Penulis: Ulla Mappatang Mahasiswa Doktoral Bidang Sosiobudaya Universiti Malaya, Malaysia
Makassar, kota metropolitan di Indonesia bagian Timur, mengalami perubahan sosial-budaya yang dinamis sebagai akibat dari urbanisasi, globalisasi, dan modernisasi. Kita dapat memahami dinamika ini dari berbagai disiplin ilmu dengan menggunakan pendekatan kajian budaya kota, juga dikenal sebagai urban cultural studies. Metode ini menggabungkan identitas, kuasa, dan ruang dalam konteks perkotaan. Kajian budaya kota memiliki fokus dalam mengkaji budaya keseharian masyarakat kota yang lahir dari interaksi beragam identitas, kepentingan, dan orientasi yang berbeda – beda. Interaksi dan relasi atau hubungan merupakan kata kunci dalam melihat Makassar dalam kacamata kajian budaya kota (urban cultural studies).
Perluasan kota Makassar telah mengubah struktur sosial dan nilai budaya masyarakatnya, yang menandai transformasi sosial dan budaya Makassar. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Masni et al. (2024) menunjukkan bahwa kearifan lokal mempertahankan kohesi sosial dan identitas budaya dengan bertahan dan beradaptasi dengan tantangan urbanisasi. Nilai-nilai konvensional, seperti “siri’“, telah mengalami transformasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nonci et al. (2023), praktik silariang saat ini misalnya beralih ke jenis pernikahan alternatif seperti “pernikahan siri”. Ini menunjukkan bahwa nilai budaya berubah seiring dengan perubahan sosial. Tentu ada beragam faktor yang menjadi penyebab perubahan – perubahan tersebut.
Kajian budaya kota kota dengan kata kunci “budaya hidup keseharian” (daily life culture) mengindikasikan pengalaman hidup sehari – hari masyarakat bawah dan kebanyakan sebagai subjek kajian (Barker, 2014; Saukko, 2003). Tidak melulu elit penguasa berikut kebijakan besarnya yang dinilai mempengaruhi banyak orang. Kajian budaya kota adalah kajian budaya masyarakat banyak yang menerima dampak kuasa dan respon terhadap perubahan yang terjadi begitu cepat, dinamis dan seringkali merugikan kalangan bawah. Makassar adalah contoh dari dinamika perubahan itu dan respon yang perlu diperkuat, mulai dari wacana sampai praktik.
Kajian Kota dan Budaya Kota
Mempelajari kota sebagai ruang sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan adalah bagian dari kajian kota (urban studies). Berbagai aspek kehidupan perkotaan dibahas dalam kajian ini. Ini termasuk perkembangan kota — urbanisasi, migrasi, pertumbuhan penduduk — dan struktur sosial kota seperti kelas sosial, komunitas, konflik sosial, serta ruang publik. Di samping itu tata kota yang termasuk di dalamnya perencanaan wilayah, transportasi, dan hunian juga merupakan bagian kajiannya. Sementara itu, yang tak kalah pentingnya adalah kebijakan publik perkotaan yang mencakup perumahan, kemiskinan, lingkungan. Terakhir yang dekat dengan kajian budaya kota itu sendiri adalah budaya dan identitas kota (Barker, 2014; Saukko, 2003).
Salah satu aspek penting dari studi kota (urban studies) adalah budaya kota. Kajian budaya kota bertujuan untuk memahami bagaimana budaya berkembang, berubah, dan berpengaruh pada dinamika kota. Gaya hidup, seni, bahasa, makanan, dan mode adalah bagian dari budaya kota. Kajian kota atau kajian urban (urban studies), melihat cara identitas ini diciptakan, dibangun, atau bahkan dijual (Nasrullah, 2018). Kajian kota melihat juga cara orang menggunakan ruang publik dan ruang privat, serta proses budaya kota tercermin dalam penggunaan ruang tersebut, seperti taman kota, pusat perbelanjaan, dan kawasan seni. Kajian kota melihat juga peran globalisasi, modernisasi, dan migrasi berdampak pada perubahan budaya kota, seperti munculnya budaya digital, budaya populer, dan gaya hidup kosmopolitan. Sebenarnya, temuan kajian kota digunakan dalam pembuatan kebijakan budaya kota seperti menjaga warisan budaya kota, membangun ruang kreatif, atau pengembangan kota berbasis komunitas.
