IN, MAKASSAR – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) 2023 mengalami perlambatan. Nilainya berkurang 0,27 persen dari 6,77 persen (yoy) dari 2022 menjadi 6,54 persen (yoy) di 2023.
Menurut Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi, Aman Santosa perlambatan DPK dipengaruhi oleh pertumbuhan DPK yang tinggi pada masa pandemi yang disebabkan terbatasnya konsumsi masyarakat (misalnya berkurangnya belanja untuk kebutuhan sandang, transportasi, dan wisata), tingginya surplus di beberapa perusahaan korporasi (high base effect DPK tahun 2022).
“Bukan cuma itu, meningkatnya konsumsi masyarakat seiring dengan penyesuaian status pandemi menjadi endemi, peralihan arus dana non-residen ke luar seiring tingginya suku bunga global, serta dampak dari instrumen alternatif penempatan dana selain DPK yang semakin atraktif,” jelasnya melalui siaran pers yang dikirim Senin (01/01/2023).
OJK: IMF Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi Global Kian Melambat di 2024
Selain itu, perlambatan DPK dan Kredit juga disebabkan adanya aksi sebagian korporasi yang melakukan self financing dengan menggunakan surplus cashflow di perbankan untuk membiayai kebutuhan belanja operasional. Hal tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan Kredit Modal Kerja (KMK) dibanding tahun lalu.
“Dalam situasi demikian, kondisi likuiditas bank umum juga masih cukup memadai sebagaimana tecermin dari rasio AL/NCD dan AL/DPK masing-masing sebesar 115,37 persen dan 25,83 persen, masih jauh di atas threshold. Tingkat permodalan juga cukup solid dengan CAR sebesar 27,33 persen yang utamanya ditopang perbaikan tingkat rentabilitas (ROA) yang antara lain karena membaiknya tingkat efisiensi perbankan,” jelasnya.
OJK Telah Blokir 4.000 Rekening Judi Online Selama 3 Bulan Terakhir
Risiko kredit juga terpantau membaik dengan rasio NPL gross dan NPL net yang menurun dan relatif stabil masing-masing menjadi 2,43 persen dan 0,77 persen.
Sejalan dengan kinerja bank umum, kinerja BPR dan BPRS juga cukup baik dengan kredit/pembiayaan dan DPK masih tumbuh tinggi meski melambat dibandingkan tahun sebelumnya, khususnya pada BPRS. Rasio permodalan juga cukup kuat dengan CAR BPR dan BPRS masing-masing sebesar 30,94 persen dan 28,12 persen.
Ke depan, tetap perlu diperhatikan risiko perbankan utamanya risiko pasar dan dampaknya pada risiko likuiditas, serta potensi peningkatan risiko kredit seiring peningkatan biaya dana yang dapat berdampak pada penurunan daya beli nasabah.
Untuk itu perbankan didorong untuk meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage CKPN secara memadai, serta secara rutin melakukan stress test untuk mengukur kemampuan permodalannya dalam menyerap potensi risiko khususnya terkait penurunan kualitas kredit restrukturisasi.