Inspirasinusantara.id — Seorang pria duduk terpaku di studio acara televisi pagi “To Proino”, wajahnya setengah bingung, setengah pasrah. Di hadapan kamera, ia menceritakan bagaimana rumah tangga yang telah ia bangun selama 12 tahun hancur, bukan karena perselingkuhan yang nyata, tetapi karena secangkir kopi—dan sepotong “ramalan” dari ChatGPT.
“Saya kira dia bercanda. Tapi tiba-tiba, saya harus keluar dari rumah. Anak-anak diberi tahu kami bercerai. Pengacara saya menelepon,” ujar pria itu, yang identitasnya dirahasiakan oleh media Yunani.
Semua bermula dari hal yang ia anggap remeh: secangkir kopi yang dibuat istrinya, lalu dipotret dan dikirim ke ChatGPT—chatbot buatan perusahaan teknologi OpenAI yang kini kian populer.
Baca juga: RTH di Makassar Minim Perhatian Pemerintah, Jauh dari Target Ideal
Sang istri, yang belakangan diketahui gemar ramalan dan sebelumnya terobsesi astrologi, mencoba tren baru di media sosial: meminta kecerdasan buatan untuk “membaca” bubuk kopi, sebuah versi digital dari tasseography.
Ramalan Digital
Tasseography, atau seni membaca nasib dari ampas kopi, memiliki akar panjang dalam budaya Mediterania dan Timur Tengah. Namun, ChatGPT bukanlah peramal. Ia tidak memiliki mata untuk pola, intuisi, atau pengalaman dalam membaca sisa seduhan Arabika dari Turki atau Yunani.
Baca juga: Berpengalaman Diselingkuhi Berkali-kali dengan Orang yang sama, Ini Pesan Maudy Ayunda!
Namun demikian, ketika foto bubuk kopi dikirimkan, ChatGPT memberikan “interpretasi”: sang suami dituduh berselingkuh dengan wanita misterius berinisial “E”. Tak hanya itu, dikatakan pula bahwa wanita ini akan menjadi takdir baru sang suami dan akan menghancurkan keluarga mereka.
Ramalan itu, betapapun absurd, membuat sang istri murka. Ia langsung meminta sang suami angkat kaki dari rumah, menelepon pengacara, dan memberitahu anak-anak bahwa perceraian tak bisa dihindari.
“Itu titik di mana saya sadar, semuanya sudah lepas kendali,” ujar sang suami.
Persidangan Tanpa Bukti
Tiga hari kemudian, surat pengadilan resmi datang. Gugatan cerai dilayangkan. Pengacara sang suami berargumen bahwa tuduhan berbasis ramalan AI tidak bisa menjadi landasan hukum.
“Tidak ada dasar hukum untuk mempercayai teks prediktif dari mesin sebagai bukti perselingkuhan,” katanya dalam pernyataan kepada stasiun televisi.
“Ini bukan perkara hukum biasa. Ini adalah krisis kepercayaan yang dipicu oleh ilusi teknologi.”
Kasus ini langsung menjadi viral di Yunani. Media lokal menyorotnya sebagai gejala baru dalam dinamika keluarga modern: munculnya peran teknologi sebagai penafsir emosi, bahkan pengganti intuisi.
Baca juga: Bukti Dugaan Syahnaz Adik Raffi Ahmad Selingkuh
Ketika Mesin Menggantikan Mistik
Fenomena ini tak luput dari perhatian para ahli budaya. Seorang praktisi tasseography di Athena, Eleni Papadopoulos, menyebut bahwa membaca bubuk kopi bukan hanya melihat gambar, tapi menafsir konteks, gestur, dan energi peminum kopi.
“ChatGPT mungkin bisa menulis puisi atau menjawab soal matematika, tapi dia tidak bisa membaca nasib dari ampas kopi. Itu seni, bukan sains,” ujarnya.
Namun bagi sang istri, yang sejak lama memercayai bintang dan ramalan, ChatGPT seolah menjadi alat konfirmasi dari kecurigaan yang telah lama ia simpan.
“Saya tahu dia tak pernah benar-benar lepas dari astrologi. Dulu kami habiskan waktu berdebat tentang horoskop,” kenang sang suami.
“Saya tak menyangka AI bisa jadi dukun berikutnya.”
Era Baru Perceraian?
Psikolog sosial di Universitas Thessaloniki, Dr. Stavros Markoulis, menyebut kasus ini sebagai contoh ekstrem dari efek confirmation bias dalam era digital.
“Kita tak mencari kebenaran. Kita mencari pembenaran. Bahkan dari mesin,” katanya.
Baca juga: Film “Beckham”: Menguak Kisah Dramatis Pesepak Bola Andal Dunia
Di tengah tren peningkatan penggunaan teknologi AI dalam kehidupan sehari-hari, dari berkirim pesan cinta hingga curhat soal kecemasan, kasus ini menyoroti satu hal: ketika mesin menjadi cermin perasaan, siapa yang memegang kendali?
Catatan Redaksi:
Kasus ini bukan sekadar soal kopi atau ramalan kecerdasan buatan atau AI semata. Ia mencerminkan krisis yang lebih dalam: ketergantungan manusia terhadap narasi digital untuk memaknai kehidupan nyata. Apakah kita masih tahu dan mampu membedakan intuisi dari ilusi, ataukah kita telah menyerahkan rasa percaya pada chatbot yang tak pernah tidur?