Salah satu contoh penerapan budaya kota dan kajian kota adalah penelitian tentang “hipsterisasi” atau gentrifikasi di kota besar (seperti Jakarta dan Bandung) yang menganalisis pola budaya muda urban (urban youth culture) mempengaruhi tata ruang, ekonomi, dan identitas wilayah kota. Festival musik jalanan atau mural adalah manifestasi budaya kota yang diteliti dari sudut pandang kajian kota. Ini adalah beberapa contoh perilaku budaya masyarakat kota yang dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian ini. Singkatnya, kajian kota adalah cara ilmiah untuk memahami kerumitan kehidupan kota. Budaya kota adalah salah satu komponen utama yang dikaji dalam kajian kota. Dalam upaya keduanya untuk memahami proses kehidupan perkotaan membentuk dan dibentuk oleh masyarakat, keduanya saling terkait.
Dinamika Budaya Kota
Menurut data terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 56% dari semua orang di dunia tinggal di kawasan perkotaan. Angka ini akan terus meningkat sampai 68% pada tahun 2050 jika tren urbanisasi global terus berlanjut (Bernama, 2019; BPS 2020). Angka tersebut adalah hasil langsung dari gejala urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota karena daya tarik ekonomi kota seperti lapangan kerja, pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Selain itu, modernisasi dan industrialisasi terkonsentrasi di kota-kota. Karena angka kelahiran yang meningkat, populasi alami kota juga meningkat.
Di antara manfaat urbanisasi adalah pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan peningkatan produktivitas. Namun, konsekuensi negatifnya termasuk pemukiman kumuh, polusi, kemacetan, tekanan pada infrastruktur kota, dan kesenjangan sosial. Oleh karena itu, peningkatan jumlah orang yang tinggal di kota merupakan bukti langsung dari urbanisasi yang berkelanjutan di seluruh dunia. Pola hidup, nilai, norma, kebiasaan, gaya komunikasi, dan ekspresi sosial yang berkembang di lingkungan perkotaan disebut budaya kota atau urban culture. Budaya ini berasal dari interaksi berbagai kelompok sosial yang tinggal di kota, dengan agama, profesi, gaya hidup, dan latar belakang etnis yang beragam.
Salah satu ciri budaya kota adalah heterogenitas dan pluralitas masyarakatnya. Kota memiliki budaya yang beragam karena penduduknya berasal dari berbagai latar belakang. Kedua, individualisme—karena ritme hidup yang cepat dan lingkungan sosial yang kompetitif, orang yang tinggal di kota cenderung individualis. Ketiga, budaya kota selalu berkembang dan mengikuti tren karena kemajuan teknologi, media, dan globalisasi. Keempat, gaya hidup konsumerisme tinggi, yang biasanya dikaitkan dengan konsumsi barang dan jasa, hiburan, dan mode. Kelima, profesionalisme dan rasionalitas, menunjukkan bahwa keputusan budaya kota cenderung lebih logis dan berfokus pada hasil dan efisiensi. Terakhir, kehidupan kota yang cepat dan padat membutuhkan mobilitas dan fleksibilitas tinggi. Dinamika kota-kota di Indonesia, termasuk Makassar sebagai kota terbesar di wilayah Timur Indonesia, dipengaruhi oleh keenam ciri budaya di atas.
