Penulis: Syamsul Rijal
Dosen Bahasa dan Sastra Universitas Mulawarman
Beberapa waktu lalu, saya menjumpai pemandangan yang menggugah di
jalanan Makassar. Seorang anak kecil, mungkin usianya belum genap tujuh tahun, berlari kecil menuju motor dan mobil yang hendak parkir. Ia
melambai-lambaikan tangan ke pengemudi sambil mengarahkan tempat
parkir, lalu menengadahkan tangan seperti biasa dilakukan para tukang parkir liar dewasa.
Anak itu tidak sedang bermain. Ia sedang meniru peran sosial yang ada di
sekelilingnya: menjadi tukang parkir liar. Ia tidak membawa kartu resmi, tidak mengenakan atribut, dan jelas tidak berada di bawah pengawasan otoritas apa pun. Tapi ia terlihat memahami “aturan main” jalanan, bahwa siapa pun yang membantu parkir berhak atas sejumlah uang, bahkan tanpa diminta.
Fenomena ini barangkali terlihat sepele bagi sebagian orang. Namun perlu
diketahui bahwa ini adalah sinyal kuat tentang bagaimana lingkungan sosial membentuk pola pikir dan perilaku generasi berikutnya. Kita tidak sedang berbicara tentang satu anak, melainkan tentang ekosistem sosial yang secara tidak sadar mewariskan “pekerjaan jalanan” kepada anak-anak sejak usia dini.
Warisan Tak Tertulis
Menariknya, sebagian besar anak-anak ini tidak mengaku disuruh oleh
orang tua mereka. Mereka bergerak atas inisiatif sendiri. Tapi di balik “inisiatif” itu, kita bisa melihat proses peniruan sosial yang sangat kuat. Mereka tumbuh di lingkungan yang terbiasa dengan aktivitas parkir liar. Mereka melihat orang dewasa melakukannya setiap hari. Mereka menyerap bahasa, gerakan, dan logika dari dunia sekitar mereka.
Inilah yang saya sebut sebagai “bahasa warisan lingkungan”, yakni bahasa
dalam arti luas, sebagai perilaku sosial, nilai, dan tindakan yang tidak
diajarkan secara formal, tetapi dipelajari secara ekologis melalui interaksi
sehari-hari. Bahasa ini bukan hanya dalam bentuk kata-kata, melainkan juga isyarat tangan, intonasi permintaan, hingga norma informal yang membentuk relasi antara pelaku parkir dan pengguna jalan.
Ekolinguistik Sosial
Dalam pendekatan ekolinguistik sosial, kita memahami bahwa bahasa
manusia tidak pernah lepas dari konteks ekologis: lingkungan fisik, sosial, dan kultural. Bahasa mencerminkan hubungan antara manusia dan lingkungan tempat mereka hidup. Dalam konteks ini, anak-anak yang menjadi tukang parkir liar bukan sekadar kasus sosial, melainkan refleksi dari lingkungan bahasa yang mereka tinggali.
Anak-anak menyerap cara bicara orang dewasa, gaya komunikasi jalanan,
serta strategi bertahan hidup di ruang publik. Mereka belajar bahwa untuk mendapatkan uang, cukup berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan, dan menerima upah dari rasa kasihan atau kebiasaan sosial yang telah terbentuk. Bahasa yang mereka pelajari adalah bahasa krisis. Bahasa ketidaksetaraan. Bahasa adaptasi terhadap sistem sosial yang gagal memberi perlindungan dan alternatif hidup yang layak bagi anak-anak.
Lingkaran Sosial yang Tak Terputus
Masalah ini tentu tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari mata rantai
kemiskinan struktural, ketimpangan pendidikan, serta lemahnya kebijakan perlindungan anak di ruang publik. Ketika sistem pendidikan tidak mampu menjangkau kelompok rentan; dan ruang bermain anak semakin menyempit karena urbanisasi, maka jalanan menjadi tempat belajar yang tersisa.
Sayangnya, yang dipelajari bukanlah literasi atau kreativitas, melainkan
cara-cara bertahan hidup di tengah keterbatasan. Maka tak heran jika
pekerjaan informal seperti tukang parkir, pengamen, bahkan pengemis
menjadi “pekerjaan warisan”, bukan karena diturunkan secara eksplisit,
melainkan karena diwariskan oleh lingkungan sosial yang tidak berubah.
Dalam jangka panjang, ini akan menciptakan lingkaran sosial yang tak
terputus: anak-anak miskin yang tumbuh dalam lingkungan miskin akan
cenderung mengulang pola hidup yang sama, kecuali ada intervensi sosial
yang kuat untuk memutus rantai tersebut.
Memutus Warisan Bahasa Jalanan
Kita tentu tidak bisa menyalahkan anak-anak yang memilih turun ke jalan.
Mereka hanya belajar dari apa yang mereka lihat. Namun, kita bisa bertanya pada diri sendiri: lingkungan seperti apa yang telah kita bangun untuk mereka? Bahasa seperti apa yang mereka pelajari dari keseharian kita?
Sudah saatnya negara, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil memutus
“bahasa warisan” ini. Anak-anak tidak seharusnya mempelajari bahasa
bertahan hidup dari jalanan. Mereka harus belajar bahasa impian, bahasa
pendidikan, bahasa masa depan.
Itu artinya, kita perlu membuka lebih banyak ruang aman untuk anak.
Memastikan akses sekolah dan kegiatan produktif bagi mereka. Menghadirkan intervensi sosial berbasis komunitas yang tidak hanya memberi bantuan material, tetapi juga menciptakan alternatif budaya dan bahasa baru, yang lebih sehat, manusiawi, dan berdaya.
Karena sejatinya, anak-anak tidak dilahirkan dengan mental tukang parkir. Mereka belajar menjadi seperti itu karena kita membiarkan lingkungan membentuk mereka. Dan selama kita tidak mengubah bahasanya, kita sedang menciptakan generasi yang belajar bertahan, bukan berkembang. (*)