back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
26.1 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

BI Sulsel Tutup BEKS 2025, Perkuat Ekosistem Ekonomi Syariah Inklusif

MAKASSAR, inspirasinusantara.id — Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulawesi Selatan (KPwBI Sulsel) resmi menutup rangkaian kegiatan Bulan Ekonomi dan Keuangan Syariah (BEKS) 2025...
BerandaTeknologiPendekatan Lembut Tapi Tegas: Cara Baru Indonesia Jaga Anak Digital

Pendekatan Lembut Tapi Tegas: Cara Baru Indonesia Jaga Anak Digital

inspirasinusantra.id — Pemerintah Indonesia mengambil jalur berbeda dibandingkan Australia dalam upaya melindungi anak dari dampak negatif media sosial.

Alih-alih menerapkan larangan tegas bagi remaja di bawah 16 tahun untuk memiliki akun di media sosial, Indonesia memilih menekankan aspek komunikasi kebijakan berbasis literasi digital melalui peluncuran platform Tunasdigital.id.

Langkah ini menandai perubahan paradigma komunikasi publik: dari regulasi yang bersifat top–down menjadi model partisipatif dan edukatif.

Menurut Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid, pendekatan ini berlandaskan PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP Tunas), yang tidak hanya menetapkan batasan usia pengguna, tetapi juga menempatkan peran orang tua sebagai mitra utama pemerintah dalam mendampingi anak berinternet.

“Kita bicara bagaimana cara implementasi ke depan supaya ini betul-betul bisa dijalankan dengan baik,” ujar Meutya Hafid, menegaskan pentingnya komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat dikutip dari Bloombergh Technoz.

Strategi Komunikasi: Literasi sebagai Instrumen Kebijakan

Melalui Tunasdigital.id, Kemkomdigi menerjemahkan PP Tunas ke dalam bahasa publik yang mudah dipahami. Situs tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pusat informasi, tetapi juga sebagai kanal komunikasi kebijakan yang menyasar orang tua terutama ibu sebagai “first digital guardian”.

Platform ini berisi konten edukatif berupa panduan, pengalaman orang tua, dan rekomendasi pakar, dengan bahasa yang inklusif dan naratif. Pendekatan ini memperlihatkan strategi komunikasi pemerintah yang empatik, berbasis komunitas, dan edukatif, berbeda dengan gaya komunikasi koersif yang diterapkan di Australia melalui ancaman denda besar bagi platform digital.

Dirjen Komunikasi Publik dan Media, Fifi Aleyda Yahya, menyebut inisiatif ini sebagai “gerakan literasi digital yang membekali orang tua agar anak-anak dapat memilah informasi, menjaga etika online, serta menjelajahi dunia maya dengan aman.”

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa komunikasi kebijakan tidak berhenti pada penyampaian regulasi, melainkan berlanjut pada proses pemberdayaan masyarakat digital.

Refleksi: Komunikasi Kebijakan yang Kontekstual dan Inklusif

Jika Australia mengandalkan penegakan hukum berbasis sanksi, maka Indonesia menempatkan komunikasi publik dan literasi digital sebagai sarana penegakan nilai. Pendekatan ini sejalan dengan karakteristik sosial Indonesia yang menekankan gotong royong dan pendampingan keluarga, bukan sekadar kepatuhan terhadap aturan teknis.

Dalam konteks komunikasi kebijakan, langkah Kemkomdigi dapat dipahami sebagai upaya membangun ekosistem kebijakan yang komunikatif, di mana masyarakat menjadi bagian dari proses pelindungan anak di dunia digital, bukan hanya sebagai objek yang diatur. (*/IN)