Gaya hidup “ngopi” di kafe dan warkop modern adalah contoh budaya kota atau budaya urban. Selain itu, festival seni dan budaya kota seperti street art (seni jalanan) atau musik indie sering diadakan, tetapi tradisi ini sulit kita temui—bukan berarti tidak ada sama sekali—dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Selain itu, di kota-kota dikenal adanya komunitas hobi atau profesi yang berkumpul di area publik, seperti klub motor, klub mobil, dan klub senam. Terakhir, budaya digital dan fashion jalanan semakin populer di kota-kota besar. Semua budaya kota, termasuk yang disebutkan di atas, berkembang di kota-kota besar, seperti Makassar, yang berkembang lebih cepat di Indonesia daripada kota-kota lain di luar pulau Jawa.
Representasi Ruang Publik dan Budaya Harian Kota Makassar
Tempat penting untuk membangun identitas budaya adalah ruang publik Makassar. Misalnya, Pantai Losari memiliki anjungan bertuliskan Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Ahmedin (2024) dalam risetnya mempertanyakan apakah representasi ini menunjukkan kesadaran budaya atau hanya strategi ekonomi yang berpusat pada identitas. Warung kopi, juga dikenal sebagai warkop, berfungsi sebagai ruang publik informal yang mendukung interaksi sosial lintas usia dan kelas, meningkatkan kohesi sosial di tengah kota (Andi Faisal dan Hasyim, 2022). Ruang sosial ini terus berkembang seiring pertumbuhan kota dengan pelbagai dinamika perubahan dan adaptasi serta respon masyarakatnya.
Dengan Karebosi, Panakukkang, Tamalanrea, dan Daya sebagai pusat bisnis, Makassar memiliki struktur kota yang polisentris. Fajri et al. (2015) menyatakan bahwa pemindahan fungsi dari pusat kota menunjukkan perubahan sosial dan ekonomi yang kompleks. Meskipun demikian, masalah keberlanjutan lingkungan dan integrasi sosial muncul saat pembangunan area baru seperti Metro Tanjung Bunga. Makassar, kota yang memiliki banyak kelompok etnis, menghadapi masalah dalam interaksi mereka. Sensitivitas budaya sangat penting saat berkomunikasi setiap hari (Basit, 2021). Ini terutama berlaku untuk pendatang karena mereka harus memahami bahasa lokal dan tradisi untuk menghindari konflik sosial.
Dengan menggunakan perspektif kajian budaya kota yang disebutkan di atas, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas transformasi sosial-budaya yang terjadi di Makassar. Ruang publik berfungsi sebagai tempat untuk menunjukkan budaya, dan struktur kota mencerminkan berbagai dinamika sosial dan ekonomi. Ini menunjukkan bagaimana prinsip tradisional berubah sesuai dengan perubahan kota. Untuk menjaga keseimbangan sosial dalam keragaman budaya sehari-hari masyarakat Makassar, sensitivitas budaya masih sangat penting.
Budaya Sehari – hari Kota Makassar
Sejarah perkembangan kota dan transformasi budaya Makassar terjadi secara signifikan dari kota kerajaan, kolonial, hingga menjadi kota modern. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati dkk (2023) menemukan bahwa Makassar berkembang menjadi pusat kerajaan Gowa dan memiliki struktur kota tradisional selama periode prakolonial. Era kolonial setelah Kerajaan Gowa runtuh, Makassar berubah menjadi kota kolonial dengan Fort Rotterdam sebagai pusat. Pasca-kemerdekaan, Makassar mengalami urbanisasi pesat dengan munculnya pusat bisnis baru seperti Panakkukang dan Tanjung Bunga. Ini membentuk pola kota konsentris dengan pertumbuhan permukiman di sekitar benteng. Namun, nilai-nilai sejarah dan budaya masyarakat sering diabaikan selama proses pembangunan, yang mengancam kekuatan identitas budaya kota.
Identitas etnis dan budaya lokal dalam kontekstualisasi kota menekankan bahwa budaya Bugis-Makassar tetap menjadi dasar identitas kota, meskipun dihadapkan pada tantangan modernisasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Andi Tenri Ampa et al. (2015), nilai-nilai budaya seperti “siri” (harga diri) dan “pesse” (empati) masih ditanamkan dalam masyarakat, terutama dalam struktur sosial dan pola permukiman. Namun, kelestarian nilai-nilai ini sering diancam oleh pembangunan infrastruktur dan urbanisasi.
