back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
33 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

5 Tempat Wisata di Sulsel: Alamnya Bikin Tak Percaya Ini Masih Indonesia!

inspirasinusantara.id  -- Sulawesi Selatan menyimpan beragam tempat wisata yang menakjubkan dan tak kalah indah dari destinasi internasional. Dari pantai berpasir putih hingga pegunungan yang...
BerandalingkunganBukan Sekadar Gaya Hidup: Keadilan Krisis Iklim Dimulai dari Dapur 

Bukan Sekadar Gaya Hidup: Keadilan Krisis Iklim Dimulai dari Dapur 

inspirasinusantara.id — Krisis iklim tak lagi hanya diukur dari naiknya suhu bumi atau mencairnya es di kutub, melainkan dari sisa makanan di dapur, plastik di pasar, dan keputusan kecil di rumah tangga.

Krisis iklim kini tidak lagi hanya soal menurunkan emisi karbon, tetapi tentang bagaimana kita mengelola sumber daya yang sudah ada agar tidak terus terkuras. Gerakan zero waste muncul sebagai pendekatan paling nyata untuk menekan laju krisis tersebut—bukan hanya di tong sampah, tapi juga di ruang kebijakan dan dapur rumah tangga.

Menurut Yobel Novian Putra, Climate Program Officer di Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), isu sampah tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi material yang menjadi akar penyebab pemanasan global.

“Kalau kita bicara krisis iklim, kita bicara tentang bagaimana sumber daya bumi digunakan dan dibuang. Di situlah zero waste memainkan peran strategis,” ujarnya dalam sebuah diskusi jaringan masyarakat sipil, Selasa (7/10/2025).

Dari Produksi hingga Piring Makan: Rantai Krisis Iklim yang Tak Terlihat

Selama ini, sektor sampah sering dianggap berkontribusi kecil terhadap emisi—sekitar 3 hingga 5 persen. Namun, Yobel menyebut angka itu menipu karena tidak menghitung emisi dari rantai material, mulai dari ekstraksi bahan mentah, produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Baca juga :  Krisis Iklim Mereda dengan Cahaya Ramah yang Bijak

“Lebih dari 60 persen emisi global berasal dari rantai material. Jadi bukan hanya limbahnya, tapi sistem produksinya yang bermasalah,” katanya dikutip dari Republik.co.id.

Contoh paling nyata adalah plastik, yang berasal dari bahan bakar fosil. Semakin banyak plastik diproduksi, semakin besar jejak karbon yang dihasilkan, bahkan sebelum barang itu menjadi sampah.

“Plastik adalah wajah baru industri fosil,” tegas Yobel.

Ia menilai kebijakan yang memberi insentif pajak pada industri petrokimia justru memperpanjang siklus ketimpangan lingkungan.

“Sementara rakyat kecil di sekitar kawasan industri menanggung polusi udara dan air,” tambahnya.

Sampah Organik: Aset Iklim yang Terlupakan

Selain plastik, Yobel menyoroti potensi besar dari pengelolaan sampah organik. Ia menyebut sampah makanan di TPA menjadi penyumbang utama gas metana—gas rumah kaca yang 80 kali lebih berbahaya dari karbon dioksida.

“Kalau kita serius ingin memperlambat pemanasan bumi, maka pengomposan skala kota harus jadi prioritas nasional,” ujarnya.

Menurut GAIA, komposisasi bisa mengurangi hingga 95 persen emisi metana secara global jika dilakukan secara konsisten. Tak hanya itu, kompos juga meningkatkan daya serap tanah dan bisa masuk ke skema pendanaan adaptasi iklim.

Namun sayangnya, pupuk organik masih kalah bersaing karena subsidi publik lebih banyak mengalir ke industri petrokimia. “Kita bukan tidak punya uang, tapi uangnya salah arah,” tegas Yobel.

Zero Waste sebagai Gerakan Sosial, Bukan Sekadar Teknologi

GAIA menolak pendekatan instan seperti insinerator atau Refuse Derived Fuel (RDF) yang kini marak dibangun oleh pemerintah daerah.
“Pembakaran apa pun tetap menghasilkan emisi tinggi dan memperburuk krisis iklim. Solusi itu hanya mempercantik wajah polusi,” jelas Yobel.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa gerakan nol sampah sejati harus berbasis keadilan sosial. Para pemulung dan pekerja informal yang selama ini menopang sistem daur ulang justru sering tersingkir karena kebijakan modernisasi pengelolaan sampah.

“Zero waste yang adil tidak meninggalkan siapa pun. Mereka adalah pahlawan lingkungan yang harus dilibatkan, bukan dihapus,” ujarnya.

Menjelang COP30, Yobel menilai Indonesia memiliki momentum penting untuk menata ulang arah kebijakan iklimnya. Ia menekankan bahwa masa depan pengelolaan sampah tidak ditentukan oleh teknologi mahal, melainkan oleh keberanian untuk menata ulang sistem ekonomi dan sosial yang lebih berkeadilan.

“Zero waste adalah pintu masuk menuju keadilan iklim. Ini bukan hanya tentang kebersihan kota, tapi tentang masa depan planet yang layak huni,” tutupnya. (*/IN)