back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
32.1 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Bukan Sekadar Gaya Hidup: Keadilan Krisis Iklim Dimulai dari Dapur 

inspirasinusantara.id — Krisis iklim tak lagi hanya diukur dari naiknya suhu bumi atau mencairnya es di kutub, melainkan dari sisa makanan di dapur, plastik...
BerandaFashionKrisis Iklim, Batik Hadirkan Warisan Budaya Berkelanjutan  

Krisis Iklim, Batik Hadirkan Warisan Budaya Berkelanjutan  

inspirasinusantara.id — Setiap 2 Oktober, Indonesia merayakan Hari Batik Nasional sebagai bentuk kebanggaan atas warisan budaya yang telah mendunia. Namun, di tengah sorak perayaan, batik kini menghadapi tantangan baru: bagaimana tetap lestari sekaligus memberi solusi atas krisis iklim yang kian nyata.

Dilansir dari Forest Digest, lebih dari sekadar kain, batik menjadi simbol diplomasi dan persahabatan antarbangsa. Nelson Mandela, tokoh Afrika Selatan, bahkan menjadikan batik sebagai busana resminya dalam forum internasional.

Kini, peran batik semakin meluas: dari diplomasi, beralih pula menjadi medium edukasi tentang lingkungan dan konservasi atasi krisis iklim.

Gerakan ekobatik atau green batik mulai digerakkan sejumlah perajin di berbagai daerah. Dengan menggunakan pewarna alami serta pengelolaan limbah yang ramah lingkungan, batik bertransformasi menjadi produk budaya yang sekaligus mendukung keberlanjutan bumi.

Baca juga : Kurangi Jejak Karbon dengan Batik, Warisan Budaya Ramah Lingkungan 

Hal ini menjadikan batik relevan tidak hanya secara tradisi, tetapi juga dalam upaya melawan dampak krisis iklim.

“Pewarna alami seperti daun indigo, kunyit, kulit mangga, hingga limbah mangrove dipilih untuk menggantikan pewarna kimia yang berbahaya bagi lingkungan. Inovasi ini bukan hanya menjaga estetika batik, tetapi juga memperkuat konservasi alam, khususnya di wilayah pesisir yang rentan terdampak krisis iklim akibat kenaikan permukaan laut.” Dikutip dari Forest Digest.

Batik dan Tantangan Produksi Hijau

Meski potensial, produksi ekobatik tidak lepas dari hambatan. Pewarna alami memiliki keterbatasan variasi warna, ketersediaannya tidak menentu, dan proses pengolahannya lebih panjang. Akibatnya, harga ekobatik bisa melonjak hingga Rp 500 ribu–Rp 6 juta, membuatnya hanya menjangkau kalangan tertentu atau pasar ekspor.

Baca juga :  2 Oktober Memperingati Hari Apa? Berikut Daftarnya!

Namun, dukungan pemerintah terus hadir. Kementerian Perindustrian melalui Permenperin Nomor 39/2019 telah menetapkan standar industri hijau bagi industri batik. Fasilitasi pelatihan dan pendampingan diberikan untuk mendorong perajin menerapkan prinsip ramah lingkungan, sekaligus menekan jejak karbon industri kreatif.

Hari Batik Nasional bukan hanya ajang merayakan kain tradisional, tetapi juga momentum menegaskan komitmen budaya Indonesia dalam menghadapi krisis iklim. Melalui ekobatik, pesan harmoni manusia dengan alam kembali dihidupkan.

Pada akhirnya, melestarikan batik ramah lingkungan berarti menjaga warisan budaya sekaligus menjaga masa depan bumi. (*/IN)