Inspirasinusantaraa.id — Ketika matahari pagi terasa seperti oven dan udara kota terasa sesak oleh panas malam, warga kota besar menyadari: krisis iklim bukan lagi wacana jauh, melainkan realita yang meresap ke dalam rutinitas harian.
Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu udara di sejumlah kota besar di Indonesia mencapai 35–38 derajat Celsius pada pertengahan Oktober 2025. Kondisi ini dipicu oleh anomali iklim akibat pemanasan global dan efek urban heat island, di mana permukaan beton dan aspal di kota-kota besar menyerap panas berlebihan.
“Krisis iklim memperparah suhu panas di wilayah tropis, terutama di kota padat penduduk dengan ruang hijau terbatas,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam keterangannya.
Sebuah penelitian MIT menunjukkan bahwa ketika suhu harian menembus 30 °C, orang menjadi 5% lebih mungkin menahan diri dari pergi ke taman umum, dan saat suhu mencapai 35 °C, angka itu melonjak menjadi 13%. Perubahan perilaku ini menggambarkan cara orang menghindari paparan panas langsung.
“Kami memang mengamati adaptasi,” kata Siqi Zheng, seorang profesor di MIT dan salah satu penulis makalah baru yang merinci temuan studi tersebut. Ia menambahkan: “Bahaya lingkungan memang merusak kualitas hidup sehari-hari. Ya, orang-orang melindungi diri mereka sendiri dengan membatasi aktivitas, tetapi mereka kehilangan manfaat dari pergi keluar untuk menikmati alam, atau bertemu teman di taman.”
Baca juga : Krisis Iklim Picu Cuaca Panas, Begini Cara Bikin Rumah Tetap Adem
Data penelitian terkini dari arXiv juga mendukung temuan tersebut: di kota-kota besar Indonesia, aktivitas mobilitas (perjalanan, jalan kaki) bisa turun hingga 5% pada hari panas ekstrem lonjakan suhu akan berdampak lebih besar di daerah dengan pendapatan rendah.
Beradaptasi Lewat Gaya Berpakaian
Panas ekstrem kini memaksa masyarakat untuk mengubah cara berpakaian. Tak sekadar soal mode, melainkan soal bertahan di tengah suhu yang kian tidak bersahabat.
Laporan Business of Fashion menyebutkan, jumlah hari panas ekstrem di kota-kota industri dunia meningkat 42 persen dalam 20 tahun terakhir. Situasi ini memicu lahirnya tren busana baru yang menekankan kenyamanan dan perlindungan dari panas.
Menurut laporan PreventionWeb (2025), sejumlah perusahaan mode di Asia dan Eropa kini mengembangkan “cooling fabric” — bahan berteknologi tinggi yang dapat memantulkan panas dan membantu menjaga suhu tubuh tetap stabil. Sementara itu, potongan pakaian longgar, bahan alami seperti katun dan linen, serta warna terang menjadi pilihan utama masyarakat perkotaan.
“Pakaian dengan teknologi penolak panas dan sirkulasi udara yang baik akan menjadi standar baru dalam industri fashion global,” tulis Forbes dalam artikelnya berjudul “Wardrobe Crisis: How Will We Dress for Extreme Heat?”
Krisis iklim, khususnya panas ekstrem, secara nyata merombak cara kita berpakaian, beraktivitas, dan beristirahat baik di dalam rumah maupun ruang publik kota besar. Data penelitian dan laporan kesehatan menegaskan bahwa ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan transformasi gaya hidup paksa dalam menghadapi iklim yang makin menekan. (*/IN)



