inspirasinusantara.id – Saat berbicara soal perubahan iklim, mungkin yang pertama terlintas di benak kita adalah kendaraan bermotor, limbah industri, atau pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Namun siapa sangka, pilihan antara toilet duduk dan toilet jongkok juga turut menyumbang pada jejak karbon sebuah bangunan.
Perbedaan kecil dalam desain toilet ternyata berdampak besar terhadap konsumsi air, energi, dan bahkan kesehatan pengguna—yang semuanya berkontribusi pada jejak karbon bangunan. Dalam era kesadaran lingkungan yang semakin menguat, setiap tetes air dan setiap kilowatt energi menjadi sangat berarti dalam upaya menekan emisi karbon global.
Dilansir dari Juraganmaterial.id, toilet duduk, yang kini lebih umum digunakan di berbagai bangunan modern, ternyata cenderung membutuhkan lebih banyak air dalam sekali penyiraman. Hal ini tidak hanya meningkatkan konsumsi air secara keseluruhan, tetapi juga berdampak langsung pada tagihan air bulanan, penggunaan energi dalam sistem pemipaan bangunan, serta turut menambah jejak karbon yang dihasilkan dari operasional sanitasi tersebut.
Berbeda halnya dengan toilet jongkok. Desainnya yang sederhana memungkinkan penggunaan air yang jauh lebih efisien.
Dalam jangka panjang, efisiensi ini tak hanya bermanfaat bagi pengelolaan sumber daya bangunan, tetapi juga dapat berkontribusi pada upaya pengurangan emisi karbon global, terutama di wilayah-wilayah padat penduduk yang volume penggunaannya sangat tinggi.
Baca juga : Menikmati Liburan, Menguak Jejak Karbon dari Wisata Kuliner
Menariknya, manfaat toilet jongkok tak berhenti pada isu lingkungan. Postur alami tubuh manusia saat jongkok ternyata memberikan keunggulan tersendiri dari segi kesehatan. Sejumlah studi menunjukkan bahwa posisi jongkok dapat mengurangi tekanan pada rektum, membantu proses buang air besar menjadi lebih lancar, dan bahkan berpotensi mencegah penyakit seperti wasir.
Peran Toilet dalam Krisis Lingkungan Global
Salah satu tolok ukur keberlanjutan dalam proyek konstruksi masa kini adalah efisiensi sumber daya—khususnya air. Toilet jongkok umumnya hanya membutuhkan sedikit air dalam setiap kali flush.
Sementara toilet duduk, terutama yang menggunakan sistem siram otomatis atau ganda, memiliki mekanisme kompleks yang seringkali menyedot lebih banyak air dan energi listrik. Efek domino dari konsumsi air tinggi ini pada akhirnya turut meningkatkan beban karbon dari bangunan tersebut.
Baca juga : Jejak Karbon Tersembunyi di Balik Gemericik Air Wastafel
Selain itu, toilet duduk juga cenderung memicu penggunaan tisu toilet lebih banyak. Tak hanya berdampak pada limbah padat, produksi tisu juga memerlukan energi dan air dalam jumlah besar. Dari sisi desain, toilet jongkok lebih mudah dibersihkan, yang artinya penggunaan bahan kimia pembersih pun bisa ditekan—lagi-lagi memberi nilai tambah dari sisi lingkungan.
Kembali ke Akar, Demi Bumi yang Lebih Lestari
Ketika dunia makin serius menghadapi ancaman perubahan iklim, setiap keputusan kecil bisa membawa dampak besar. Toilet mungkin hanya bagian kecil dari sistem bangunan, tetapi pilihan antara toilet duduk dan jongkok ternyata memuat konsekuensi lingkungan dan kesehatan yang signifikan.
Dalam hal ini, toilet jongkok hadir bukan hanya sebagai simbol kearifan lokal, tetapi juga sebagai pilihan masa depan yang lebih hijau, hemat energi, dan mampu menekan jejak karbon. Maka, tak ada salahnya untuk kembali jongkok—demi bumi yang lebih lestari. (*/IN)