MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Di sebuah rumah tua yang nyaris terlupakan di Perumnas Antang Blok 10, Jalan Biola, tinggal seorang lelaki bernama Dg. Sese.
Pria berumur 69 tahun ini sudah 22 tahun menapaki kehidupan di Kota Makassar, meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Jeneponto untuk mengadu nasib sebagai tukang bengkel mobil.
Dg. Sese menempati rumah bekas bangunan lama yang dibangun sejak 1997.
“Saya tinggal di sini, rumah yang ditinggal pemiliknya. Dulu orang takut tinggal di sini karena banyak perampok,” katanya sambil mengenang masa-masa awalnya tinggal di rumah itu, saat dinding masih setengah jadi dan atapnya hanya terbuat dari plastik agar ia bisa berteduh.
Baca juga: Infrastruktur Rusak dan Ancaman Banjir Jadi Sorotan DPRD Makassar
Banjir adalah momok yang tak kunjung hilang bagi Dg. Sese dan warga di Perumnas Antang. Ia mengingat dengan jelas tiga kejadian besar yang membuatnya trauma: banjir parah tahun 2012 yang sampai masuk ke dalam rumah, banjir tahun 2018, dan banjir besar yang hampir mencapai atap rumah pada Februari 2025 lalu.
Baca juga: BMKG Peringatkan Krisis Iklim, Simak 5 Tips Atasi Ancaman Air Bersih
“Banjir tahun ini parah sekali, barang-barang saya banyak yang rusak karena saya kira banjir tak akan sampai masuk rumah,” ujarnya.
Istrinya, Dg. Sangnging, menambahkan bahwa saat banjir mereka terpaksa mengungsi ke Masjid Jabal Nur di Jalan Biola 13, sebuah lokasi yang relatif aman dari banjir.
“Di sana banyak dokter yang datang memeriksa kami, bahkan sampai dua kali sehari, kami diberi obat, vitamin, dan makanan,” ujarnya.
Namun, hingga saat ini, pasangan suami istri ini mengaku belum pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.
Mereka hanya berharap agar pemerintah segera mengambil langkah konkret mengatasi banjir yang setiap tahun datang dan menimbulkan kerusakan serta ancaman penyakit seperti demam berdarah, flu, dan muntaber.
Perubahan Iklim dan Banjir di Makassar
Perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan tinggi dan berkepanjangan menjadi faktor utama terjadinya banjir di Makassar.
Namun, Ketua DPRD Kota Makassar Supratman, menegaskan, banjir di Perumnas Antang khususnya di Blok 10 terjadi bukan semata-mata akibat hujan lokal, melainkan karena kiriman air dari Kabupaten Gowa.
“Biar hujan turun seratus hari di Manggala, kalau tidak ada kiriman air dari Gowa, tidak akan banjir. Air dari Gowa ini yang harus kita tampung, kita perlu membangun waduk,” katanya dalam rapat paripurna DPRD Kota Makassar pada 6 Mei 2025.
Kebakaran Hingga Krisis Air Bersih
Bukan hanya warga Perumnas Antang yang merasakan dampak buruk perubahan iklim. Warga Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang juga menghadapi tantangan berat.
Rosmiati, seorang pemulung dan warga sekitar TPA, mengingat kebakaran hebat yang terjadi pada 2016 yang menghanguskan rumahnya dan sejumlah rumah lainnya.
“Cuaca panas menyebabkan kebakaran sampah yang sangat besar waktu itu. Rumah saya ikut terbakar dan banyak barang hilang,” katanya.
Saat musim hujan, banjir lumpur dan bau sampah yang menyengat kembali mengganggu warga. Anak-anak di sana rentan sakit seperti flu, demam, dan diare, penyakit yang kerap muncul di lingkungan yang kotor dan penuh sampah.
“Kami juga sangat kekurangan air bersih saat kemarau. Kadang sampai harus mandi di SPBU Pertamina Mamiki dan bawa galon untuk memasak,” ujar Rosmiati.
Ancaman Kesehatan Akibat Perubahan Iklim
Perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem, banjir, dan polusi memperparah risiko kesehatan warga.
Dari data lapangan, penyakit seperti demam berdarah dengue, flu, diare, dan gangguan pernapasan semakin sering terjadi di daerah-daerah terdampak.
