inspirasinusantara.id — Tren Outfit of The Day (OOTD) yang begitu digemari generasi muda kini menjadi simbol kreativitas dan ekspresi diri. Namun di balik keceriaan media sosial, dunia mode menyimpan sisi gelap: kontribusi besar terhadap krisis iklim global.
Menurut data United Nations Environment Programme (UNEP), industri fashion bertanggung jawab atas 8 hingga 10 persen emisi gas rumah kaca global setiap tahun lebih besar dibandingkan gabungan emisi dari penerbangan internasional dan pelayaran laut.
“Jika pola konsumsi dan produksi fast fashion terus berlanjut, industri ini bisa menghabiskan seperempat dari jatah karbon dunia pada tahun 2050,” tulis UNEP dalam laporannya (UNEP, 2023).
Industri mode modern, khususnya fast fashion, tumbuh pesat dengan model bisnis yang mengandalkan produksi cepat dan murah. Dampaknya terhadap lingkungan sangat besar:
Setiap tahun, industri fashion menghasilkan sekitar 92 juta ton limbah tekstil di seluruh dunia (Earth.org, 2024).
Produksi tekstil menyumbang sekitar 20% dari total limbah air global, dan satu kaus katun membutuhkan 2.700 liter air untuk diproduksi — setara kebutuhan minum satu orang selama 2,5 tahun (Scientific American, 2023).
Lebih dari 60% pakaian kini dibuat dari bahan sintetis seperti poliester, yang berasal dari bahan bakar fosil. Saat dicuci, serat mikroplastik lepas ke laut dan mencemari ekosistem laut (Greenpeace International, 2024).
Baca juga : Jepang Hadapi Krisis Iklim, Empat Musim Perlahan Menghilang
Menurut The Guardian (2024), sebagian besar merek fashion besar seperti DKNY, Reebok, dan Tom Ford belum memiliki strategi dekarbonisasi yang jelas untuk mengurangi emisi dalam rantai produksinya.
Fast Fashion di Indonesia: Gaya Cepat, Dampak Panjang
Di Indonesia, tren OOTD di kalangan Gen Z tumbuh pesat. Platform seperti TikTok dan Instagram mendorong budaya “baju baru setiap unggahan.”
Namun, di sisi lain, muncul konsekuensi serius:
Ledakan impor pakaian bekas dan limbah tekstil yang tak terkelola dengan baik.
Kesadaran konsumen masih rendah terhadap dampak iklim dari pilihan fashion mereka.
Merek lokal berkelanjutan masih kalah bersaing dengan produk cepat dan murah dari luar negeri.
Aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, Ratri Nuraini, menilai kebiasaan konsumsi cepat tanpa edukasi lingkungan bisa memperburuk krisis iklim.
“Tren OOTD memang menarik, tapi tanpa kesadaran ekologis, kita sedang mempercepat kerusakan bumi. Setiap pakaian yang dibuang berarti energi, air, dan karbon yang ikut terbuang,” ujarnya dalam wawancara (Greenpeace Indonesia, 2024).
Sustainable Fashion: Gaya yang Menyelamatkan Bumi
Meski situasinya mengkhawatirkan, harapan tetap ada. Sejumlah desainer dan merek lokal mulai mengusung konsep sustainable fashion memproduksi secara etis, memakai bahan alami, dan memperpanjang usia pakai pakaian. Misalnya:
Sejauh Mata Memandang (Jakarta) menggunakan kain daur ulang dan pewarna alami.
SukkhaCitta mengedepankan pemberdayaan pengrajin lokal dan sistem produksi rendah emisi.
Kana Goods memakai kain tradisional tenun dan batik dengan proses ramah lingkungan.
Menurut CarbonTrail (2024), jika pola konsumsi beralih ke pakaian berkelanjutan dan sirkular misalnya memperpanjang umur pakaian 9 bulan maka emisi karbon dari industri fashion bisa berkurang hingga 30%.
Krisis iklim bukan hanya soal bahan bakar fosil atau deforestasi, tetapi juga soal pakaian yang kita kenakan setiap hari.
Di era OOTD, setiap klik belanja online meninggalkan jejak karbon di bumi. Fast fashion mungkin membuat gaya kita berubah cepat, tetapi planet ini membayar harganya jauh lebih mahal.
Jika ingin tetap tampil modis sekaligus menjaga bumi, saatnya beralih ke fashion yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan karena bumi tak punya lemari cadangan. (*/IN)



