back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
32 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Ketika Kebencian Menjadi Sebuah Seni

Judul Buku : Malice Pengarang : Keigo Higashino Alih Bahasa : Faira Ammadea Editor : Rara Desain Sampul : Martin Dima Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Tahun Terbit...
BerandaEksklusifGerakan Dakwah Hijau Makassar di Tengah Krisis Iklim

Gerakan Dakwah Hijau Makassar di Tengah Krisis Iklim

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Suatu Jumat siang di Makassar, Faqih Naswan duduk bersila di saf tengah Masjid Darul Arqom. Seperti Jumat-Jumat sebelumnya, ia mendengarkan khotbah dengan tenang. Namun, beberapa bulan terakhir, ada yang berbeda. Para khatib mulai mengangkat tema yang tak biasa: lingkungan hidup.

“Dulu, khotbah Jumat hampir tak pernah bicara soal alam atau krisis lingkungan,” ujar Faqih, alumni Pondok Pesantren Darul Arqom Muhammadiyah Gombara.

Dalam ingatannya, para khatib lebih sering berbicara soal ibadah, hukum syariat, atau akhlak individu. Soal pohon, sampah, atau perubahan iklim? Hampir tak terdengar. Namun semua mulai berubah. Faqih mencatat titik baliknya ada saat isu reboisasi dan kerusakan lingkungan makin mencuat.

Baca juga: Makassar dalam Krisis: Jalan Panjang Menuju Kota Ramah Iklim

“Baru ketika kerusakan alam jadi persoalan yang besar, para mubalig mulai mengaitkannya dengan ajaran Islam,” katanya.

Ia menyebut, pendekatan ini membuat masyarakat mulai melihat alam tak lagi sekadar sebagai latar, tapi sebagai amanah. Faqih sendiri tak menampik dampak khotbah itu pada dirinya. Ia mengaku belum sepenuhnya konsisten, namun mulai berusaha membuang sampah pada tempatnya dan mengingatkan orang-orang sekitarnya untuk melakukan hal sama.

“Belum setiap hari, tapi ada kesadaran yang tumbuh.”

Kesadaran ekologis yang tumbuh di masjid itu, baginya, penting. Lingkungan adalah bagian dari sistem kehidupan. Kalau tak dijaga, sulit mewujudkan masyarakat yang makmur dan stabil. Maka ketika masjid mulai berbicara soal lingkungan, menurut Faqih, pesan itu terasa lebih dalam. Ia tak lagi mendengar ajakan yang abstrak, tapi ajakan yang menyentuh hidup sehari-hari.

Baca juga: Eco-anxiety : Anak Muda Makassar dan Kecemasan Iklim

Faqih berharap dakwah lingkungan tidak hanya menjadi tren sesaat. Tema ini, katanya, perlu terus hadir secara rutin di mimbar-mimbar keagamaan.

“Tanpa lingkungan yang bersih dan nyaman, mustahil tercipta masyarakat yang sejahtera.”

Khotbah Jumat yang membahas lingkungan bisa jadi kecil dalam skala, tapi dalam bagi Faqih, itu adalah permulaan penting. Dari mimbar, kesadaran hijau itu bisa mengakar di bumi — selama tak berhenti hanya sebagai wacana.

Pesan dari Mimbar yang Berpindah

Hal serupa disampaikan Panji Hartono, mahasiswa pascasarjana UIN Alauddin Makassar. Selama dua tahun terakhir, ia aktif berpindah dari satu masjid ke masjid lain untuk menyampaikan khotbah. Tema lingkungan, baginya, belum menjadi arus utama dalam dakwah.

“Masih minim. Padahal ini persoalan mendesak yang perlu segera disikapi umat,” ujarnya.

Panji kerap menekankan satu hal dalam khotbahnya: posisi manusia sebagai khalifah di bumi. Ia membawa tafsir ekologis dari ayat-ayat Al-Qur’an, salah satunya Surah Ar-Rum ayat 41, yang menyebut kerusakan di darat dan laut akibat ulah manusia. Bagi Panji, pesan ini sangat kontekstual dengan kondisi saat ini.

“Kesadaran ekologis adalah bagian dari takwa,” tambahnya, merujuk pada Al-Hasyr ayat 18. Dalam ayat itu, Panji melihat pentingnya memikirkan masa depan dan generasi mendatang. Merawat lingkungan hari ini, artinya mempersiapkan kondisi umat yang lebih baik kelak.

Panji mengaku belum pernah mengalami penolakan atas tema yang ia sampaikan. Bahkan, ia melihat respons jamaah cukup positif.

“Seringkali mereka mengangguk-angguk saat saya bicara soal peran manusia menjaga bumi.”

Namun, karena berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lain, Panji tidak bisa memastikan apakah ada perubahan perilaku nyata di kalangan jamaah. Yang jelas, ia percaya setiap khotbah yang menyuarakan krisis ekologis adalah satu langkah kecil yang berarti.

“Masjid punya potensi besar untuk membentuk kesadaran kolektif soal lingkungan. Dakwah hijau ini tak boleh berhenti di lisan. Harus menyentuh kebiasaan.”

