MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Subuh di Jalan Biola No. 23, Manggala, selalu dimulai oleh desis api. Ibu Rosmini menjejak lantai dapurnya pukul enam tepat: panci air, wajan telur, suara kompor gas.
“Sebulan biasanya tiga tabung tiga kilo,” katanya, menepuk perlahan kepala si “melon” berkarat itu.
Tiga tabung—cukup untuk sarapan, makan siang, sore, dan secangkir kopi suami menjelang malam.
Jejak Karbon di Punggung Tabung
Satu tabung 3 kg memang ringan di lengan, tetapi berat di udara. Menurut basis data energi Climatiq, setiap liter LPG yang terbakar melepaskan 1,555 kg CO₂.
Baca juga: Krisis Iklim dan Ironi Makanan Terbuang di Kota Makassar
Dengan massa jenis rata rata 0,51 kg per liter, seisi tabung Rosmini (≈ 6 liter) memuntahkan ± 9 kg CO₂.
Rinciannya: 3 tabung × 9 kg = 27 kg CO₂ per bulan, atau ≈ 330 kg CO₂ per tahun—hanya dari satu dapur.
Bandingkan dengan rata rata emisi per kapita Makassar yang terus mendaki; laporan inventori GRK kota menunjukkan sektor energi menyumbang 91 persen total emisi pada 2019 dan melonjak 34 persen dibanding 2010.
Baca juga: Kisah Dg Sese dan Krisis Iklim di Kota Makassar
Di provinsi Sulawesi Selatan sendiri, 93,5 persen rumah tangga kini menggantungkan tungku pada LPG bersubsidi 3 kg. Artinya, asap melon semacam itu menebal di hampir setiap atap.
Kelangkaan yang Menyulut Emisi
Rosmini mengingat pekatnya antrean kala “krisis gas” melanda Makassar tahun lalu.
“Kalau tidak beli, keluarga tidak makan,” keluhnya.
Ketika stok menyusut, pedagang nakal menimbun, dan harga melonjak 30 60 persen dalam semalam. Walhasil, warga ada yang berpindah ke kayu bakar atau minyak tanah—dua pilihan yang justru menaikkan emisi partikel dan CO₂ lebih tinggi lagi.
Angka nasional PLN 2023 menempatkan sektor rumah tangga di 122,3 TWh dari total 288,4 TWh, atau 42 persen pangsa daya jual.
Subsidi gas melon membuat bahan bakar fosil itu tetap murah. Pemerintah menggelontorkan Rp 80,9 triliun subsidi LPG 3 kg sepanjang 2024.
Jejak Karbon Itu Dimulai dari Dapur
Dosen di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar, Muhammad Syafar, menilai kontribusi energi rumah tangga terhadap konsumsi listrik total di kota-kota besar seperti Makassar itu signifikan.
Sebagai pengajar teknik elektro yang menaruh perhatian pada isu energi dan lingkungan, Syafar memiliki satu keyakinan sederhana dapur adalah pusat kecil dari persoalan besar bernama krisis iklim.
Menurutnya, rumah tangga adalah salah satu konsumen utama listrik di kota, selain sektor industri dan komersial.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan PLN yang ia pelajari, konsumsi listrik rumah tangga di perkotaan bisa mencapai 30 hingga 40 persen dari total konsumsi listrik kota.
Ia menambahkan, angka itu bisa berbeda tergantung pada pola konsumsi, tingkat urbanisasi, dan efisiensi penggunaan energi di masing-masing kota.
Syafar menyebut tiga jenis bahan bakar yang umum dipakai rumah tangga: LPG, minyak tanah, dan kayu bakar.
“Di kota, LPG lebih dominan karena praktis dan efisien,” katanya.
Namun dominasi itu bukan tanpa konsekuensi. Meski lebih bersih dari kayu bakar, LPG tetaplah bahan bakar fosil yang melepaskan emisi karbon.

Menurut Syafar, jejak karbon dari LPG lebih rendah dibandingkan kayu, karena pembakarannya lebih bersih dan efisien.
Sebaliknya, penggunaan kayu bakar selain menghasilkan karbon dioksida, juga berkontribusi pada deforestasi dan emisi partikel polutan.