Banjir yang sering datang juga meningkatkan risiko penularan penyakit akibat air kotor dan genangan, sementara panas berlebih memicu penyakit kulit dan heat stroke.
Kekurangan air bersih di musim kemarau menambah masalah kesehatan yang kian kompleks.
Harapan Warga dan Tanggung Jawab Pemerintah
Warga Perumnas Antang dan TPA Antang berharap pemerintah dapat segera mengatasi persoalan ini dengan membangun infrastruktur penahan banjir seperti waduk dan sistem pengelolaan sampah yang lebih baik.
“Banjir ini bukan hanya soal kerugian materi, tapi juga ancaman kesehatan dan keselamatan kami,” kata Dg. Sese.
Perubahan iklim adalah kenyataan yang harus dihadapi Makassar. Bagaimana kota ini bertindak kini akan menentukan masa depan warganya yang rentan dan terpinggirkan.
Krisis Kekeringan dan Ancaman Tambang Pasir Laut di Sulawesi Selatan
Tak hanya banjir dan cuaca ekstrem yang mengancam warga Makassar. Sepanjang tahun 2023, Sulawesi Selatan menghadapi tantangan lain yang tak kalah serius: kekeringan berkepanjangan yang menggerus ketahanan pangan dan menimbulkan krisis air.
Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menunjukkan, sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di provinsi ini mengalami kekeringan yang parah. Alih fungsi tutupan lahan dan berkurangnya air irigasi membuat sekitar 153 hektar lahan pertanian gagal panen.
Arfiandi, Kepala Divisi Hukum dan Politik Hijau WALHI Sulsel, dalam catatan akhir tahun 2023 menyatakan bahwa kondisi ini bukan hanya soal kekeringan biasa, melainkan sebuah peringatan keras tentang bagaimana perubahan iklim dan eksploitasi lingkungan berjalan beriringan, memperburuk kehidupan masyarakat pesisir dan petani kecil.
Tambang Pasir Laut dan Reklamasi: Luka di Pesisir Sulsel
Sementara itu, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Sulawesi Selatan terus menghadapi ancaman tambang pasir laut dan reklamasi yang masif. Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Sulsel yang masih melegitimasi aktivitas tambang ini menimbulkan konsekuensi serius terhadap lingkungan dan masyarakat.
Dampaknya sudah terasa di pesisir Galesong Takalar dan Pulau Kodingareng, Makassar.
Menurut Arfiandi, aktivitas tambang pasir laut telah menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan, termasuk rusaknya wilayah tangkap ikan, abrasi pantai, hingga pemiskinan warga pesisir yang menggantungkan hidup dari laut.
“Laut tidak lagi seperti dulu. Kondisi ini sangat merugikan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam,” ujarnya.
Polusi Limbah Smelter di Bantaeng
Selain itu, pesisir Bantaeng juga mengalami pencemaran serius akibat aktivitas smelter yang kurang memperhatikan aspek kesehatan lingkungan. Limbah beracun mengandung zat kimia berbahaya terbukti terkontaminasi di beberapa sumber air yang digunakan masyarakat.
Situasi ini memperlihatkan gambaran menyeluruh tentang bagaimana pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali berhadapan langsung dengan kebutuhan dasar manusia akan lingkungan hidup yang sehat.
Perubahan Iklim, Krisis Lingkungan, dan Kesehatan Masyarakat
Dari banjir dan kekeringan di perkotaan hingga tambang pasir dan polusi di pesisir, Sulawesi Selatan sedang berada di persimpangan kritis. Perubahan iklim bukan lagi isu jauh atau abstrak; ia sudah nyata berdampak pada setiap aspek kehidupan warga, terutama mereka yang paling rentan.
Warga Makassar yang tinggal di Perumnas Antang, seperti Dg. Sese, merasakan langsung bagaimana bencana alam berulang setiap tahun membawa kerusakan dan ancaman penyakit.
Di pesisir, masyarakat seperti di Pulau Kodingareng dan Galesong menghadapi pemiskinan akibat rusaknya lingkungan laut.
Krisis iklim dan lingkungan ini menuntut respons cepat dan terintegrasi dari pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Jika tidak, kerentanan sosial dan kesehatan masyarakat hanya akan kian memburuk.
Perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan. Ia telah tiba, mengetuk pintu-pintu rumah warga miskin kota dan pesisir. Dan yang paling duluan tumbang, adalah kesehatan mereka. (mg1/IN)