Inspirasinusantara.id – Puber kedua bukan sekadar istilah lucu untuk gejolak cinta di usia matang. Di balik senyum dan perhatian baru yang menggairahkan, tersembunyi potensi luka yang menghancurkan kepercayaan dan meretakkan pernikahan.
Istilah “puber kedua” kerap terdengar menggelitik, bahkan romantis. Namun di balik kesan manis itu, tersimpan kisah kelam yang kerap menghancurkan fondasi keluarga.
Fenomena ini merujuk pada pria atau wanita dewasa biasanya berusia 35 hingga 50 tahun yang tiba-tiba kembali merasakan getaran cinta seperti masa remaja. Sayangnya, kisah cinta versi “puber kedua” ini lebih sering berujung pahit.
Bukan karena perasaan cinta itu salah, tetapi karena cara cinta itu dijalani kerap menyakiti pasangan dan anak-anak yang telah menjadi bagian dari kehidupan selama bertahun-tahun.
Krisis Identitas yang Mengundang Masalah Baru
Pakar psikologi menyebut bahwa puber kedua kerap dipicu oleh rasa kehilangan jati diri, kejenuhan dalam hubungan, dan kebutuhan emosional yang tak terpenuhi di rumah. Banyak individu merasa tidak lagi menarik, tidak dihargai, bahkan seperti “menghilang” dari kehidupan pasangan dan anak-anaknya.
Di tengah kerapuhan itu, hadir sosok baru rekan kerja, teman lama, atau bahkan orang asing yang datang membawa perhatian, pujian, dan kehangatan. Dari sinilah api romansa kembali menyala.
Namun bedanya, kini api itu membakar kepercayaan dan keharmonisan keluarga.
“Gejolak ini awalnya terasa menyenangkan, tapi cepat berubah menjadi racun yang memecah rumah tangga,” kata seorang terapis di Makassar.
Baca juga : Gen X: Si Terlupakan yang Diam-Diam Paling Tertekan
Anak dan Pasangan Jadi Korban
Banyak kasus puber kedua berujung pada perselingkuhan yang menghancurkan bukan hanya hubungan suami-istri, tetapi juga stabilitas emosional anak-anak. Anak-anak menjadi korban diam yang merasa kehilangan rasa aman.
Lebih tragis, mereka sering menyalahkan diri sendiri atas keretakan keluarga. Sementara itu, pasangan yang dikhianati kerap ditinggalkan tanpa penjelasan yang jelas.
Alasan seperti “bosan” atau “tidak dihargai” menjadi dalih yang digunakan, alih-alih komunikasi yang jujur dan solusi dewasa.
“Cinta tidak bisa dijadikan pembenaran untuk menyakiti. Menyalahkan situasi untuk membenarkan pengkhianatan adalah tindakan yang sangat egois,” tambah terapis tersebut.
Baca juga : AI Bisa Meramal Selingkuh? Wanita Ini Ceraikan Suami
Langkah Menghadapi Puber Kedua dengan Dewasa
Berikut tiga langkah penting bagi siapa pun yang merasa berada dalam fase puber kedua:
1. Kenali Kondisi Diri
Akui bahwa kamu sedang berada dalam masa rapuh. Mengakui butuh pertolongan adalah awal dari kedewasaan, bukan kelemahan.
2. Jujur pada Perasaan
Apakah ini cinta sejati atau sekadar euforia sesaat? Jangan buat keputusan besar di tengah perasaan yang belum stabil.
3. Cari Dukungan Profesional
Terapi individu atau konseling pernikahan dapat membuka ruang untuk bicara dan menyelesaikan masalah secara sehat sebelum terlambat.
Puber kedua memang bisa datang tanpa diundang, tapi bagaimana kita menyikapinya menentukan masa depan keluarga. Cinta seharusnya membangun, bukan menghancurkan. (*/IN)