswa.”dikutip dari Wouwoo.
Di Makassar, warung kopi seperti Warkop Dottoro atau Kedai Pojok kerap menjadi ruang diskusi warga. Semuanya membuktikan satu hal: nongkrong adalah cara masyarakat Sulsel merayakan kebersamaan.
Nongkrong dan Jejak Karbon: Saatnya Berubah Lebih Hijau
Namun, di balik kenyamanan dan suasana akrab itu, budaya nongkrong juga meninggalkan jejak karbon. Penggunaan listrik berlebihan, gelas sekali pakai, hingga kendaraan bermotor yang digunakan untuk berpindah dari satu kafe ke kafe lain, semuanya berdampak pada lingkungan.
Jika ingin budaya nongkrong ini tetap berkelanjutan, perlu ada kesadaran kolektif untuk menjadikan nongkrong lebih ramah lingkungan.
Tips Nongkrong Ramah Lingkungan
1. Bawa Tumbler atau Wadah Sendiri
Banyak kafe kini menerima permintaan untuk menyajikan minuman di tumbler pribadi. Ini mengurangi sampah gelas plastik atau kertas sekali pakai.
2. Pilih Tempat Nongkrong yang Mengusung Konsep Green Cafe
Beberapa tempat sudah menerapkan praktik berkelanjutan, seperti pemanfaatan energi surya, pengolahan sampah, hingga penggunaan bahan bangunan ramah lingkungan.
3. Gunakan Transportasi Umum atau Berbagi Kendaraan
Jika memungkinkan, gunakan kendaraan umum, sepeda, atau carpooling saat ingin nongkrong bersama teman-teman.
4. Kurangi Waktu Menyala Gadget dan Charger
Saat nongkrong sambil bekerja, biasakan mencabut charger jika sudah penuh dan matikan perangkat yang tidak digunakan.
5. Dukung UMKM Lokal
Pilih tempat nongkrong yang menyajikan produk lokal—baik kopi, camilan, hingga kriya—sehingga mendukung ekonomi sirkular dan mengurangi jejak distribusi barang dari luar kota.
Bagi generasi milenial dan Gen Z, budaya nongkrong bukan hanya kebutuhan sosial, tetapi juga bagian dari ekspresi diri. Tempat nongkrong menjadi latar berbagai konten media sosial, ruang temu komunitas digital, hingga tempat lahirnya ide-ide kreatif.
Ingin tetap nongkrong tanpa rasa bersalah? Mulai dari satu langkah kecil: bawa tumbler dan naik angkutan umum. Nongkrong tetap asyik, bumi pun tetap cantik. (*/IN)