Kemacetan dan mobilitas menandai dinamika perkotaan dan sosial di Makassar, yang tidak hanya merupakan masalah transportasi tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dan budaya (Ridha, 2018). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rizky dkk (2024), warga kota menciptakan adaptasi budaya untuk mengatasi tantangan mobilitas sambil menavigasi ruang perkotaan yang padat. Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya kota berubah seiring dengan perkembangan infrastruktur dan pola hidup masyarakat (Ridha, 2018a; 2018b).
Komersialisasi ruang publik dan tantangan partisipasi komunitas menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Makassar berusaha mempertahankan prinsip budaya dalam penggunaan ruang publik, proses privatisasi dan komersialisasi sering menghambat partisipasi komunitas (Sari et al., 2025). Ini menantang untuk mempertahankan keberlanjutan budaya kota yang inklusif dan berkelanjutan. Untuk memastikan bahwa semua orang terlibat dalam pembangunan dan pelestarian kota ini, hal ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah kota dan masyarakat sipil. Terutama dengan menerapkan pembangunan tanpa menggusur dan mengutamakan konsep penataan yang inklusif dan berkeadilan.
Makassar adalah contoh kota yang menghadapi dilema antara tuntutan modernisasi dan mempertahankan identitas budayanya. Kajian – kajian akademik di atas menunjukkan bahwa pendekatan perencanaan kota yang holistik dan partisipatif sangat penting untuk memastikan bahwa perkembangan kota tidak mengorbankan nilai-nilai budaya yang telah membentuk karakter kota selama berabad-abad.
Tantangan dan Peluang
Saat ini, Kota Makassar menghadapi banyak masalah yang rumit, terutama dalam hal lingkungan, sosial, infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat. Tantangan sebagai kota, seperti ketersediaan air bersih, manajemen sampah, pencemaran lingkungan, banjir, masalah sosial di jalan, kemiskinan, kemacetan, dan krisis ekologis yang disebabkan oleh pembangunan yang cepat dan kurang terkoordinasi.
Selama lebih dari dua puluh tahun, penduduk di tiga kelurahan di Kecamatan Tallo—Tallo, Buloa, dan Kaluku Bodoa—mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Hal ini menunjukkan masalah air bersih saat ini. Meskipun ada jaringan pipa PDAM, banyak yang sudah tidak berfungsi seperti yang juga terjadi di beberapa permukiman di kecamatan Tamalanrea. Akibatnya, warga harus membeli air dari penjual di sekitar mereka. Kondisi ini diperparah oleh musim kemarau yang panjang dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah ini, meskipun masalah ini sering dijadikan bahan politik selama kampanye pemilu.
Produksi sampah Makassar yang meningkat pesat menunjukkan masalah sampah dan pencemaran lingkungan. Produksi sampah diperkirakan mencapai lebih dari 4,1 juta ton pada tahun 2024. Sampah plastik menjadi masalah besar di pesisir dan laut kota, dan limbah mengancam ekosistem laut. Meskipun ada inisiatif seperti “Makassar Tidak Rantasa“, namun tidak dilaksanakan dengan baik, seperti yang terlihat dari kegagalan kota untuk mendapatkan Piala Adipura.
Ketika banjir berulang terjadi di beberapa wilayah, masalah banjir dan infrastruktur drainase menjadi perhatian serius. Area seperti Biringkanaya sering banjir karena sistem drainase yang tidak memadai. Ini terutama terjadi di wilayah Paccerakkang dan Katimbang. Kabel bawah tanah mengganggu aliran air dari drainase sekunder ke primer, menyebabkan kerusakan infrastruktur jalan dan fasilitas umum lainnya (dprd.makassarkota.go.id; Portal Resmi Pemerintah Kota Makassar). Hal – hal tersebut memperparah masalah air di kota ini.
