back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30.9 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Makassar Makin Padat: Hutan Kota yang Hilang

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Siang itu, Maulana Ishak menatap matahari dari balik jendela rumahnya di Mariso. Udara terasa tajam, menampar kulit tanpa ampun. Sinar mentari...
BerandaEksklusifPers Hanya Didengar Ketika Berkerumun

Pers Hanya Didengar Ketika Berkerumun

TAJUK

Di tengah semangat keterbukaan informasi dan transparansi publik, sebuah fenomena yang seolah sepele namun sarat makna budaya terjadi di Kota Makassar: seorang kepala daerah menolak diwawancarai oleh seorang wartawan hanya karena ia datang sendiri, tanpa kehadiran wartawan lain. Fenomena ini bukan sekadar ekspresi personal seorang pejabat, tetapi mencerminkan relasi kuasa yang masih mendominasi ruang komunikasi antara pemerintah dan pers, yang seharusnya setara dan saling menguatkan dalam demokrasi.

Peristiwa semacam ini perlu dilihat tidak semata-mata sebagai insiden teknis, melainkan sebagai representasi dari struktur kekuasaan yang bekerja di balik praktik sehari-hari. Teori Michel Foucault memberi kita lensa untuk melihat bagaimana kekuasaan tidak hanya diwujudkan dalam bentuk paksaan, tetapi juga melalui kontrol atas diskursus, termasuk siapa yang boleh bicara, siapa yang boleh didengar, dan dalam kondisi seperti apa percakapan bisa dianggap “sah”.

Ketika seorang pejabat publik menolak diwawancarai karena wartawan “hanya satu orang”, ada konstruksi makna yang dipertahankan: bahwa wartawan hanya dianggap layak didengarkan ketika mereka datang dalam kerumunan, mewakili tekanan kolektif, bukan sebagai individu yang menjalankan tugas jurnalistiknya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan simbolik pejabat masih merasa perlu “lawan yang sepadan” agar merasa layak memberikan keterangan. Wartawan, dalam posisi ini, tidak dilihat sebagai representasi publik, tetapi sebagai representasi dari “kerumunan”, dari legitimasi jumlah.

Padahal, secara etis dan hukum, satu wartawan pun mewakili lembaga pers yang diakui. Ia membawa mandat publik untuk memperoleh informasi yang semestinya terbuka bagi siapa pun. Menolak wawancara hanya karena kuantitas wartawan yang hadir adalah bentuk delegitimasi simbolik terhadap kerja jurnalistik, dan dalam jangka panjang bisa melemahkan semangat jurnalisme investigatif yang sering kali memang dijalankan secara individual.

Foucault dalam teorinya menekankan bahwa kekuasaan bekerja secara halus melalui norma dan praktik sosial yang dianggap wajar. Dalam konteks ini, norma bahwa wartawan harus “ramai-ramai” untuk dianggap sah melakukan wawancara menjadi bagian dari mekanisme kekuasaan itu sendiri. Wartawan sebagai subjek pengetahuan yang menggali informasi, memproduksi makna, dan menyebarkannya ke publik dikondisikan untuk tunduk pada aturan tidak tertulis dari para pemegang otoritas. Mereka dituntut mengikuti logika kuasa, bukan logika profesionalisme.

Jika praktik ini dibiarkan, maka ruang publik kita akan mengalami pembusukan makna: pejabat publik hanya mau bicara dalam panggung yang dikontrol, bukan dalam ruang yang membuka diskusi kritis. Media pun akhirnya terjebak dalam rutinitas “liputan ramai” yang bisa diarahkan dan dikontrol, alih-alih menjalankan perannya sebagai pengawas kekuasaan.

Dampaknya Terhadap Citra Kepala Daerah

Lebih jauh, pola komunikasi yang menyepelekan pers secara simbolik ini bukan tanpa risiko. Sejarah komunikasi politik di berbagai daerah menunjukkan bahwa gaya arogan dan eksklusif seperti ini justru memperburuk citra pemimpin, terutama di era digital yang penuh sorotan.

