PENULIS: KAMSAH HASAN
MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Di kota ini, pohon tumbuh seperti sisa ingatan. Makin hari makin sedikit, makin sunyi, makin terdesak di antara beton, baliho, dan parkiran.
Mungkin suatu hari nanti, akan ada satu pohon yang tersisa—berdiri sendiri di tengah bundaran, diapit jalan tol dan menara apartemen.
Orang-orang akan menengoknya sejenak, memotretnya, lalu melupakannya. Ia jadi semacam artefak dari masa lalu, bukan bagian dari hidup.
Makassar, seperti banyak kota besar di negeri ini, sedang melaju cepat ke arah yang menakutkan itu. Di balik jargon “kota dunia”, yang tumbuh justru panas, bising, dan sesak.
Ruang hijau disulap jadi lahan proyek, taman jadi tempat selfie, laut ditimbun atas nama investasi.
Kita menyebut ini “kemajuan”, padahal bisa jadi ini adalah awal dari pelupaan besar—terhadap apa yang membuat kota layak ditinggali. Udara yang bersih, tanah yang sejuk, dan pohon-pohon yang membuat kita masih bisa bernapas.
Kita hidup di kota yang terus tumbuh, tapi tak tahu sedang tumbuh ke mana. Makassar menjelma megapolitan setengah matang: keras di wajah, rapuh di dada—dan kini, ia megap-megap mencari napas di tengah pujian yang makin bising.
Baca juga: Nasihat Kepada Orang Miskin dari Orang yang Tak Pernah Lapar
Di atas kertas, kota ini modern: penuh proyek strategis, bangunan menjulang, dan narasi digitalisasi. Namun di jalanan, orang-orang hidup dalam panas yang menggigit, debu yang tak henti beterbangan, dan ruang publik yang makin menyusut. Kota ini tumbuh dalam kecepatan, tapi kehilangan arah. Ia sibuk mempercantik cermin, sambil membiarkan paru-parunya berlubang.
Kita lihat Losari dijejali proyek ambisius: reklamasi, anjungan, pusat kuliner, tapi kehilangan lautnya. Laut yang dulu jadi nadi kehidupan pelaut dan nelayan Bugis-Makassar, kini dibungkam beton, ditutupi panggung-panggung selfie, disesaki festival tanpa jiwa.
Taman-taman kota dipoles, tapi hanya jadi etalase estetika. Terlihat rapi, steril, namun asing. Kita tidak diminta menghuni, hanya diizinkan lewat.
Martin Heidegger, filsuf Jerman yang dikenal karena pemikirannya tentang eksistensi dan keterlemparan manusia ke dunia modern, menyebut manusia modern hidup dalam verfallen—kejatuhan dari keberadaan yang sejati. Kota seperti Makassar mencerminkan kejatuhan itu.
Baca juga: Siapa yang Punya Kota Ini?
Kita membangun gedung-gedung tinggi, tapi kehilangan pandangan horisontal: relasi dengan sesama, dengan lingkungan, dengan sejarah. Seolah semua bisa diganti dengan arsitektur yang “instagrammable”.
Pembangunan terus bergerak, tapi seperti dikatakan Ivan Illich—pemikir radikal asal Austria yang kerap mengkritik institusi modern seperti sekolah, rumah sakit, hingga transportasi—semakin kita mempercepat hidup, semakin kita kehilangan makna hidup itu sendiri.
Bagi Illich, masyarakat modern telah menciptakan sistem yang justru melumpuhkan otonomi dan martabat manusia. Jalan tol layang dibangun dari bandara ke kota, tapi tak ada jalur sepeda yang aman dari Antang ke Karebosi. Trotoar dibenahi, tapi lebih sering jadi parkiran kendaraan pejabat atau ruang reklame yang bicara lebih nyaring daripada burung.
Illich menyentil kita: apa gunanya kecepatan jika kita tak pernah menanyakan arah?
Krisis lingkungan di Makassar bukan hanya tentang banjir yang makin sering atau panas yang makin menusuk. Ia adalah krisis arah. Kita tak tahu kota ini mau ke mana.
Setiap kepala daerah datang membawa masterplan, seolah kota bisa dirancang seperti brosur real estate. Namun tak ada rencana yang sungguh mendengar denyut harian warga. Tak ada sketsa yang mempertimbangkan pepohonan tua, angin yang ingin mengalir, atau anak-anak yang butuh bermain.
Bukankah Hannah Arendt, pemikir politik asal Jerman yang banyak bicara soal ruang publik dan tindakan manusia, pernah mengingatkan bahwa politik sejati lahir dari vita activa—dari tindakan bersama di ruang publik yang otentik? Tapi di Makassar, ruang itu makin disempitkan.
RTH jadi lahan parkir. Lapangan jadi tempat konser. Bahkan taman dibatasi jam operasional, seolah ruang bersama harus tunduk pada logika keamanan, bukan kebebasan.
Coba tengok lorong-lorong di Mariso, di Tallo, di Panakkukang. Di sana, anak-anak tumbuh tanpa ruang bermain selain jalan sempit yang dipenuhi motor. Ibu-ibu duduk di depan rumah mengipas bayi, berhadapan langsung dengan selokan terbuka yang menguarkan bau.
Di balik narasi “Makassar Metaverse”, masih ada warga yang antre air bersih, yang kehilangan rumah karena proyek, yang hanya jadi angka dalam statistik.
Inilah yang disebut Zygmunt Bauman, sosiolog dan filsuf asal Polandia yang mengajukan konsep liquid modernity—sebuah kondisi di mana hidup menjadi cair, cepat, dan tanpa pijakan stabil. Kota bergerak ke depan, tapi warganya tertinggal. Mereka jadi semacam penumpang gelap dalam kendaraan bernama “visi kota cerdas”.
Kita butuh metanoia—perubahan cara berpikir yang radikal. Bukan sekadar pergantian kebijakan, tapi pergeseran nilai. Dari kota sebagai etalase, menjadi kota sebagai rumah. Dari pembangunan sebagai alat kekuasaan, menjadi pembangunan sebagai praktik welas asih.
Mungkin itu yang dulu dimaksud oleh Lao Tzu, filsuf Tiongkok kuno yang dikenal sebagai pelopor ajaran Taoisme. Ia bilang untuk membangun sesuatu yang hebat, seseorang harus terlebih dahulu menghargai sesuatu yang kecil.
Kalau Makassar ingin hidup lebih lama, ia harus mulai dari yang kecil: dari pohon, dari lorong, dari suara warga. Kota yang benar-benar hidup bukan yang paling besar, tapi yang paling mendengarkan.
Bila benar kelak hanya tinggal satu pohon di kota ini, kita harus bertanya untuk siapa sebenarnya kita membangun? Karena mungkin pohon terakhir itu tak hanya menandai akhir dari ruang hijau—tetapi juga awal dari kesadaran yang datang terlambat. (*)