IN, MAKASSAR – Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 menghadirkan penulis dan aktivis queer dalam diskusi bertema “Artistry and Authenticity: Shaping Literary Landscapes“ di Museum I Lagaligo, Kamis (23/05/2024).
Queer adalah istilah yang digunakan secara luas untuk merujuk pada spektrum identitas gender dan orientasi seksual di luar norma-norma heteroseksual.
Penggunaan queer menekankan keragaman, inklusivitas, dan perlawanan terhadap norma-norma yang membatasi identitas gender dan seksual.
Para penulis queer itu yakni Abi Ardianda dan Virginia Helzainka. Serta arsiparis dari Queer Indonesia Archive (QIA), Ais. Mereka membahas seputar kemajuan sastra dalam keberagaman gender.
Diskusi ini dipandu oleh Gladhys Elliona, seorang penulis, peneliti, dan penerjemah bahasa Portugis.
Gladhys memantik bahwa penulis queer menambah khazanah keberagaman karya sastra di Indonesia. Mereka menguatkan suara terpinggirkan ataupun yang dianggap menentang norma-norma mapan di Masyarakat.
“Mereka senang tiasa bergelut dengan pilihan apik berbahasa untuk mengekspos diri secara jujur dalam mengungkapkan pemikiran, keyakinan, dan bahkan identitas mereka,” katanya.
BACA JUGA: MIWF 2024 Hadirkan 100 Lebih Pembicara
Dia mengatakan proses kekaryaan sastra yang dipilih menguatkan keaslian dibalik pertanyaan dan kritik diri dalam menghadapi kekuatan heteronormatif dan wacana sastra dominan.
“Ini adalah cara bersuara secara merdeka,” ucap Gladhys Abi Ardianda menjelaskan, terkadang karya-karya mereka dipandang sebelah mata. Terkadang, banyak penerbit yang kurang ramah terhadap isu queer.
Olehnya itu, Abi Ardianda dalam buku pertamanya “Kelab dalam Swalayan” tidak begitu banyak menyelipkan topik queer.
Meski demikian, penulis queer sudah malang melintang bahkan tersorot dunia, salah satunya ialah Norman Erikson Pasaribu yang tulisannya di-review oleh The New York Times, media kenamaan di Amerika Serikat.
“Jadi saya melihat ada peluang kita (queer) untuk bisa berkarier di masa depan,” kata Abi.
“Dan menurutku teman-teman yang mau menulis tentang isu queer alangkah bijaknya kita riset dulu dengan melibatkan teman-teman queer,” sambung Abi.
Pendalaman riset inilah yang membuat Abi lebih matang dan berani mengangkat isu queerness dalam buku teranyarnya yakni Laila Tak Pulang. Buku ini mengisahkan tentang bagaimana penerimaan diri individu queer.
Menurutnya, selain topik penerimaan diri. Topik-topik ihwal represi, coming out dan coming in dari individu queer menarik diulas menjadi karya sastra.
“Bagi teman-teman queer yang ingin menulis. Pastikan teman-teman mengumpulkan keberanian dan memiliki sumber daya yang solid,” imbuh Abi.
Sumber daya itu di antaranya ruang-ruang aman untuk membantu mengatasi respons pasca penerbitan. “Karena, kita tidak bisa tau reaksi atau respons seperti apa yang kita dapatkan ketika tulisan kita diterbitkan,” ujar Abi.
“Terkadang respons orang memengaruhi ke kondisi mental. Kalau kita tidak punya sumber daya yang solid, kita bisa goyah itu akan dan bahaya juga bagi penulis. Tetapi sebaliknya kalau kita punya dukungan yang baik, resources yang solid itu bisa membantu kita sebagai penulis,” tambahnya.
Abi berpesan, jangan berhenti menulis. “Bagi saya menulis seperti terapi. Saya merasa lebih bahagia setelah menulis,” tuturnya. (*/IN)