Inspirasinusantara.id — Di sudut ruang tamu rumah kayu di Bone, seorang nenek masih setia membisikkan dongeng La Galigo kepada cucunya. Tetapi di luar rumah, si cucu lebih lancar menyanyikan lagu-lagu pop Korea ketimbang menjawab sapaan dalam bahasa Bugis.
Fenomena ini bukan lagi anekdotal. Data terbaru menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan.
Semakin banyak anak-anak yang meninggalkan bahasa ibu mereka, memilih bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, bahkan di pelosok kampung yang dahulu menjadi benteng pertahanan bahasa Bugis.
Bahasa Ibu yang Tergerus di Rumah Sendiri
Di kota-kota Sulawesi Selatan, lebih dari 50 persen orang tua memilih berbicara dalam bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka. Angka ini jauh di atas rerata nasional untuk bahasa daerah, menunjukkan pergeseran yang sangat tajam.
Bahkan ketika anak-anak berbicara di rumah, 60,95 persen di kota dan 43,48 persen di kampung lebih memilih bahasa Indonesia dibanding bahasa Bugis.
Baca juga : Belajar dari Jalanan: Bahasa Sosial Anak Tukang Parkir
Kecenderungan ini makin menguat ketika mereka berinteraksi dengan teman sebaya di luar rumah. Di wilayah urban, 60,95 persen anak lebih memilih bahasa Indonesia, sementara di kampung angkanya mencapai 47,11 persen.
Data ini menegaskan baik di kota maupun di pelosok, bahasa Bugis tengah kehilangan tanah pijaknya.
Menuju Kepunahan?
“Jika tidak ada intervensi, bahasa Bugis-Makassar bisa punah dalam 25 hingga 50 tahun ke depan,” kata Prof. Nurhayati Rahman, peneliti bahasa dan budaya Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, salah satu penyebab utama adalah perubahan demografi penutur.
“Sebagian besar penutur Bugis-Makassar sekarang bukan lagi anak-anak. Ketika para penutur ini meninggal, maka bahasa tersebut bisa ikut hilang,” ujar Nurhayati.
Baca juga : Kearifan Lokal Sulsel, Warisan Leluhur Penangkal Ragam Penyakit
Generasi muda saat ini, meski mewarisi darah Bugis, tidak lagi menggunakan bahasa leluhurnya. Mereka tumbuh dengan televisi berbahasa Indonesia, media sosial yang didominasi konten nasional dan global, serta sistem pendidikan yang menempatkan bahasa daerah hanya sebagai pelengkap muatan lokal.
Melawan Lupa di Era Digital
Namun tidak semua menyerah pada arus zaman. Di beberapa kabupaten seperti Soppeng dan Bone, komunitas budaya mulai menggiatkan kembali pelajaran lontara, lomba dongeng, hingga membuat konten video pendek berbahasa Bugis.
“Bahasa Bugis harus dibawa masuk ke dunia digital agar relevan bagi generasi sekarang,” ujar Andi Ridwan, pengembang aplikasi tersebut.
Namun upaya ini baru secuil dari tantangan besar. Tanpa dukungan kebijakan publik yang sistematis, revitalisasi bahasa Bugis bisa terjebak menjadi simbolisasi budaya semata hidup di panggung seremoni, tapi mati di ruang keluarga.
Bahasa yang Menentukan Arah Sejarah
Di tengah globalisasi, menjaga bahasa daerah bukan semata soal warisan. Ia adalah soal arah sejarah. Bahasa Bugis bukan hanya sarana komunikasi, tapi menyimpan cara berpikir, nilai, dan ingatan kolektif orang Sulawesi Selatan. Ketika bahasa itu hilang, maka hilang pula sebagian dari jati diri kita.
Seperti kata pepatah Bugis, Mappakalebbiri adaé, mappasitinaja nawaé yang artinya hormatilah adatmu, kuatkanlah arahmu. Tapi tanpa bahasa, bagaimana adat dan arah itu bisa dituturkan lagi? (*/IN)