Sebut saja kasus mantan Bupati di salah satu daerah di Kalimantan yang menjadi viral karena hanya bersedia diwawancarai oleh media tertentu saja, sementara menolak media lokal. Sikap pilih kasih ini menimbulkan gelombang protes dari masyarakat pers dan akhirnya menciptakan persepsi publik bahwa sang kepala daerah hanya ingin tampil baik di media yang bisa dikendalikan narasinya. Akibatnya, kritik publik tumbuh liar di media sosial, dan elektabilitasnya pun anjlok di periode berikutnya.

Di daerah lain, ada pula kasus seorang walikota yang merendahkan seorang jurnalis dengan menyebutnya “tidak penting” karena datang sendiri, tidak membawa kamera, dan bukan dari media nasional. Video pendek dari insiden itu beredar luas dan menjadi bahan kecaman masyarakat, yang menilai sikap tersebut sebagai bentuk kesombongan kekuasaan dan ketidakpahaman terhadap peran pers lokal. Walikota tersebut akhirnya harus menggelar permintaan maaf terbuka setelah tekanan publik meningkat.

Pelajaran dari kasus-kasus ini adalah bahwa gaya komunikasi pejabat publik di era keterbukaan digital tidak bisa lagi bergantung pada simbol-simbol kuasa klasik. Masyarakat hari ini menilai pejabat tidak hanya dari program kerja, tetapi juga dari bagaimana mereka memperlakukan suara kritis, termasuk suara dari satu orang wartawan yang datang sendirian.

Budaya Ketakutan Terhadap Pers Kritis

Fenomena “tidak mau diwawancarai jika hanya satu wartawan” juga bisa dibaca sebagai bentuk ketakutan terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis yang lebih mendalam. Pejabat merasa lebih aman dalam situasi konferensi pers atau keramaian wartawan karena pertanyaan dapat “dilarikan” atau dialihkan. Sementara dalam situasi wawancara personal—meski tetap profesional—lebih besar kemungkinan terjadi konfirmasi ulang, pertanyaan lanjutan, bahkan klarifikasi yang menyulitkan.

Dalam konteks budaya kita yang masih cenderung patronistik, pejabat kerap menempatkan diri sebagai “tokoh yang tak boleh ditanya sembarangan”. Di sinilah media justru harus hadir sebagai kekuatan penyeimbang. Seorang wartawan, walau sendiri, tetap menjalankan mandat untuk membongkar kebenaran, bukan menyebar pujian.

Makassar dan Tantangan Jurnalisme Lokal

Kota Makassar sebagai salah satu kota metropolitan di Kawasan Timur Indonesia memiliki dinamika pers yang cukup kuat. Namun tantangan jurnalisme lokal tetap besar: keterbatasan sumber daya, tekanan iklan, hingga sikap pejabat yang belum sepenuhnya demokratis dalam melayani wawancara. Ketika seorang kepala daerah menunjukkan ketidaksediaannya diliput oleh satu wartawan, ia sebenarnya sedang menampilkan wajah kekuasaan yang tidak akrab dengan nilai-nilai jurnalisme modern: terbuka, komunikatif, dan siap diuji.

Sikap ini bisa berbalik menjadi bumerang. Masyarakat kini cerdas membaca gestur kuasa. Ketika pejabat bersikap angkuh kepada jurnalis, publik akan bertanya-tanya: apa yang sedang ditutupi? Kenapa enggan diwawancarai?

Tulisan ini mengajak semua pihak, terutama para pemangku kekuasaan di Kota Makassar, untuk merefleksikan kembali relasi kuasa yang terbangun dalam komunikasi publik. Media bukan sekadar saluran promosi kebijakan, tetapi mitra kritis dalam membentuk masyarakat yang sadar, kritis, dan partisipatif. Janganlah membiarkan kuasa simbolik mengalahkan akal sehat dan prinsip-prinsip dasar demokrasi.

Sudah saatnya menyadari bahwa wartawan bukan dinilai dari jumlahnya saat meliput, tetapi dari integritas dan tanggung jawabnya menyampaikan informasi untuk kepentingan publik. Dan dalam demokrasi yang sehat, tidak ada alasan untuk takut pada satu suara yang jujur. (*)