back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Empat Hari Tanpa Air, Warga Ranggoon Permai Keluhkan Layanan PDAM

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Warga kompleks perumahan Ranggoon Permai, Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, mengeluhkan tidak mengalirnya air PDAM sejak empat hari terakhir. Kondisi ini...
BerandaPerempuanOpiniRuang Ketiga dan Tubuh yang Selalu Salah Tempat

Ruang Ketiga dan Tubuh yang Selalu Salah Tempat

Inspirasinusantara.id — Kadang, kita butuh jeda. Bukan dari rutinitas rumah atau hiruk pikuk pekerjaan. Melainkan, jeda dari identitas diri yang kita kenakan setiap hari. Jeda dan mencari ruang. Tempat di mana kita merasa sedikit lebih bebas dari nilainya.

Kita sering mendatanginya, jika tidak hanya melihatnya di mana-mana. Warkop di pinggir jalan, taman kota saat senja, kafe kecil di sudut lorong, atau bahkan trotoar yang lengang untuk duduk diam sambil menyaksikan lalu-lalang kota.

Ruang ini disebut sebagai ruang ketiga – berbeda dari rumah (ruang pertama) dan kantor atau sekolah (ruang kedua). Istilah ini diperkenalkan Ray Oldenburg, sosiolog asal Amerika, yang melihat ruang ketiga sebagai tempat bersua tanpa beban, di mana obrolan dan kesendirian bisa hadir berdampingan. Tapi pertanyaan besarnya, siapa yang benar-benar bebas di ruang itu?

Baca juga: Kesehatan Warga Tergerus Krisis Iklim Makassar

Apakah semua orang bisa duduk sendiri di warkop dan tak dipandang aneh? Apakah perempuan bisa berjalan-jalan di taman kota tanpa harus merasa waspada? Doreen Massey mengatakan bahwa ruang tidak pernah netral.

Ruang bukanlah wadah pasif, tapi perkelindangan relasi sosial yang saling berjejak secara historis sekaligus penuh ketimpangan. Ruang tak hanya sebuah  tempat, tetapi juga memastikan siapa yang bisa hadir, siapa yang absen.

Baca juga: Gaya Hidup Rendah Karbon Tumbuh Perlahan di Makassar

Henri Lefebvre, dalam The Production of Space, menyebut ruang sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial. Akumulasi dari pertarungan ideologi, ekonomi, dan narasi yang saling tumpang tindih.

Ruang merupakan produk sosial dan sifatnya politis. Jika berbicara tentang ruang, maka kita juga perlu melihat relasi kuasa. Baik kuasa yang membentuk fisiknya, maupun kuasa yang mengatur perilaku di dalamnya.

Misalnya, warkop yang berada di Makassar. Ruang ini tampak egaliter bahkan dianggap simbol kebebasan berbicara. Tapi siapa yang dominan di sana? Siapa yang suaranya paling lantang? Dan siapa yang hadir dengan tubuh waspada? Realitanya, perempuan yang duduk sendirian di ruang seperti itu akan cepat menjadi pusat perhatian.

Kadangkala keberadannya dianggap janggal. Dipertanyakan, “siapa ki tunggu?” atau “sama siapa ki?” terutama jika ia sendirian dan di waktu tertentu. Seolah kebebasan di ruang ketiga punya jenis kelamin tertentu—dan bukan milik semua orang.

Namun ruang, seperti yang diyakini Massey, selalu terbuka, tidak pernah final. Maka selalu ada celah untuk menciptakan alternatif. Kita mampu merancang ruang yang lebih inklusif. Ruang yang tidak hanya tersedia, tetapi juga mengundang kehadiran.

Beberapa kota telah menunjukkan kemungkinan ini. Di Yogyakarta, saya menemukan beberapa komunitas yang menggunakan ruang seperti warung makan kecil dan studio seni sebagai tempat diskusi seputar gender dan seksualitas. Mereka mengubah fungsi ruang biasa menjadi tempat aman untuk berbagi pengalaman, menyusun solidaritas, dan merayakan keberagaman tubuh serta suara.

Menariknya, ruang-ruang ini seringkali tidak megah atau instagrammable. Justru yang membuatnya “alternatif” adalah cara pengelolaan sosialnya. Siapa yang disambut, bagaimana etika hadir diatur, dan apakah seseorang bisa merasa nyaman menjadi dirinya tanpa harus menjelaskan identitasnya.

Kita mesti memikirkan ulang tentang ruang atau public sphere seperti yang dikatakan Habermas. Menciptakan ruang alternatif tidak cukup dengan membangun taman atau co-working space. Ide ruang harus lahir dari kesadaran relasional.

Ruang bukan sekadar bangunan, tapi situasi yang memungkinkan kehadiran tanpa ketakutan. Di kota seperti Makassar, ini bisa berarti memberi ruang bagi komunitas perempuan untuk menyelenggarakan diskusi tanpa interupsi. Juga, membiarkan ruang publik menjadi ruang ekspresi bagi liyan, penyintas atau lainnya tanpa tatapan yang penuh penghakiman.

Pada akhirnya, kebebasan di ruang ketiga bukan ditentukan oleh meja yang tersedia, tapi oleh relasi yang berlangsung di sana. Kini, saat kita memasuki ruang publik, kita perlu mawas dan bertanya dalam diri. Apakah ruang ini membuat semua orang merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri? (*)

Penulis: Khairil Anwar, Pengajar Departemen Sastra Jepang FIB Unhas dan Penggiat Kajian Budaya dan Media.