Kompor Listrik Tak Serta-Merta Lebih Bersih
Bagaimana dengan kompor listrik? Apakah otomatis lebih ramah lingkungan?
“Penggunaan kompor listrik bisa lebih rendah emisi dibanding LPG, tapi itu sangat bergantung pada sumber listriknya,” jelas Syafar.
Jika listrik yang digunakan berasal dari pembangkit energi terbarukan — seperti tenaga air, matahari, atau angin — maka emisinya bisa ditekan.
Tapi jika listrik yang dipakai berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil seperti batu bara, maka emisinya bisa saja lebih tinggi dibanding LPG.
Sebab itu, menurutnya, efisiensi dan sumber listrik menjadi faktor penentu dalam menilai jejak karbon antara penggunaan LPG dan listrik.
Jejak Karbon yang Bisa Diukur
Syafar menyebut bahwa sudah tersedia berbagai data dan pendekatan resmi untuk menghitung konsumsi energi rumah tangga dan jejak karbonnya.
“Laporan konsumsi energi rumah tangga dari Kementerian ESDM bisa dirujuk. Begitu juga data inventarisasi emisi gas rumah kaca dari BPPT,” ujarnya.
Ia juga menyebut pendekatan Life Cycle Assessment (LCA) sebagai salah satu metode paling akurat. Pendekatan ini mengkalkulasi emisi dari berbagai aktivitas rumah tangga, mulai dari penggunaan energi listrik, bahan bakar memasak, hingga transportasi.
Sebagai kota tropis, Makassar menurut Syafar memiliki potensi besar untuk mengembangkan kebijakan energi rumah tangga yang ramah iklim.
Ia menyebutkan beberapa strategi yang dapat ditempuh pemerintah, antara lain, mempromosikan penggunaan energi terbarukan, seperti panel surya atap.
Selain itu, memberikan subsidi dan insentif untuk penggunaan peralatan hemat energi dan kompor listrik ramah lingkungan. Begitu pun dengan mengurangi ketergantungan pada LPG dengan mendorong penggunaan biogas atau bahan bakar nabati.
Memberikan edukasi kepada masyarakat soal efisiensi energi dan dampak emisi dari dapur. Terakhir, mengembangkan infrastruktur energi yang memungkinkan akses energi bersih dan terjangkau.
“Kebijakan yang ramah iklim harus menyentuh rumah tangga. Karena di sanalah emisi diproduksi setiap hari,” katanya.
Sinar Baru di Dapur Kota
Syafar melihat tren positif di kota besar, termasuk Makassar. Ia menyebut makin banyak rumah tangga yang tertarik menggunakan panel surya atap (solar PV).
“Penurunan harga teknologi dan insentif dari pemerintah mendorong adopsi energi terbarukan di rumah,” katanya.
Selain itu, ia melihat biogas dari limbah organik rumah tangga mulai berkembang.
Menurutnya, kesadaran lingkungan yang meningkat, ditambah dengan kebijakan pemerintah yang mulai mendukung, menciptakan momentum untuk transisi energi bersih dari dapur-dapur kota.
Intervensi Kecil yang Bermakna
Syafar menyebut beberapa intervensi sederhana yang bisa dilakukan warga untuk mengurangi emisi di dapur, seperti mengganti kompor berbahan bakar fosil dengan kompor listrik atau induksi yang lebih efisien.
Menggunakan panci tekanan atau rice cooker hemat energi. Memasak dalam jumlah besar sekaligus untuk menghemat energi. Mematikan peralatan listrik jika tidak digunakan. Serta memanfaatkan limbah organik untuk biogas skala rumah tangga.
“Perubahan besar tidak selalu harus dimulai dari kebijakan tinggi. Bisa dari hal kecil yang kita lakukan setiap hari — termasuk dari dapur,” tutupnya.
Dapur bukan hanya ruang untuk memasak, tapi juga medan kecil tempat pertarungan besar perubahan iklim berlangsung.
Setiap nyala api di tungku rumah tangga adalah peluang — untuk memilih arah masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. (Andi/IN)