back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
27.3 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

BI Sulsel Tutup BEKS 2025, Perkuat Ekosistem Ekonomi Syariah Inklusif

MAKASSAR, inspirasinusantara.id — Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulawesi Selatan (KPwBI Sulsel) resmi menutup rangkaian kegiatan Bulan Ekonomi dan Keuangan Syariah (BEKS) 2025...
BerandaBudayaOpiniGugatan 200 Miliar ke Tempo: Siapa yang Boleh Bicara Benar?

Gugatan 200 Miliar ke Tempo: Siapa yang Boleh Bicara Benar?

Oleh: Farisal 

KETIKA Menteri Pertanian  Andi Amran Sulaiman menggugat Tempo Inti Media sebesar Rp 200 miliar, publik sontak terbelah. Bagi sebagian orang, ini langkah wajar untuk melindungi nama baik. Bagi yang lain, ini sinyal bahaya bagi kebebasan pers.

Kasus ini bermula dari laporan Tempo berjudul “Poles-Poles Beras Busuk”,  yang menyoroti kebijakan pembelian gabah “any quality” oleh Bulog. Di tengah perdebatan harga beras dan kebijakan pangan, laporan itu dianggap “menyerang” kementerian. Gugatan pun lahir.

Namun, di balik hiruk pikuk hukum dan citra, ada pertanyaan yang lebih mendalam: siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran di ruang publik?

Bagi Michel Foucault , kebenaran bukanlah sesuatu yang netral. Ia selalu berkelindan dengan kuasa atau siapa yang bicara, dari posisi mana, dan untuk kepentingan siapa.

Negara, lewat kementeriannya, tentu punya kuasa formal: kebijakan, data, dan legitimasi hukum. Tetapi media seperti Tempo juga punya kuasa lain: kuasa simbolik yang lahir dari kepercayaan publik dan sejarahnya sebagai pengawas kekuasaan.

Ketika dua kuasa ini berhadapan, yang terjadi bukan sekadar sengketa hukum, tapi pertarungan atas wacana, siapa yang boleh bicara, dan sejauh mana.

Gugatan Rp 200 miliar itu, lebih dari sekadar angka. Ia adalah bentuk kuasa yang berupaya mendisiplinkan ruang tutur. Bahwa “bicara tentang pemerintah” ada batasnya. Bahwa “kritik” bisa diterjemahkan sebagai “fitnah”.

Media dan negara sama-sama mesin produksi kebenaran. Bedanya, negara sering memproduksi kebenaran dari atas, sementara media membongkarnya dari bawah.

Dalam laporan Tempo, publik diajak melihat ulang realitas pangan yang selama ini diklaim baik-baik saja. Tapi kuasa punya cara sendiri menjaga stabilitas: lewat klarifikasi resmi, pernyataan publik, hingga gugatan hukum. Foucault menyebut mekanisme ini sebagai normalisasi atau cara halus untuk menertibkan pikiran agar tak keluar dari jalur yang diinginkan.

Bagi media, risiko itu nyata. Gugatan besar bukan hanya menakutkan secara finansial, tapi juga secara simbolik. Ia bisa membuat ruang kritik menyempit, dan jurnalisme menjadi lebih hati-hati dari seharusnya.

Menarik, pertarungan ini tak hanya berlangsung di pengadilan, tapi juga di kepala publik. Kementerian dan media sama-sama berusaha membentuk persepsi publik tentang siapa yang benar. Kita, para pembaca, menjadi bagian dari permainan kuasa pengetahuan yang dibicarakan Foucault: cara berpikir, cara memercayai, bahkan cara kita memaknai “kebenaran” diatur oleh narasi yang dominan.

Di sinilah posisi media sebenarnya penting, bukan karena selalu benar, tapi karena berani membuka ruang bagi kemungkinan lain. Sebab dalam demokrasi, kebenaran tak seharusnya hanya punya satu wajah.

Demokrasi yang Sedang Diuji

Gugatan besar terhadap media selalu meninggalkan bayangan panjang. Ia bisa menjadi preseden: apakah kritik bisa dibungkam lewat angka? Jika setiap laporan investigatif dihadapi dengan gugatan, maka media bukan lagi anjing penjaga kekuasaan, tapi justru bisa menjadi hewan peliharaan dari sistem yang sama yang seharusnya diawasi.

Namun, berpihak pada kebebasan media bukan berarti menolak tanggung jawab.

Media tetap harus terbuka terhadap koreksi, tapi ruang koreksi itu sebaiknya dilakukan melalui dialog publik, bukan melalui intimidasi hukum.

Hal ini menujukan bahwa kuasa selalu hadir dalam setiap bentuk kebenaran.

Mungkin kita tak bisa tahu siapa yang sepenuhnya benar, Tempo atau Kementan, tetapi kita bisa tahu satu hal: kebenaran tak seharusnya dibungkam oleh rasa takut.

Sebab begitu rasa takut menguasai ruang publik, maka yang tersisa hanyalah gema dari kuasa, bukan lagi suara dari akal sehat. (*)