back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30.5 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Makassar Makin Padat: Hutan Kota yang Hilang

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Siang itu, Maulana Ishak menatap matahari dari balik jendela rumahnya di Mariso. Udara terasa tajam, menampar kulit tanpa ampun. Sinar mentari...
BerandalingkunganWALHI Sulsel Apresiasi Putusan MA soal Larangan Ekspor Pasir Laut

WALHI Sulsel Apresiasi Putusan MA soal Larangan Ekspor Pasir Laut

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan bersama Perempuan Pejuang Pulau Kodingareng mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Baca juga: Makassar dan Krisis Iklim dari Rumah Tangga

Putusan ini dinilai sebagai kemenangan keadilan ekologis dan pengakuan terhadap perjuangan masyarakat pesisir yang terdampak kebijakan ekspor pasir laut.

Putusan MA tersebut diumumkan pada kamis hari ini, (26/6/2025). Dua tahun setelah Presiden Joko Widodo membuka kembali keran ekspor pasir laut melalui PP 26/2023.

MA menyatakan aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 56 UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan memerintahkan Presiden mencabutnya.

Tanggapan terhadap putusan ini disampaikan WALHI Sulsel dalam konferensi pers yang digelar Kamis (26/6/2025) di Makassar.

Acara ini menghadirkan perwakilan Perempuan Pejuang Pulau Kodingareng dan Kepala Divisi Keterlibatan Perempuan WALHI Sulsel.

“Kami mengapresiasi Mahkamah Agung Republik Indonesia atas keputusannya yang membatalkan kebijakan ekspor pasir laut,” ujar Fadila Abdillah, Kepala Divisi Keterlibatan Perempuan WALHI Sulsel.

Ia menyebut keputusan tersebut sebagai bentuk keberpihakan terhadap keadilan ekologis dan pengakuan terhadap peran komunitas pesisir.

Menurut Fadila, perempuan di wilayah pesisir tidak hanya bertugas di rumah tangga. Mereka juga berperan penting dalam rantai produksi perikanan dan pengelolaan sumber daya laut secara tradisional.

“Olehnya itu, kami berharap langkah ini menjadi pemicu evaluasi menyeluruh terhadap seluruh kebijakan yang merusak ekosistem laut,” ujarnya.

Ia juga menyerukan pentingnya pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan dan wilayah kelola rakyat.

Fadila menegaskan bahwa perlindungan laut bukan hanya soal ekologi, tetapi juga menyangkut keadilan gender dan masa depan generasi mendatang.

“Bagi kami, laut adalah ruang hidup bersama,” tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ibu Sarina, perwakilan perempuan Pulau Kodingareng, menyatakan rasa syukurnya atas putusan MA tersebut.

Ia menyebut keputusan itu memberi rasa aman bagi warga yang selama ini merasa terancam.

“Kalau tidak dicabut, kami di sini was-was terus,” ungkap Ibu Sarina.

Ia juga mendesak pemerintah untuk segera menghentikan segala aktivitas penambangan pasir laut.

Ia mengungkapkan, dampak sosial-ekonomi akibat tambang pasir laut sangat dirasakan oleh masyarakat Kodingareng.

“Masyarakat yang awalnya bisa mencari kehidupan dari laut kini sangat kesulitan,” ujarnya.

Ibu Sarina juga menambahkan, banyak istri nelayan kini harus menanggung beban ekonomi keluarga.

“Akhirnya banyak istri-istri nelayan yang harus jadi penjual kue keliling demi memenuhi kebutuhan hidup,” katanya.

Ia berharap pemerintah segera melakukan pemulihan lingkungan sosial-ekonomi dan wilayah tangkap nelayan di Kodingareng.

“Kami juga harap sudah tidak ada lagi aktivitas penambangan, bukan hanya di Kodingareng tapi juga di wilayah nelayan lain,” tegasnya.

Sebagai penutup, WALHI Sulsel menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah dalam upaya perlindungan laut dan wilayah pesisir.

Pertama, mengevaluasi tata ruang laut dalam dokumen RZWP3K dan RTRW Terintegrasi yang masih melegalkan zona reklamasi dan tambang pasir laut.

Kedua, menetapkan wilayah konservasi laut berbasis komunitas nelayan dan perempuan dengan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Ketiga, memulihkan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Keempat, menyusun dokumen perencanaan adaptasi dan mitigasi menghadapi perubahan iklim.

Kelima, mematuhi putusan MA dengan mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023 beserta seluruh aturan turunannya. (Andi/IN)