MENYULAM ingatan dengan mengenang kembali aroma kopi pagi dan kertas koran, serta ruang redaksi dan meja bundar sebagai tempat berita didiskusikan dan direncanakan. Di ruang itulah saya tumbuh. Di antara deadline yang menyesakkan dan napas-napas berita yang harus saya tulis sebelum fajar menyingsing. Hampir satu dekade saya menambatkan hidup saya sebagai jurnalis di sebuah media harian di Kota Makassar, kota yang ramai, panas, dan penuh cerita.
Saya bukan siapa-siapa. Hanya seorang pengabdi kata yang menyisir waktu, berharap setiap berita yang saya tulis bisa sedikit menggoyangkan kekuasaan, atau setidaknya, menyentuh batin pembaca. Tapi saya tahu, jauh di dasar realitas, menjadi jurnalis bukan hanya tentang idealisme. Ia adalah pekerjaan. Dan pekerjaan di negeri ini terlalu sering menjadi ladang pengorbanan bagi para pemimpi.
Hari Buruh, 1 Mei 2025. Saya memilih menulis ini bukan untuk merayakan, tetapi untuk merawat ingatan. Ingatan tentang bagaimana kami, para jurnalis, terlalu sering disamakan dengan pena tanpa tangan, suara tanpa tubuh, pikiran tanpa perut.
Saya pernah mencintai profesi ini sepenuhnya. Masih mencintainya, sebenarnya. Tapi ada masa di mana saya duduk memandangi slip gaji dan memikirkan: apakah pengabdian saya cukup untuk membayar biaya hidup? Pernah saya lembur seminggu penuh, meliput bencana, ketidakadilan, dan konflik tanah, tapi yang saya terima hanyalah ucapan terima kasih dan honor setipis amplop surat lamaran. Rekan saya yang lain, lebih malang. Ia harus rela tanpa pesangon.
Aliansi Jurnalis Independen mencatat pada 2024, hanya segelintir jurnalis yang menerima upah layak. Bahkan, lebih dari 30 persen berada di bawah garis UMP. Jurnalis bekerja dengan jam tak kenal waktu, kadang tanpa kontrak, sering tanpa asuransi. Dan ironisnya, jurnalis tetap menulis tentang keadilan, kesejahteraan, dan demokrasi, tiga kata yang makin terasa asing di kehidupan kami sendiri.
Apakah jurnalis bukan buruh?
Mengupayakan Ruang
Lalu saya membaca Lefebvre. Tentang ruang. Tentang bagaimana ruang bukan sekadar geometri, bukan sekadar bangunan, melainkan wujud relasi sosial yang diciptakan dan dihidupi. Maka saya berpikir, jika ruang bagi jurnalis yang adil dan sejahtera tak ada, maka ia harus diupayakan. Tidak diimpikan, tapi dihidupi, dengan segala peluh dan kesakitannya.
Saya keluar dari media tempat saya mengabdi. Bukan karena menyerah, tapi karena saya ingin memulai dari sesuatu yang lebih jujur. Saya mendirikan perusahaan media kecil. Ruang yang belum sepenuhnya tertata, tapi punya niat untuk menjadi rumah. Bagi saya, dan bagi siapa pun yang ingin menulis berita tanpa harus menggadaikan hidupnya.
Dua tahun berjalan, kami masih bertatih. Tapi kami belajar mencipta ekosistem yang berbeda. Jurnalis kami digaji layak, dilindungi, dan dihargai sebagai manusia. Kami menyusun pelatihan, membuka ruang diskusi, dan tak lupa menyediakan waktu istirahat. Kami tak memaksa siapa pun menjadi pahlawan. Tapi kami mendorong semua orang menjadi sehat: secara fisik, mental, dan sosial.
Kami ingin membuktikan bahwa idealisme tak harus mati di bawah beban ekonomi. Bahwa jurnalistik yang independen bisa hidup berdampingan dengan kesejahteraan. Bahwa ruang yang baik akan melahirkan habitus yang baik pula, seperti yang pernah Bourdieu bayangkan: saat struktur dan agensi menyatu dalam praksis yang sehat.
Ruang Inspirasi
Saya menulis ini di dalam kantor mini yang kami beri nama Ruang Inspirasi, dikelilingi beberapa buku yang diantaranya ditulis seorang jurnalis panutan di Sulsel. Setiap hari, saya bekerja dengan beberapa rekan yang masih muda, penuh semangat, dan ingin menjadikan media kami lebih dari sekadar tempat kerja. Mereka ingin rumah. Tempat untuk tumbuh dan berjuang.
Hari Buruh bukan sekadar peringatan bagi pekerja pabrik atau pegawai tambang. Hari ini adalah milik kami juga para jurnalis yang selama ini nyaris tak disebut sebagai buruh. Kami tidak mencangkul sawah, tidak mengelas baja, tapi kami menggali kebenaran. Kami tidak mengangkut batubara, tapi kami mengangkat suara-suara yang tenggelam. Dan setiap berita yang kami tulis adalah hasil dari kerja—kerja keras yang tak selalu dihargai.
Maka tulisan ini adalah ajakan. Bagi siapa pun yang membaca: jika kau menikmati berita setiap hari, renungkanlah siapa yang menulisnya. Jika kau percaya pada demokrasi, jagalah para jurnalis. Jika kau adalah pemilik media, perlakukan mereka sebagai manusia. Bukan alat produksi. Bukan robot kata.
Dan jika kau seorang jurnalis yang letih, mari rehat sejenak. Tapi jangan padam. Karena kita masih dibutuhkan. Dunia sedang bising, penuh manipulasi, penuh kabar palsu. Kita mungkin tak bisa menghentikan semuanya, tapi kita bisa tetap menyalakan satu cahaya.
Satu ruang kecil. Satu suara jernih. Satu perjuangan sunyi. Yang pelan-pelan bisa menyelamatkan dunia. (*)