inspirasinusantara.id – Krisis iklim menandai babak baru tantangan Indonesia. Bukan hanya soal cuaca ekstrem atau naiknya permukaan laut, tetapi juga tentang siapa yang paling rentan dan bagaimana negara merespons sebelum terlambat.
Krisis iklim kini bukan lagi sekadar wacana global, melainkan kenyataan yang sudah dirasakan langsung masyarakat Indonesia. Dari banjir yang merendam kota-kota besar, kekeringan yang berkepanjangan, hingga gagal panen yang menekan petani kecil di pedesaan, dampaknya menyentuh berbagai lapisan kehidupan.
Dilansir dari Yayasan Indonesia Cerah, krisis iklim juga erat kaitannya dengan keadilan sosial. Kelompok paling rentan mulai dari petani, nelayan, masyarakat pesisir, hingga perempuan dan anak-anak justru yang paling menderita karena memiliki ruang adaptasi yang terbatas.
Baca juga : AC 24 Jam Disebut Lebih Hemat, Benarkah Ramah Krisis Iklim?
Krisis iklim merujuk pada situasi darurat akibat perubahan suhu bumi yang dipicu aktivitas manusia. Kondisi ini memunculkan cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, kekeringan, dan ancaman terhadap ketahanan pangan.
Penyebab Krisis Iklim
Ada sejumlah faktor utama yang memperparah kondisi ini, antara lain:
1. Efek Rumah Kaca
Gas-gas seperti karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dan nitrous oxide (N₂O) memerangkap panas di atmosfer. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat pembakaran bahan bakar fosil membuat suhu rata-rata bumi terus naik.
2. Deforestasi
Hutan tropis Indonesia yang berfungsi sebagai paru-paru dunia terus menyusut. Data Global Forest Watch mencatat, sejak 2002 hingga 2024, Indonesia kehilangan sekitar 10,7 juta hektare hutan primer basah.
Kondisi ini bukan hanya mengurangi kapasitas penyerap karbon, tetapi juga mengganggu ekosistem dan kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada hutan.
3. Bahan Perusak Ozon
Walau penggunaan CFC telah dikurangi lewat Protokol Montreal, emisi dari gas pengganti seperti HFC (hydrofluorocarbon) masih berkontribusi besar terhadap pemanasan global. Gas ini banyak digunakan pada pendingin udara, sistem refrigerasi, hingga industri manufaktur.
Saatnya Solusi Inklusif
Transisi energi bersih dan program adaptasi iklim harus dirancang secara inklusif, bukan elitis. Artinya, kebijakan dan teknologi ramah lingkungan perlu melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat rentan yang selama ini menjadi korban utama.
Sejumlah langkah sudah ditempuh Indonesia, mulai dari target net zero emission hingga moratorium izin hutan. Namun, banyak kalangan menilai respon tersebut masih berjalan lambat dibandingkan skala ancaman yang ada.
Krisis iklim adalah panggilan darurat bagi seluruh bangsa. Jika tidak ditangani segera, dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga keberlangsungan sosial, ekonomi, dan masa depan generasi berikutnya. (*/IN)