INSPIRASI NUSANTARA–Setiap tahun, puluhan laporan kekerasan seksual di Sulawesi Selatan hanya menjadi puncak gunung es. Apa yang membuat korban memilih bungkam, sementara pelaku terus merasa aman?
Kasus kekerasan seksual di Sulawesi Selatan menjadi sorotan tajam dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini. Meski daerah ini dikenal dengan budaya luhur yang menjunjung tinggi nilai kehormatan, realitas menunjukkan fenomena kekerasan seksual masih marak terjadi.
Tidak hanya di ruang publik, kekerasan seksual juga menyasar lingkungan perguruan tinggi. Kasus dugaan kekerasan seksual di Sulawesi selatan adalah satu dari sekian banyak kasus serupa di perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan, trennya menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Dilansir dari BBC, Menurut Komnas Perempuan, tren kenaikan ini disebabkan semakin banyak korban yang melaporkan kekerasan seksual yang dialami. Pada saat bersamaan, semakin banyak pula perguruan tinggi yang membentuk Satgas PPKS.
Untuk memahami akar masalahnya, perlu menelaah bagaimana budaya setempat, baik secara langsung maupun tidak langsung, memengaruhi pola perilaku masyarakat.
1. Budaya Patriarki dan Posisi Gender
Sulawesi Selatan memiliki budaya patriarki yang sangat kental, terutama dalam masyarakat Bugis-Makassar. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pemimpin utama dalam keluarga dan masyarakat. Di sisi lain, perempuan sering kali dianggap berada di posisi subordinat, dengan tanggung jawab utama pada urusan domestik.
Budaya ini terkadang menciptakan pola pikir yang memandang perempuan sebagai objek yang harus tunduk pada laki-laki. Dalam situasi tertentu, pemahaman ini bisa mendorong pembiaran terhadap tindakan yang merendahkan perempuan, termasuk pelecehan seksual.
2. Nilai Siri’ Na Pacce yang Belum Selaras dengan Realitas
Nilai siri’ na pacce, yang berarti harga diri dan rasa empati, menjadi pedoman moral masyarakat Sulawesi Selatan. Namun, dalam beberapa kasus, konsep ini justru menjadi hambatan. Misalnya, korban pelecehan sering kali enggan melapor karena takut keluarga mereka kehilangan siri’ (harga diri). Tekanan sosial agar keluarga menjaga kehormatan dapat membuat kasus pelecehan seksual disembunyikan, bukan diungkap.
3. Pandangan Tradisional Terhadap Peran Perempuan
Perempuan di Sulawesi Selatan sering kali diidentikkan dengan nilai pappaseng (pesan leluhur), yang mengajarkan kesopanan, kelembutan, dan pengabdian. Meski nilai ini mulia, interpretasi yang keliru bisa membuat perempuan enggan melawan saat menjadi korban pelecehan. Perempuan yang berani bersuara atau melapor kadang dianggap melanggar adat dan tidak menghormati norma sosial.
4. Ruang Publik yang Belum Aman
Pasar, terminal, dan lokasi wisata di Sulawesi Selatan sering kali menjadi tempat pelecehan seksual. Dalam budaya Bugis-Makassar, ruang publik lebih banyak didominasi oleh laki-laki, sementara perempuan sering dianggap tidak seharusnya berada di luar rumah tanpa alasan jelas. Pola pikir ini membuat pelecehan seksual di ruang publik sering kali dianggap sebagai “kesalahan” perempuan karena dianggap tidak menjaga diri.
5. Stigma terhadap Korban
Di beberapa komunitas lokal, korban pelecehan seksual kerap disalahkan dengan alasan tidak mematuhi adat atau nilai kesopanan. Stigma ini memperburuk keadaan, karena korban merasa malu dan takut melapor. Akibatnya, pelaku merasa bebas mengulangi tindakan mereka.
Dengan mengintegrasikan solusi berbasis budaya dan modern, kasus pelecehan seksual di Sulawesi Selatan dapat ditekan. Budaya yang selama ini menjadi kekuatan masyarakat seharusnya tidak menjadi penghalang, melainkan alat untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi semua. (fit/in)