inspirasinusantara.id — Krisis iklim kini tak hanya terasa di udara dan lautan. Sungai-sungai di berbagai penjuru negeri pun mulai “demam”.
Analisis terbaru terhadap hampir 1.500 lokasi sungai selama lebih dari 40 tahun menemukan bahwa frekuensi, intensitas, dan durasi gelombang panas meningkat tajam, menimbulkan ancaman serius bagi ekosistem air tawar dan spesies yang bergantung pada suhu dingin.
“Tren gelombang panas sungai justru meningkat lebih cepat daripada gelombang panas udara. Itu hal yang sangat mengejutkan,” ungkap Li Li, Profesor Teknik Lingkungan di Penn State University.
Penelitian yang dimuat dalam jurnal bergengsi Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) ini menjadi kajian mendalam pertama yang menyoroti fenomena gelombang panas sungai didefinisikan sebagai periode lima hari berturut-turut dengan suhu jauh di atas rata-rata musiman. Hasilnya, perubahan iklim akibat aktivitas manusia muncul sebagai faktor pendorong utama dari tren mengkhawatirkan ini.
Salju Mencair, Air Menghangat, Ikan Terancam
Para peneliti mencatat, berkurangnya lapisan salju dan melambatnya aliran air membuat suhu sungai meningkat signifikan. Selain itu, bendungan, pembangunan beton dan aspal yang menyerap panas, turut memperburuk kondisi.
Akibatnya, spesies seperti salmon dan trout kini berada dalam kondisi rentan karena air yang lebih hangat mengandung lebih sedikit oksigen, sementara metabolisme ikan meningkat.
“Penting untuk mendokumentasikan kematian ikan agar kita tahu tren sebenarnya yang sedang terjadi,” ujar Li.
Ia menambahkan, peningkatan suhu ini membuat spesies air dingin mengalami sekitar 12 hari tambahan stres panas setiap tahunnya kondisi yang dapat mempercepat penurunan populasi.
Dari 1.471 lokasi pemantauan di seluruh Amerika Serikat antara 1980 hingga 2022, para ilmuwan menemukan lonjakan signifikan dalam intensitas gelombang panas sungai. Pada 2022, rata-rata terjadi 1,8 kali gelombang panas tambahan per tahun dibanding empat dekade lalu, dengan suhu puncak 0,8°F lebih tinggi dan durasi yang bertahan tiga hari lebih lama.
Kenaikan ini bukan sekadar angka. Menurut para peneliti, suhu air yang melewati ambang 59°F (15°C) sudah cukup membuat ikan seperti trout banteng kesulitan bertahan hidup.
Peran Manusia Bisa Jadi Solusi
Meski terdengar suram, para ahli meyakini manajemen sumber daya air yang lebih bijak dapat membantu menekan dampaknya.
“Cara kita menggunakan air, cara kita mengelola bendungan, bahkan pola irigasi, bisa memengaruhi tingkat panas sungai,” kata Jonathan Walter, peneliti di UC Davis Center for Watershed Sciences, dikutip dari CNBC.
Walter menilai, dengan pengelolaan waduk yang baik, pelepasan air dapat diatur agar suhu di hilir tetap lebih sejuk strategi sederhana namun penting untuk menyelamatkan kehidupan akuatik di masa depan.
Sungai, Cermin Krisis Iklim yang Tak Terlihat
Berbeda dengan lautan atau danau yang mudah dipantau lewat data satelit, suhu sungai jauh lebih sulit diukur karena sensor pemantauan sering kali tidak konsisten. Namun berkat kumpulan data jangka panjang, kini kita tahu: sungai-sungai pun ikut memanas seiring bumi yang kian terbakar.
“Ketika kita bicara soal air, perhatian publik biasanya hanya tertuju pada jumlahnya,” tutur Li.
“Padahal, kualitas dan suhu air juga menentukan masa depan kehidupan di dalamnya. Kami berharap studi ini bisa membuka mata banyak pihak bahwa krisis iklim kini juga mengalir di sungai-sungai kita.” lanjutnya. (*/IN)



