back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
28.6 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Seni Melawan Krisis Iklim di Makassar

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Di sebuah dinding papan tripleks di Gedung PKM UIN Alauddin Makassar, cat warna-warni mengalir dari kuas tangan-tangan muda. Lukisan itu menampilkan...
BerandaBudayaOpiniRefleksi Kebebasan Pers: Teror Kepala Babi, Hantu PHK dan Bayang-bayang AI

Refleksi Kebebasan Pers: Teror Kepala Babi, Hantu PHK dan Bayang-bayang AI

Penulis: Taufik Hasyim

Sore 19 Maret 2025, seorang kurir ojek daring tiba dengan sebuah paket di depan kantor Tempo yang mulai lengang. Tak ada label pengirim, tak pula tertulis jelas siapa penerimanya. Namun, kurir itu menuliskan nama: Fransisca Christy Rosana. Hanya satu huruf meleset dari ejaan yang benar—nama itu merujuk pada jurnalis investigasi Tempo, Cica, sapaan akrabnya. Cica juga menjadi host podcast Bocor Alus Politik.

Sebelum menyerahkan paket ke satpam, si kurir sempat membuka helm dan menelpon dua kali. Tak jelas siapa yang dihubungi. Setelah 10 menit di pos jaga, paket yang dililit solatif cokelat itu kemudian diserahkan ke satpam. Kurir pamit dengan santai.

Sore esok harinya, Cica baru tiba di kantor. Ia baru saja kembali dari peliputan panjang soal revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia. Paket itu masih ada. Seorang koleganya, penasaran, membuka bungkusan misterius itu di ruang redaksi. Begitu segel sobek dan plastiknya terbuka, bau tajam langsung menyeruak. Semacam bau busuk yang menusuk hidung, memaksa beberapa orang mundur spontan.

Petugas kebersihan buru-buru membawa paket itu keluar gedung. Di halaman belakang, bungkusan dibuka lebih lebar. Tidak ada pesan. Di dalamnya, hanya ada potongan daging hewan, kepala babi yang sudah mulai membusuk, warnanya gelap, anyirnya menyengat.

***

Setiap 3 Mei, World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia digaungkan. Tidak ada perayaan, tantangan yang semakin berat menghimpit dunia jurnalistik justru seperti ironi. Kasus teror atau ancaman terhadap kebebasan pers seperti yang dialami para awak majalah Tempo jadi salah satu bukti.

Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan bahwa sepanjang 2024, terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Bentuknya mulai dari kekerasan fisik, intimidasi, doxing dan kriminalisasi lewat UU ITE.

Selain dari eksternal, tekanan juga datang dari dalam internal industri media. Banyak jurnalis di daerah, bahkan di kota besar, masih bekerja dengan upah di bawah UMP. Banyak yang tidak punya kontrak tetap, tanpa BPJS, dan tidak mendapatkan pelatihan jurnalistik yang layak. Bahkan sering kali, mereka menulis berita tentang para pejabat yang mendapatkan kenaikan gaji atau mengulas meriahnya peresmian proyek infrastruktur bernilai miliaran, sementara mereka harus merogoh kocek sendiri untuk ongkos liputan. Tak ada lagi jaminan ada biaya pengganti dari perusahaan.

Disrupsi digital membuat bisnis media makin keropos. Ceruk pendapatan terganggu. Pengiklan tak lagi loyal pada media massa. Mereka lebih tertarik membayar influencer yang viral di TikTok, atau membeli slot iklan di YouTube. Perusahaan media hanya mendapat remah-remahan.

Perubahan lanskap bisnis yang begitu cepat memang membuat perusahaan media harus lebih banyak berinovasi mengembangkan strategi bisnis yang baru. Tak ada lagi model bisnis konvensional, perusahaan media yang mengontrol penuh dari hulu ke hilir. Dari pra produksi hingga produk jurnalistik tiba di tangan pembaca, telinga pendengar atau jadi tayangan berita di ruang keluarga. Kini semuanya dipengaruhi algoritma yang tidak dikontrol oleh perusahaan media tetapi oleh perusahaan platform digital.

Kehadiran Artificial Inteligence (AI) juga menjadi tantangan baru jurnalisme. Beberapa media online mulai memanfaatkan AI untuk meningkatkan efisiensi tanpa menggantikan peran jurnalis. Namun, penggunaan AI juga menimbulkan pertanyaan etis. Apakah AI dapat memahami konteks sosial dan budaya seperti halnya manusia? Apakah AI justru akan memperkuat bias yang ada dalam data? Dan siapa yang bertanggung jawab jika AI menghasilkan informasi yang keliru?

Ya, saat ini bisnis media memang sedang tidak baik-baik saja. Kompas TV, CNN Indonesia, dan media besar lainnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Termasuk iNews yang memutuskan menutup permanen kantor bironya di daerah. Ratusan jurnalis kehilangan pekerjaan. Yang bertahan pun harus rela digaji dengan upah rendah, bahkan di bawah UMP. Banyak yang bekerja dengan status kontrak tanpa kepastian, atau sebagai kontributor tanpa jaminan sosial. dan mesti harap-harap cemas dengan masa depan karena dihantui ancaman PHK.

Kebijakan efisiensi yang digaungkan Presiden Prabowo juga sedikit banyaknya memicu badai yang menghantam media. Anggaran-anggaran media di berbagai instansi dari pusat hingga daerah dipangkas. Pos anggaran untuk media tidak lagi prioritas.

Tengok saja, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang bangga disebut sebagai gubernur konten di ruang sidang DPR RI. KDM sapaannya, mengaku biaya iklan Pemprov Jawa Barat di media massa biasanya mencapai Rp 50 miliar namun kini hanya Rp 3 miliar berkat konten di kanal pribadinya yang bisa viral terus.

Mungkin pernyataan ini dilontarkan KDM tanpa tendensi tertentu namun ini tentu mengkhawatirkan. Gaya komunikasi populis nan artifisial ini akan mendeligitimasi peran media massa. Media massa idealnya menjalankan fungsi watchdog terhadap kekuasaan. Ketika seorang pejabat merasa bisa mengandalkan viralitas untuk berkomunikasi langsung, maka fungsi kontrol publik melemah. Padahal media massa adalah penjaga integritas ruang publik.

Dalam komunikasi artifisial, tidak ada lawan bicara. Semua pesan dikontrol, disunting, dan disampaikan untuk membentuk persepsi. Meskipun apa yang disampaikan dalam komunikasi artifisial bukan selalu kebohongan, akan tetapi yang ditonjolkan adalah ‘kebenaran’ versi satu pihak. Ia mengabaikan konteks luas dan cenderung memainkan emosi, bukan logika atau data.

Kembali ke laptop, peringatan World Press Freedom Day ini seharusnya jadi momen refleksi untuk semua pihak. Pemerintah atau negara perlu hadir tetapi bukan untuk mengusik kebebasan pers namun menjamin perlindungan hukum bagi jurnalis, mendorong ekosistem ekonomi media yang adil, dan yang terpenting, menghargai fungsi pers dalam sistem demokrasi.

Karena jurnalis bukan sekadar sebuah profesi. Ia adalah pilar demokrasi. Dan tanpa pilar itu, bangunan gedung demokrasi akan runtuh—diam-diam, perlahan, tapi pasti. (*)