Penulis: Kamsah Hasan
MAKASSAR, inspirasinusantara.id — Barangkali kota tak pernah sungguh-sungguh dimiliki. Ia bukan rumah yang bisa dikunci. Bukan tanah yang bisa dibatasi pagar. Kota adalah serangkaian kemungkinan—dan pertanyaan.
Tapi kita hidup di zaman yang gemar memberi label kepemilikan. Tanah diberi sertifikat. Jalan diberi nama. Trotoar diberi pagar besi agar “tertib”. Dan kota pun berubah menjadi katalog ruang yang dihitung, dijual, dikontrak.
Lalu kita bertanya: siapa yang punya kota ini?
Mungkin jawabannya ada di meja-meja rapat, di mana garis-garis digambar di atas peta oleh tangan-tangan yang tak kita kenal. Di sana, zona bisa berubah: dari kampung menjadi superblok. Dari tanah kosong menjadi “ruang terbuka hijau” yang tidak boleh diinjak. Dari taman bermain anak-anak menjadi lobi hotel.
Kota, dalam diam, dipindah dari satu tangan ke tangan lain. Ia diserahkan pada siapa yang sanggup membeli, menawar, dan menekan. Dan yang tak sanggup? Mereka dipindah juga—ke pinggir. Ke tempat yang tak disebut dalam brosur.
Baca juga: Nasihat Kepada Orang Miskin dari Orang yang Tak Pernah Lapar
Baca juga: Nafas Ekonomi di Trotoar: Potret Pekerja Jalanan Kota Makassar
Tapi kota bukan hanya peta. Ia adalah suara yang tak selalu terdengar. Ada perempuan yang menjual gorengan di ujung gang. Ada tukang becak yang tertidur di samping gerobaknya. Ada anak-anak yang menggambar langit di tembok rumahnya. Mereka juga bagian dari kota. Tapi apakah mereka pemiliknya?
Kota ini kadang seperti puisi yang hanya dibaca oleh segelintir orang. Padahal kata-katanya ditulis oleh banyak tangan. Seperti grafiti di tembok: liar, tapi jujur.
Saya percaya, kota yang baik bukanlah kota yang indah. Tapi kota yang adil. Bukan kota yang hanya bisa difoto dari rooftop cafe, tapi kota yang bisa didengar dari suara di balik pintu sempit.
Karena hak atas kota bukan soal siapa yang bisa membelinya, melainkan siapa yang bisa hidup di dalamnya—tanpa takut dipindah, disingkirkan, hingga dilupakan.
Goethe pernah menulis: kota adalah cermin. Jika demikian, mari kita bertanya lagi. Ketika kita melihat kota hari ini, siapa yang kita lihat di dalamnya?
Apakah itu wajah kita?
Ataukah bayangan yang perlahan memudar?
Di Makassar, pertanyaan itu menjadi semakin nyata. Lihatlah ke arah Center Point of Indonesia—sebuah megaproyek reklamasi yang memakan laut dan menggusur nelayan. Di atas air yang dulu menjadi sumber hidup, kini berdiri gedung-gedung bertingkat dan jalanan yang mulus. Tapi, siapa yang tinggal di sana?
Warga dari Bara-Baraya atau Kalukuang barangkali hanya bisa melintas, melihat dari balik kaca angkot atau dari pelataran parkir. Mereka tidak diundang. Mereka bukan target pasar. Mereka hanya bagian dari statistik—tentang “urban poor” yang jumlahnya makin samar dalam rencana tata ruang.
Michel Foucault pernah mengingatkan: kekuasaan bekerja bukan hanya melalui larangan, tapi melalui pengaturan ruang. Ketika ruang publik disulap menjadi ruang komersial, ketika lapangan berubah jadi lahan parkir, ketika pasar tradisional dirobohkan demi plaza, maka kota secara perlahan diatur untuk mengutamakan satu jenis warganya—yang bisa membeli, bukan yang bisa hidup.
Dan di lorong-lorong Kota Makassar, kita melihat bagaimana ruang itu makin mengecil. Warung makan kaki lima digusur demi trotoar yang justru tak bisa dipakai pejalan kaki karena dipagari. Lapangan bermain menyempit, diganti tower apartemen yang menjanjikan. Jalan-jalan diperlebar untuk mobil, tapi tak ada jalur aman bagi pesepeda.
Apakah Makassar kota untuk semua?
Atau, seperti yang ditulis David Harvey, kota telah menjadi “komoditas politik”—ruang yang dijual demi akumulasi, bukan demi kehidupan?
Namun, di tengah perampasan itu, kota juga melahirkan perlawanan. Komunitas Kata Kerja mendirikan taman bacaan di tengah sempitnya ruang terbuka. Di lorong-lorong Maccini, mural-mural tumbuh seperti doa yang menolak dilupakan.
Kota ini, sebagaimana ditulis Henri Lefebvre, adalah hasil dari produksi sosial. Artinya, kota bukan milik pengembang, bukan milik pemerintah, bukan milik investor.
Ia adalah hasil dari interaksi, kerja, dan mimpi warganya. Maka hak atas kota bukan cuma hak untuk tinggal, tapi hak untuk menentukan: akan seperti apa kota ini tumbuh?
Maka kita kembali pada pertanyaan awal.
Siapa yang punya kota ini?