Langkah Hijau di Al-Markaz

Program ramah lingkungan di masjid juga tidak lagi sekadar wacana. Di Makassar, Masjid Al-Markaz Al-Islami menjadi salah satu contoh nyata bagaimana tempat ibadah bisa mempraktikkan prinsip ekologi dalam tata kelola hariannya. Fadhlan Rezki, Sekretaris BPH Ibadah dan Dakwah, menjelaskan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, Al-Markaz telah mengusung agenda masjid ramah lingkungan.

“Masjid Al-Markaz secara khusus melakukan penghijauan dengan menanam ratusan pohon di sekeliling area masjid,” ujarnya.

Tak hanya sebatas lanskap hijau, masjid ini juga menerapkan langkah-langkah konkret lain, seperti memasang panel surya, menghemat air dan listrik dengan membatasi penggunaan kipas dan lampu di area salat.

Kesadaran ekologis juga disampaikan lewat mimbar dan media sosial. Dalam satu tahun, pengurus telah menyusun daftar tema khotbah Jumat secara tematik. Meski topik lingkungan lebih dominan di forum pengajian seperti ba’da Magrib dan Isya, semangat dakwah hijau tetap dijaga melalui berbagai kanal.

“Kami juga menghimbau jamaah mengurangi penggunaan kantong plastik dan terus melakukan pendekatan persuasif,” kata Fadhlan.

Namun, ia tidak menampik masih ada tantangan besar. Salah satunya adalah rendahnya kesadaran sebagian jamaah terhadap pentingnya mencintai lingkungan. Menurutnya, paradigma sebagian besar masih menganggap program masjid hanya berkutat pada urusan ibadah mahdhah: salat, zakat, puasa, dan haji.

Padahal, bagi Fadhlan, justru dari ruang-ruang ibadah inilah kesadaran ekologis seharusnya lahir. Lewat jejaring sosial kemasyarakatan yang dimiliki Al-Markaz, pengurus berharap pesan ini terus meluas, melampaui tembok masjid, menyentuh rumah-rumah dan rutinitas para jamaah.

Filsafat Ekologis dari Mimbar

Di balik gerakan dakwah hijau di Makassar, ada nama Prof Mustari Mustafa. Ia adalah Guru Besar Filsafat Islam di UIN Alauddin Makassar, Ketua Harian Masjid Al-Markaz Al-Islami Jenderal M. Jusuf, serta Ketua Harian Bidang Kerjasama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulsel. Dalam berbagai forum, ia konsisten menyuarakan bahwa lingkungan bukan sekadar urusan duniawi, tetapi spiritual.

“Dalam Islam, lingkungan bukan sekadar latar kehidupan, tetapi tanda-tanda (jejak, ayat) Tuhan yang harus direnungi. Alam adalah manifestasi dari kehendak dan kebijaksanaan Allah,” ujarnya.

Ia mengutip pemikiran Ibn ‘Arabi, yang menyebut alam sebagai tajalliyat—penampakan Tuhan. Karena itu, katanya, merusak lingkungan berarti menodai perwujudan ilahi di dunia.

Prof Mustari menjelaskan, konsep-konsep utama dalam Islam seperti khalifahamanah, dan mizan menjadi fondasi untuk membangun kesadaran ekologis umat.

“Manusia diberi amanah untuk menjaga dan memakmurkan bumi. Alam bukan milik absolut manusia, tapi titipan. Mizan adalah prinsip keseimbangan—jika ini dilanggar, maka akan lahir krisis,” katanya. Ia merujuk pada Surah Ar-Rahman yang menegaskan bahwa alam diciptakan seimbang.

Filsuf Muslim seperti Al-Farabi, lanjutnya, menekankan pentingnya keteraturan alam sebagai harmoni kosmos. Keteraturan itu menuntut manusia untuk hidup selaras dengan alam, bukan mengeksploitasinya. Menurutnya, dakwah adalah instrumen penting untuk menjawab krisis iklim hari ini.

“Dakwah menyentuh hati dan kesadaran, bukan hanya logika. Perubahan sosial harus berakar pada transformasi spiritual,” ujarnya.

Dalam kerangka filsafat eksistensial Islam, menjaga alam adalah bentuk ibadah dan ekspresi cinta kepada Sang Pencipta.Namun, ia mengakui, pesan-pesan ekologis belum menjadi arus utama dalam khotbah maupun kurikulum keislaman.

“Pesan-pesan ekologis masih marginal. Ini mencerminkan keterlambatan adaptasi institusi keagamaan terhadap tantangan zaman,” katanya.

Ia mengutip Mulla Sadra untuk menekankan bahwa hidup adalah kemampuan menangkap realitas terdalam, termasuk urgensi krisis ekologis. Ada pula tantangan dalam mendorong literasi lingkungan di kalangan ulama.

“Referensi Islam yang kontekstual soal ekologi masih kurang. Ada resistensi karena isu lingkungan dianggap asing. Kurikulum kita masih dominan pada hukum, bukan etika atau kosmologi spiritual,” ujar Mustari.

