MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Pada Jumat sore, 27 Juni 2025, seorang mahasiswi Universitas Hasanuddin, Raida Fauziyah Rasyad, menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Penelepon mengaku sebagai anggota kepolisian.
Dalam waktu singkat, Raida dihubungkan ke nomor lain, kali ini dari seseorang yang mengklaim sebagai penyidik Kepolisian Resor Jakarta. Dalam percakapan itu, Raida disebut terlibat dalam kasus pencucian uang.
Baca juga: Eco-anxiety : Anak Muda Makassar dan Kecemasan Iklim
Sebagai seorang mahasiswa, dengan pemahaman hukum yang minim dan dalam kondisi psikis yang terguncang, Raida mengikuti instruksi mereka.
Ia bergabung dalam sesi Zoom yang diklaim sebagai pemeriksaan daring oleh aparat. Di ruang virtual itu, ia diinterogasi, ditekan, dan diberi ancaman hukum secara verbal.
Pelaku menunjukkan dokumen digital berjudul “Surat Tugas” dari PPATK yang menyatakan bahwa Raida sedang dalam pemeriksaan dana ilegal di rekeningnya.
Surat itu, meski tampak resmi, menggunakan desain dan struktur yang mencurigakan. Nama pejabat, pangkat, dan institusi dicantumkan. Bank tujuan plat merah, serta nomor rekening atas nama Wahyu Zazky Hidayat disisipkan sebagai bagian dari instruksi pemindahan dana demi alasan “verifikasi kekayaan.”
Teror Psikologis
Selama lebih dari 24 jam, pelaku memaksa Raida tetap terhubung di Zoom. Dalam kondisi panik dan tertekan, ia diminta membuka akses layar ponsel dan tabletnya. Bahkan, ketika tidur, kamera tetap menyala.

Pada 28 Juni, pelaku kembali menuduh Raida menjual data pribadi ke sindikat pencucian uang. Ia diperintahkan meminjam uang dari orang tuanya, dengan dalih mengikuti program pertukaran pelajar dan butuh “pembuktian finansial.”
Pelaku menyodorkan “surat rekomendasi” dari Universitas Hasanuddin agar Raida mendapat kepercayaan dari keluarga. Tertipu oleh atribut institusional dan tekanan emosi, keluarga Raida memberikan dana dalam beberapa tahap.
Empat Transaksi, 200 Juta Lebih
Empat transaksi tercatat dalam kronologi:
1. Rp50.000.000 (Pukul 11.52 WITA)
Rp30 juta dari orang tua
Rp20 juta dari nenek
2. Rp105.000.000 (Pukul 13.50 WITA)
Rp80 juta dari orang tua
Rp25 juta dari saudara ibu
Dana dikirim ke Wahyu Zazky Hidayat.
3. Rp32.000.000 (Pukul 16.00 WITA)
Rp9 juta dari orang tua
Rp23 juta dari nenek
4. Rp13.000.000 (Pukul 16.51 WITA)
Dana dari teman orang tua
Total kerugian mencapai Rp200 juta lebih, seluruhnya berpindah tangan atas nama dalih hukum.
Salah satu bukti transfer menunjukkan transaksi ke rekening atas nama Oknando Medi Putra, senilai Rp2.100.000. Nama yang berbeda dari nama di surat tugas, tapi tetap bagian dari skema manipulatif.
Tanda Palsu dan Kejanggalan Surat
Surat tugas yang digunakan para pelaku mencatut nama Irjen Pol. Albert T. B. Silitonga, selaku Kepala PPATK. Namun, logo institusi, format surat, dan penggunaan bahasa tidak sesuai dengan standar administrasi resmi PPATK.
Pencantuman nama “penyidik” berpangkat IPTU bernama Winanta Lolana, juga tidak bisa diverifikasi.
Sebagai bagian dari manipulasi, pelaku juga menyamar sebagai dosen Universitas Hasanuddin dalam upaya meyakinkan ibu Raida agar mengirim dana tambahan senilai Rp100 juta.
Dalam sesi Zoom, pelaku mengenakan atribut polisi, lengkap dengan latar foto pejabat negara, serta menyematkan logo “Reserse” di latar panggilan.
Jebakan Digital dan Minimnya Literasi Forensik
Kasus Raida menunjukkan bagaimana eksploitasi terhadap rasa takut hukum, kurangnya literasi digital, dan kredibilitas lembaga negara menjadi kombinasi ideal bagi pelaku penipuan siber.
Surat tugas palsu, sesi Zoom intimidatif, hingga penyamaran lembaga pendidikan — semua dirangkai untuk menjebak korban muda dengan strategi psikologis.
Usai transfer keempat dilakukan, pelaku meminta Raida menunggu “hasil sidang.” Namun, Zoom mendadak putus pada pukul 20.00 WITA. Di titik itulah, Raida menyadari semuanya hanyalah jebakan.
Ketika Kepercayaan Dimanipulasi
Raida menyimpan semua bukti: tangkapan layar, nomor rekening, identitas pelaku, serta rekaman Zoom. Tapi trauma psikologis dan kerugian finansial yang diderita keluarga belum tentu bisa dipulihkan.
Kasus ini adalah peringatan bahwa aparat, kampus, dan sistem hukum bisa dicatut siapa saja — dan di era digital, rasa takut bisa jadi alat pemerasan paling ampuh.
Kini, yang dibutuhkan bukan hanya pelaporan ke kepolisian, tapi juga langkah konkret negara untuk memperkuat forensik digital dan perlindungan hukum bagi warga sipil dari modus yang semakin kompleks dan meyakinkan. (*)