inspirasinusantaara.id — Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) mengajukan alternatif kebijakan terkait penanganan pakaian bekas impor ilegal.
Ketua Umum AGTI, Anne Patricia Sutanto, menilai langkah pemusnahan barang sitaan sebaiknya diganti dengan pendekatan produktif melalui proses daur ulang agar tetap memberikan nilai ekonomi bagi industri tekstil nasional.
“Daripada dibakar, pakaian-pakaian ini masih bisa dimanfaatkan. Banyak bahan dasarnya seperti polyester atau katun yang dapat diolah kembali menjadi bahan baku industri,” ujar Anne di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, dikutip dari Kompas.com
AGTI, kata Anne, sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah yang menegaskan larangan impor pakaian bekas sebagaimana diatur dalam Permendag. Namun, ia menekankan pentingnya konsistensi penegakan aturan di lapangan, termasuk dalam memastikan agar barang sitaan tidak kembali beredar di pasar lokal.
“Langkah tegas yang diambil Kemenkeu dan Bea Cukai sudah tepat. Tapi agar dampaknya maksimal, penegakan di lapangan juga harus berkelanjutan. Salah satu cara konkretnya adalah mengolah hasil sitaan agar tidak sia-sia,” tambahnya.
Anne juga menegaskan bahwa kebijakan pelarangan thrifting ilegal bukan bentuk proteksionisme industri, melainkan bagian dari komunikasi kebijakan yang menekankan pentingnya kepatuhan hukum dan tanggung jawab pelaku usaha.
“Kita tidak menolak impor. Namun, yang diinginkan adalah praktik impor yang resmi dan sesuai aturan. Industri lokal pun harus bersaing secara sehat dengan importir yang patuh pajak dan regulasi,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa pemerintah akan memperketat sanksi bagi pelaku impor pakaian bekas ilegal, termasuk pemusnahan barang, denda berat, hingga pelarangan impor seumur hidup bagi pelanggar.
Langkah AGTI ini mencerminkan pendekatan komunikasi kebijakan yang adaptif bukan sekadar menindak pelanggaran, tetapi juga mengusulkan solusi berkelanjutan yang mendukung ekonomi sirkular, keberlanjutan industri tekstil, dan kepatuhan terhadap regulasi perdagangan nasional. (*/IN)