Karena banyaknya anak jalanan, pengamen, dan gelandangan di daerah strategis, masalah sosial seperti anak jalanan dan gelandangan menjadi masalah. Daerah seperti Simpang Lima Bandara Sultan Hasanuddin dan Pantai Losari membutuhkan perhatian khusus. Sudah jelas bahwa pemerintah kota telah melakukan upaya untuk merehabilitasinya, tetapi masalah ini masih ada dan memerlukan pendekatan yang diintegrasikan oleh banyak pihak.
Kemiskinan dan kesenjangan geografis merupakan dinamika masalah berikutnya. Kemiskinan masih menjadi masalah besar, terutama di daerah pesisir dan kepulauan seperti Kecamatan Sangkarrang. Kesenjangan sosial dan ekonomi di daerah-daerah ini diperparah oleh keterbatasan akses terhadap infrastruktur dasar, transportasi, dan layanan publik. Sebaliknya, peningkatan jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan lebar jalan menyebabkan kemacetan lalu lintas. Hal ini menyebabkan kemacetan yang sangat parah di banyak tempat di kota. Situasi ini diperburuk oleh kurangnya infrastruktur transportasi publik dan jalan alternatif.
Ketahanan kota dan krisis lingkungan juga merupakan masalah penting yang harus mendapat perhatian di tengah tantangan pemanasan global dan perubahan iklim. Ada banyak masalah lingkungan di Makassar, termasuk kerusakan DAS seperti Jeneberang dan Tallo. Kondisi ini menyebabkan banjir selama musim hujan dan kekeringan selama kemarau, yang mengganggu pasokan air minum dan meningkatkan risiko bencana. Masalah lingkungan ini penting mendapat perhatian karena selain menjadi faktor pendukung ketahanan kota, juga menjadi penentu Makassar sebagai kota berkelanjutan di masa kini dan masa mendatang.
Berbagai permasalahan yang dihadapi Kota Makassar menunjukkan perlunya pendekatan holistik dan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Penanganan yang efektif terhadap isu-isu ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup warga dan mewujudkan Makassar sebagai kota yang berkelanjutan dan inklusif. Sejarah panjang Makassar harus dipertahankan sebagai kota yang sangat dinamis melewati tantangan zaman. Agar budaya sehari-hari kota ini tetap inklusif dan berkelanjutan, diperlukan perhatian dan tindakan nyata saat ini dan kedepannya.
Beberapa Tawaran Jalan Keluar
Diperlukan pendekatan multidimensi dan jangka panjang untuk mengatasi masalah besar di kota-kota besar seperti Makassar. Strategi yang efektif harus melibatkan semua elemen tata kelola, ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya. Metode solutif dapat digunakan, seperti perencanaan berbasis inklusivitas dan reformasi tata ruang. Untuk memulai langkah pertama ini, penataan ulang zonasi kota dapat dilakukan untuk mencegah aktivitas ekonomi terkonsentrasi di satu area. Untuk mendistribusikan aktivitas dan mengurangi tekanan di pusat kota, pemerintah perlu membuat konsep kota satelit dan area mixed-use. Terakhir, meningkatkan akses ke ruang publik, taman kota, dan fasilitas umum yang tersebar di seluruh wilayah, bukan hanya di pusat bisnis.
Kedua, membangun sistem transportasi publik yang efisien dan terintegrasi.
Sebuah solusi dapat datang dari investasi dalam sistem transportasi massal multimoda (BRT, LRT, MRT, dan kereta komuter) yang terhubung ke sistem feeder. Sementara itu, langkah-langkah seperti penguatan kebijakan yang mendorong kendaraan, seperti pembatasan kendaraan pribadi (ERP, pajak progresif kendaraan), dapat dilakukan. Selain itu, untuk menyelesaikan masalah transportasi yang baik dan nyaman, diperlukan pembangunan jalur untuk sepeda dan jalan hijau.
