back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
27.4 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Gebyar 73th Kalla Toyota, Banjir Hadiah dan Promo Spesial!

MAKASSAR — Dalam rangka memperingati 73 tahun Kalla, Kalla Toyota kembali menghadirkan program spesial bertajuk Gebyar 73th Kalla. Kegiatan ini dikemas dalam konsep yang...
BerandaKulinerDangke: Kuliner Lokal Enrekang Bertahan di Tengah Terpaan Krisis Iklim

Dangke: Kuliner Lokal Enrekang Bertahan di Tengah Terpaan Krisis Iklim

inspirasinusantara.id —  Gurih, lembut, dan sarat sejarah, itulah kesan pertama ketika menyantap dangke, keju khas Enrekang yang sudah ada sejak awal abad ke-20. Namun di balik kelezatannya, tersimpan kisah baru: perjuangan para peternak lokal menjaga warisan kuliner ini di tengah ancaman krisis iklim yang kian nyata

Dangke adalah keju lokal yang sudah dikenal di Enrekang sejak awal abad ke-20. Di masa lalu, masyarakat peternak sapi dan kerbau memproduksi dangke dari susu agar bahan pangan ini tidak mudah rusak.

Awalnya dangke hanya dinikmati oleh bangsawan atau pemilik ternak, sebagai simbol kehormatan dan jamuan khusus. Seiring waktu, ia meluas ke masyarakat umum dan kemudian menjadi bagian dari warisan kuliner Enrekang.

Nama “dangke” sendiri diyakini berasal dari ucapan “dank je” atau “danke” (terima kasih dalam bahasa Belanda), yang dipercaya terlontar ketika orang Belanda mencicipi hidangan tersebut. Kata itu kemudian melekat sebagai nama lokal untuk keju khas Enrekang.

Dilansir dari Biomed Central,  proses pembuatan dangke tetap tradisional hingga kini. Susu sapi atau kerbau dipanaskan, kemudian ditambahkan getah pepaya muda yang mengandung enzim papain sebagai koagulan alami. Gumpalan susu disaring dan dipadatkan menggunakan batok kelapa atau dicetak dengan daun pisang, lalu difermentasi secara spontan.

Dangke biasanya disajikan sebagai lauk dengan nasi, dan terutama dalam acara adat serta jamuan keluarga. Di Enrekang, dangke sering dikombinasikan dengan beras khas daerah, seperti pulu mandoti.

Sekarang, dangke telah mendapatkan status sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) bagi masyarakat Enrekang. Untuk pasar modern, sebagian produsen mulai menggunakan kemasan modern dan teknologi agar dapat memenuhi permintaan lebih luas, meski banyak produsen tetap mempertahankan cara tradisional demi menjaga cita rasa otentik.

Dampak Krisis Iklim pada Produksi Susu

Namun di balik popularitasnya, produksi dangke kini menghadapi ancaman serius: krisis iklim.nKenaikan suhu, gelombang panas, dan perubahan curah hujan ekstrem membuat hewan ternak mengalami stres panas (heat stress) yang berdampak langsung pada kualitas serta kuantitas susu.

Baca juga : Kreativitas Lawan Krisis Iklim, Tiktokers Bangun Sekolah dari Sampah Plastik

Penelitian global yang dimuat The Guardian (Juli 2025) memperingatkan bahwa gelombang panas dunia menyebabkan penurunan produksi susu hingga 10 persen per hari. Kondisi serupa juga dirasakan oleh peternak di Indonesia.

Sementara itu, pengrajin dangke di Enrekang mulai merasakan penurunan hasil susu, terutama di musim kemarau panjang. Kondisi padang rumput yang mengering membuat pakan alami berkurang drastis.

“Sapi perah kami cepat lelah, air sulit, dan rumput tidak tumbuh seperti dulu. Susu berkurang, otomatis produksi dangke juga menurun,” ungkap Rahmat, peternak di Kecamatan Baraka, Enrekang.

Adaptasi di Tengah Perubahan

Menghadapi tantangan ini, masyarakat Enrekang tidak tinggal diam. Sejumlah kelompok peternak mulai melakukan adaptasi sederhana namun efektif:

Menanam pakan tahan kering seperti rumput odot dan kaliandra,

Membangun penampungan air hujan untuk musim kemarau,

Memodifikasi kandang agar lebih sejuk, dan

Mengatur waktu pemerahan saat suhu lebih rendah di pagi atau sore hari.

Langkah-langkah adaptif ini menjadi kunci menjaga produksi susu lokal agar dangke tetap lestari. Program serupa juga mulai dilirik oleh perguruan tinggi dan pemerintah daerah untuk dikembangkan dalam skema “peternakan tahan iklim”.

Dangke bukan hanya cerita rasa, tapi juga kisah perlawanan terhadap krisis iklim — dari tanah Enrekang untuk dunia. (*/IN)