inspirasinusantara.id — Krisis iklim kini bukan lagi isu masa depan, tetapi ancaman nyata yang perlahan menggerus kehidupan manusia. Bukan hanya soal panas terik atau curah hujan yang tak menentu, tapi tentang bagaimana perubahan iklim mengancam ketahanan pangan, fondasi utama kehidupan.
Laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan bahwa perubahan iklim berdampak langsung pada empat pilar ketahanan pangan: ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas suplai. Cuaca ekstrem, kekeringan panjang, serta banjir beruntun mulai mengganggu produksi pertanian di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Menurut IPCC, peningkatan suhu global sekecil apa pun dapat menurunkan hasil panen padi, jagung, dan gandum hingga 10 persen setiap dekade. Sementara itu, laporan Oxfam International mengingatkan bahwa dampak iklim bukan hanya pada jumlah panen, tapi juga pada kualitas gizi.
Tanaman yang tumbuh di suhu lebih tinggi cenderung memiliki kandungan nutrisi lebih rendah.
Ketika Krisis Pangan Berarti Krisis Kesehatan
Kondisi ini memunculkan efek berantai. Gangguan terhadap produksi pangan otomatis meningkatkan harga bahan pokok, yang membuat banyak keluarga kesulitan mengakses makanan bergizi.
Baca juga : Nyamuk Pertama Muncul di Islandia: Tanda Krisis Iklim Semakin Nyata
Menurut World Health Organization (WHO), perubahan iklim telah memicu lonjakan kasus malnutrisi, terutama di negara-negara berkembang.
“Ketika hasil panen turun, harga naik, dan akses terhadap makanan bergizi semakin terbatas — maka kita bukan hanya bicara tentang krisis pangan, tapi juga krisis kesehatan,” tulis WHO dalam laporannya berjudul Climate Change and Health.
Ekonomi yang Ikut Terancam
Krisis pangan akibat iklim juga menggerus ekonomi global. World Economic Forum (WEF) memperkirakan bahwa hingga tahun 2050, perubahan iklim dapat menyebabkan kerugian ekonomi mencapai USD 12,5 triliun dan memicu 14,5 juta kematian tambahan akibat kelaparan dan penyakit terkait iklim.
Sementara Bank Dunia menyebut negara-negara berpenghasilan rendah akan menanggung beban paling berat. Dampak terhadap sektor kesehatan akibat perubahan iklim bisa menelan biaya setara 1,3 persen dari PDB mereka setiap tahun.
Artinya, menunda aksi iklim bukan hanya merugikan lingkungan — tapi juga menghantam ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara langsung.
Harapan Masih Ada: Bergerak dari Piring Kita Sendiri
Meski situasi tampak mengkhawatirkan, langkah kecil dari masyarakat dapat menciptakan dampak besar.
Pakar ketahanan pangan menyarankan beberapa langkah inspiratif yang bisa dimulai sejak sekarang:
Dukung pangan lokal dengan membeli hasil tani sekitar, agar rantai pasok lebih efisien dan emisi transportasi berkurang.
Kurangi limbah makanan, sebab setiap makanan yang terbuang berarti energi, air, dan tanah yang juga terbuang.
Diversifikasi konsumsi dengan mengandalkan bahan pangan yang lebih tahan terhadap perubahan iklim seperti sorgum, ubi, atau jagung lokal.
Sejumlah komunitas petani di Indonesia juga mulai beradaptasi. Mereka memanfaatkan teknologi irigasi hemat air, menanam varietas padi tahan kekeringan, dan memperkuat koperasi pangan agar distribusi tetap stabil meski cuaca berubah.
Krisis iklim bukan sekadar tentang langit mendung atau gelombang panas. Ini tentang makanan yang kita santap, kesehatan keluarga yang kita jaga, dan masa depan ekonomi yang kita bangun.
Menunda berarti membiarkan harga pangan melambung, anak-anak kekurangan gizi, dan petani kehilangan harapan.
Karena itu, peduli sekarang, bukan nanti, adalah satu-satunya pilihan. (*/IN)
Sumber:
IPCC Report – Climate Change and Food Security
Oxfam International – Hotter World, Hungrier World
World Health Organization – Climate Change and Health
World Economic Forum – Climate Crisis and Health 2024
World Bank – Health and Climate Change Brief


