INSPIRASINUSANTARA.ID – Di era media sosial yang dipenuhi unggahan pencapaian, liburan mewah, hingga rumah impian, Finlandia justru mengajarkan sesuatu yang kontras: kebahagiaan sebaiknya tidak diumbar.
Filosofi hidup masyarakat Finlandia dirangkum dalam pepatah kuno mereka: “Kell’ onni on, se onnen kätkeköön” — siapa yang berbahagia, sembunyikanlah kebahagiaanmu. Sederhana, namun mencerminkan kedewasaan emosional yang mendalam.
Di balik gelarnya sebagai negara paling bahagia di dunia selama bertahun-tahun, masyarakat Finlandia justru menghindari tiga hal yang mungkin dianggap biasa bahkan lumrah dalam kehidupan sehari-hari di banyak negara lain, termasuk Sulsel: membandingkan diri, menjauh dari alam, dan mengambil hak orang lain.
Namun, lebih dari sekadar kebiasaan, filosofi hidup Finlandia ini bisa menjadi pelajaran penting bagi Indonesia—negeri dengan budaya sosial kolektif yang sarat tekanan “harus sukses”, “harus terlihat berhasil”, dan “takut tertinggal”—termasuk di Sulawesi Selatan.
Kebahagiaan Tak Perlu Diumumkan
“Diam-diam bahagia” bukan berarti memendam perasaan. Menurut Frank Martela, filsuf dan peneliti psikologi asal Finlandia, itu adalah bentuk penghormatan terhadap kedamaian diri dan orang lain.
Tak perlu memamerkan pencapaian demi validasi. Hal ini kontras dengan budaya Indonesia yang kerap mengasosiasikan kesuksesan dengan simbol eksternal seperti mobil baru, sertifikat, atau liburan ke luar negeri.
Di Sulsel, nilai siri’ na pacce (harga diri dan empati) sebenarnya juga mendorong seseorang untuk menjaga kehormatan tanpa berlebihan. Dalam budaya Bugis-Makassar, pamer dianggap sebagai bentuk “lepas siri’” atau kehilangan rasa malu.
Baca juga : Gaya Hidup Mindfulness: Hadirkan Ketenangan Lewat Aroma
Dekat dengan Alam, Jauh dari Burnout
Di Finlandia, cuti musim panas bukan sekadar hak, tapi tradisi menjaga kewarasan. Masyarakatnya rutin menyepi di pedesaan — hidup tanpa sinyal, tanpa listrik, hanya ditemani danau dan hutan. Alam adalah terapis terbaik.
Baca juga : Lepaskan Stres, Ini 5 Tempat Wisata Alam Menenangkan di Sulsel
Kearifan serupa sebenarnya ada dalam budaya Sulsel, terutama di daerah pegunungan Toraja, Enrekang, hingga Luwu. Masyarakat lokal menjadikan alam bukan hanya tempat tinggal, tetapi ruang spiritual. Tradisi seperti ma’baca-baca di pinggir sawah atau maccera tasi (penyucian laut) menunjukkan kedekatan sakral antara manusia dan alam.
Ketulusan dan Kepercayaan Sosial
Finlandia dikenal dengan kejujuran tinggi. Eksperimen dompet hilang membuktikan betapa kuatnya rasa saling percaya masyarakatnya.
Di Sulsel, meski tantangan sosial terus berkembang, nilai lempu’ (jujur dan lurus hati) masih menjadi fondasi dalam banyak komunitas adat. Dalam banyak perkampungan Bugis, terutama yang masih menjaga sistem adat, pelanggaran terhadap prinsip kejujuran bisa berujung pada sanksi sosial yang berat.
Artinya, semangat menjaga kepercayaan bukanlah hal baru, hanya perlu diperkuat dalam kehidupan modern.
Bisakah Kita Menerapkan “Bahagia dalam Diam” di Tengah Era Pamer?
Budaya membandingkan diri dan memamerkan pencapaian di media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan modern, termasuk di Indonesia. Laporan dari We Are Social dan Hootsuite (2024) mencatat bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 4 menit per hari di media sosial, dan sebagian besar interaksinya berkaitan dengan membagikan kehidupan pribadi, pencapaian, dan konsumsi gaya hidup.
Namun, menurut studi dari American Psychological Association (APA), eksposur berlebihan terhadap pencapaian orang lain di media sosial dapat meningkatkan perasaan cemas, rendah diri, dan kesepian — fenomena yang dikenal sebagai social comparison theory (Festinger, 1954).
Hal ini ditegaskan dalam riset oleh Meier & Schäfer (2018, Journal of Media Psychology) yang menemukan bahwa pengguna aktif media sosial yang sering melihat unggahan orang lain cenderung merasa hidupnya kurang bermakna dan kurang bahagia.
Sementara itu, Finlandia justru menunjukkan arah berlawanan. Penduduknya secara budaya tidak terbiasa membagikan hal-hal personal di ruang publik.
Dilansir dari CNBC, Dalam wawancara dengan Frank Martela, Ph.D., dosen dan peneliti di Aalto University, ia menjelaskan bahwa filosofi “kebahagiaan diam-diam” lahir dari nilai modesty and self-containment — menjaga harmoni dengan tidak menonjolkan diri.
Nilai lokal seperti siri’ na pacce sebenarnya bisa menjadi benteng dari tekanan budaya pamer. Siri’ mengajarkan kesadaran diri dan menjaga harga diri dengan cara yang terhormat, bukan dengan menunjukkannya secara berlebihan. Pacce mendorong empati, bukan kompetisi. (*/IN)



