inspirasinusantara.id — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa kebijakan pemerintah untuk menertibkan perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting ilegal bukan bertujuan mematikan usaha kecil, melainkan untuk melindungi industri tekstil nasional dari gempuran produk impor murah yang semakin marak.
Dalam Rapat Kerja bersama Komite IV DPD RI di Jakarta, Senin (3/11), Purbaya menjelaskan bahwa pemerintah akan memperkuat pengawasan di jalur masuk barang, khususnya terhadap produk pakaian bekas ilegal atau yang dikenal dengan balpres. Langkah ini, kata dia, merupakan bagian dari strategi membangun daya saing industri domestik agar lebih kuat dan berkelanjutan.
“Banyak barang-barang yang ilegal, yang balpres itu semua. Kita akan tutup supaya industri domestik, terutama tekstil, bisa hidup kembali,” ujar Purbaya.
Menurutnya, kebijakan ini diambil setelah mencermati langsung dinamika opini publik. Ia mengaku memantau berbagai komentar masyarakat di media sosial, termasuk TikTok, untuk melihat reaksi para pelaku usaha kecil.
“Saya baca itu, saya pantau TikTok untuk melihat apa sih respons masyarakat. Banyak pedagang yang hidup dari situ, pedagang thrifting marah-marah sama saya. Tapi itu keuntungan jangka pendek saja. Mereka untung, tapi industri mati,” tegasnya.
Purbaya menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap kekhawatiran para pelaku usaha kecil. Oleh karena itu, penertiban akan dibarengi dengan langkah-langkah mitigasi, termasuk mengganti produk impor bekas dengan produk dalam negeri yang mampu menyerap pasar dan tetap memberi peluang bagi UMKM.
Selain pakaian bekas, kebijakan ini juga mencakup penertiban produk impor ilegal lain seperti baja dan sepatu yang dinilai berpotensi menggerus daya saing nasional.
“Kalau kita buka semua untuk barang-barang produksi asing yang ilegal, ya pasar kita dikuasai asing,” ungkapnya.
Langkah pemerintah ini didukung oleh regulasi yang sudah ada, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Pemerintah juga berencana memperkuat ketentuan tersebut dengan menambah sanksi denda bagi importir yang melanggar, agar negara tidak lagi menanggung biaya pemusnahan barang.
Menurut Purbaya, protes dari sebagian pihak adalah hal yang wajar dalam proses penataan ekonomi. Namun, pemerintah akan tetap konsisten menjalankan kebijakan ini sebagai langkah fundamental memperkuat basis industri domestik.
“Kalau tekstil kita mau hidup, kita harus membangun basis domestik yang kuat. Kalau sudah kuat, baru kita bisa menyerang ke luar negeri,” ujarnya.
Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap industri tekstil nasional dapat kembali bergairah, membuka lapangan kerja baru, serta menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih sehat dan berdaya saing di tengah tekanan global. (*/IN)