Ia menyebut pandangan Seyyed Hossein Nasr: hilangnya sacred cosmology dalam pendidikan Islam modern membuat umat kehilangan keterhubungan spiritual dengan alam. Untuk mengatasi konservatisme dalam mimbar keagamaan, iamenyarankan pendekatan yang otentik.

“Gunakan bahasa agama yang kuat secara dalil, menyentuh batin, bukan hanya informatif,” katanya.

Ia menganjurkan menampilkan teladan Nabi Muhammad, seperti tidak boros air, mencintai pohon, dan melarang polusi.

“Semua itu ajaran Nabi yang sangat relevan untuk dakwah ekologi.”

Ia juga mendorong pembentukan jaringan Dai transformatif dan memasukkan filsafat Islam sebagai jembatan antara pemahaman rasional dan spiritual.

“Kita butuh Dai yang paham substansi, bukan hanya mengulang teks,” katanya.

Sebagai Ketua Harian Masjid Al-Markaz, Prof Mustari menginisiasi gerakan masjid sebagai pusat kegiatan dakwah, pendidikan, ibadah, dan sosial. Sejak 2023, dengan dukungan Ketua Dewan Pembina Jusuf Kalla, gerakan itu aktif dijalankan.

“Kami benahi interior dan eksterior masjid, aktifkan kegiatan ibadah, pengajian, bazar, olahraga, pelayanan sosial. Kami juga bangun kemitraan dengan pemerintah, perbankan, dan jaringan pemuda masjid,” katanya. Termasuk di dalamnya adalah upaya membumikan dakwah hijau.

Bagi Prof Mustari, semua itu bukan inovasi modern, melainkan penggalian kembali khazanah Islam.

“Alam adalah bagian dari spiritualitas. Jika mimbar mampu mengangkat relasi manusia-alam-Tuhan secara utuh, akan lahir mukmin yang bukan hanya shaleh ritual, tapi juga shaleh ekologis,” ujarnya.

Jejak Gerakan Dakwah Hijau di Masjid

Di tengah krisis iklim yang kian nyata, masjid-masjid di Indonesia perlahan mulai bergerak. Dari mimbar, khotbah-khotbah Jumat yang dulu lebih banyak membahas syariat dan akhlak personal, kini mulai menyelipkan ajakan menjaga bumi. Fenomena ini bukan terjadi tiba-tiba. Ia bertunas sejak setidaknya 2016, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI) memperkenalkan konsep Eco-Masjid. Gerakan ini bertujuan menjadikan masjid bukan hanya pusat ibadah, tapi juga agen perubahan lingkungan.

Masjid Azzikra di Sentul menjadi proyek awal gerakan ini. Lalu disusul Konferensi Nasional Masjid Ramah Lingkungan pada 2022 yang digagas Kementerian Agama. Dari forum ini, lahir pedoman pengelolaan masjid yang lebih ramah terhadap air, energi, dan sampah. Misi mereka: menempatkan masjid sebagai ruang suci sekaligus ruang edukasi ekologis umat.

Hingga 2024, setidaknya 206 masjid telah terdaftar dalam platform EcoMasjid.id. Angka ini masih kecil dibanding jumlah masjid dan musala di Indonesia yang mencapai lebih dari 660 ribu, namun geliatnya mulai terlihat. Masjid Istiqlal, misalnya, telah menjadi yang pertama di dunia menerima sertifikat green building EDGE—berkat penggunaan panel surya, daur ulang air wudhu, serta keran hemat energi.

Sementara itu di Makassar, geliat serupa juga mulai tampak. Masjid Al-Markaz Al Islami, salah satu masjid terbesar di Sulawesi Selatan, menginisiasi langkah-langkah konkret: menanam ratusan pohon di sekeliling masjid, menggunakan panel surya, menghemat air dan listrik, serta mengurangi plastik. Pengurus masjid bahkan menyusun tema dakwah tahunan yang secara khusus memasukkan isu lingkungan—meski tema ekologis lebih sering dibahas dalam pengajian rutin ba’da magrib dan isya.

Data dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta mencatat, hingga 2024 terdapat 192 komunitas lingkungan berbasis keagamaan. Ini termasuk kelompok eco-masjid, pesantren hijau, dan sekolah Islam ramah lingkungan. Di Makassar, sebagian masjid dan komunitas sudah mulai merintis jalur ini—baik melalui dakwah lisan, pengelolaan energi, hingga edukasi langsung kepada jamaah.

Kebijakan pun mulai mendukung. Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam Kemenag Nomor 463 Tahun 2024 menetapkan lima kategori masjid ramah, salah satunya masjid ramah lingkungan. Panduannya menekankan pentingnya pengelolaan energi, sampah, air wudhu, dan bahkan digitalisasi dokumen masjid demi efisiensi.

Gerakan masjid hijau di Indonesia, khususnya di Makassar, mungkin belum massif. Tapi langkah-langkah kecil itu telah dimulai: dari khutbah Jumat yang menyinggung perubahan iklim, hingga pohon-pohon yang ditanam diam-diam di halaman masjid.

Perlahan, kesadaran ekologis mulai mengakar—bukan hanya sebagai program, tapi sebagai bagian dari iman. (*)