Ketiga, penataan permukiman kumuh dan penyediaan perumahan murah. Kota yang sehat mengutamakan konsep penataan (KPRM, 2011). Hal ini dicapai melalui peningkatan dukungan untuk program perumahan rakyat berbasis komunitas seperti Community Land Trust. Selain itu, kawasan kumuh harus direvitalisasi dengan pendekatan partisipatif dan tanpa menggusur paksa. Selanjutnya, memberikan insentif kepada pengembang untuk membangun rumah vertikal murah. Ini dapat menjadi solusi alternatif untuk masalah perumahan di kota Makassar.
Keempat, masalah rehabilitasi lingkungan hidup dan pengendalian banjir. Meningkatkan infrastruktur drainase dan resapan air (biopori, sumur resapan) adalah beberapa tindakan yang dapat diambil. Sebaliknya, wilayah hijau dan badan air, seperti sungai, danau, dan rawa, harus diperbaiki. Terakhir, meningkatkan peraturan tata air dan melarang pembangunan di wilayah yang rawan banjir. Untuk mengatasi masalah banjir tahunan di Makassar, langkah-langkah ini dapat diambil.
Kelima, perlu ada peningkatan ekonomi inklusif dan pengurangan ketimpangan di sektor ekonomi rakyat. Solusi utama dapat datang dari mendorong ekonomi lokal berbasis komunitas seperti UMKM, pasar konvensional, dan koperasi. Selain itu, mengembangkan program pelatihan kerja dan wirausaha untuk warga marjinal. Setelah itu, layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan air bersih harus diperluas secara merata. Untuk mengurangi kerentanan warga kota ini, hal ini perlu dilakukan, terutama dalam menghadapi perubahan ekonomi, yang seringkali berdampak langsung pada masyarakat bawah.
Keenam, perencanaan kota harus mengintegrasikan budaya lokal. Misalnya, mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam pembangunan, seperti prinsip dan praktik siri na pacce,perlindungan situs budaya, arsitektur tradisional, dan ruang budaya komunitas. Selain itu, penting bagi pemerintah kota dan sektor bisnis untuk mendukung ekspresi budaya kota modern sebagai bagian dari identitas kota.
Ketujuh, penting bagi pemerintahan untuk membangun pemerintahan kota yang transparan, adaptif, dan partisipatif. Ini dapat dicapai dengan mereformasi birokrasi kota untuk mempercepat proses perizinan, pelaporan, dan pelaksanaan program. Oleh karena itu, forum kota, musyawarah perencanaan, dan pemanfaatan teknologi digital untuk mendorong partisipasi warga. Terakhir, memantau dan mengevaluasi partisipasi publik dan kebijakan berbasis data terbuka.
Pada akhirnya, Makassar perlu menerapkan pendekatan lingkungan yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, ruang terbuka hijau harus diperluas setidaknya 30% dari total area kota. Ditambah lagi, program daur ulang, pengurangan sampah industri dan rumah tangga, dan zero waste. Penting juga untuk mendorong penggunaan energi terbarukan di fasilitas pemerintah dan swasta. Langkah-langkah ini dapat membantu Makassar berkembang menjadi kota yang nyaman dan berkelanjutan.
Untuk menyelesaikan masalah yang disebutkan di atas di kota Makassar, solusi sepatutnya bersifat kolaboratif, lintas disiplin, dan partisipatif. Menata kota bergantung pada komitmen politik, partisipasi masyarakat, dan dukungan ilmu pengetahuan dan budaya lokal. Dibandingkan dengan kota yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, pendekatan kota yang “hidup dan berbudaya” akan lebih tahan terhadap tekanan urbanisasi. Makassar dengan penerapan ilmu pengetahuan seperti kajian kota (urban studies) dan terutama kajian budaya kota (urban cultural studies) dapat tumbuh sekaligus inklusif – distributif lagi berkelanjutan menjadi kota layak huni yang lebih baik di masa kini, terlebih di masa mendatang. (*)