back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
28.2 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Huadi Group Jadi Sorotan Australia, Siap Buka Akses Investasi Dua Arah

BANTAENG, inspirasinusantara.id  Konsul Jenderal Australia di Makassar, Todd Dias, bersama Bupati Bantaeng, M. Fathul Fauzy Nurdin (Uji Nurdin), menyatakan komitmennya untuk mempromosikan PT Huadi...
BerandaEkonomiPPN 12 Persen Hanya untuk Barang Mewah, Pelaku Industri TPT Tetap Waspada

PPN 12 Persen Hanya untuk Barang Mewah, Pelaku Industri TPT Tetap Waspada

INSPIRASI NUSANTARA--Pemerintah pastikan PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah, namun pelaku usaha tekstil tak sepenuhnya tenang. Mereka mengingatkan dampak panjang dari rantai pajak yang membebani konsumen.

Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 terus menjadi sorotan, terutama dari pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Meski pemerintah memastikan kenaikan ini hanya diberlakukan untuk barang mewah, kekhawatiran tetap meluas di kalangan industri dan konsumen.

Direktur Eksekutif Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI), Ardiman Pribadi, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak efek berantai kenaikan PPN. Menurutnya, meskipun tarif PPN saat ini 11%, konsumen sebenarnya menanggung beban yang lebih besar, yakni hingga 19,8%. Jika tarif PPN dinaikkan menjadi 12%, beban tersebut akan meningkat menjadi 21,6%.

“Rantai nilai di industri tekstil itu panjang, sehingga setiap subsektor yang membayar pajak pada akhirnya membebankannya kepada konsumen akhir. Akibatnya, konsumsi masyarakat terhadap produk tekstil akan menurun, yang justru berpotensi menurunkan penjualan dan penerimaan pajak pemerintah,” jelas Ardiman dalam keterangan tertulisnya.

Senada dengan Ardiman, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menilai kenaikan PPN ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Ia menjelaskan bahwa dengan naiknya harga barang akibat peningkatan tarif PPN, daya beli masyarakat akan tertekan, sehingga volume penjualan berpotensi anjlok.

“Target pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak akan tercapai. Sebagai contoh, jika sebelumnya industri mampu menjual 1 juta unit barang, kenaikan PPN dapat memangkas penjualan hingga separuhnya, menjadi hanya 500 ribu unit,” kata Redma.

Kedua tokoh ini menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada pemberantasan impor ilegal yang membanjiri pasar domestik. Menurut data yang diungkapkan Ardiman, potensi penerimaan negara dari perdagangan tekstil yang hilang mencapai Rp46 triliun dalam lima tahun terakhir. Dengan memberantas impor ilegal, negara bisa meraup tambahan penerimaan sebesar Rp9 triliun per tahun tanpa perlu menaikkan tarif PPN.

“Pemberantasan impor ilegal juga akan menghidupkan kembali industri tekstil lokal. Pabrik-pabrik dapat meningkatkan produksi, membuka lapangan kerja, dan mendorong daya beli masyarakat. Pada akhirnya, pemerintah juga akan diuntungkan melalui peningkatan konsumsi dan penerimaan pajak yang lebih sehat,” pungkas Ardiman.

Pelaku industri berharap pemerintah mempertimbangkan dampak kenaikan PPN ini secara menyeluruh, agar kebijakan yang diambil tidak justru menekan sektor usaha dan masyarakat. (fit/in)