back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
26.7 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Makassar dalam Krisis: Jalan Panjang Menuju Kota Ramah Iklim

Warga pesisir, pekerja harian, dan aktivis muda menghadapi krisis iklim yang tak memberi ruang untuk berteduh. Negara kerap datang terlambat—atau sama sekali tidak. MAKASSAR, Inspirasinusantara.id...
BerandaEksklusifGaya Hidup Rendah Karbon Tumbuh Perlahan di Makassar

Gaya Hidup Rendah Karbon Tumbuh Perlahan di Makassar

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Di sudut timur Makassar, di antara bangunan sekolah yang sederhana dan deretan pohon yang mulai tinggi, Magfirah Nawir mengajar anak-anak membaca. Tapi lebih dari itu, ia juga menanamkan sesuatu yang tak ada dalam buku teks: kesadaran akan bumi yang makin letih.

Magfirah, guru sekolah dasar sekaligus operator di Yayasan Pendidikan Laniang, sudah akrab dengan istilah gaya hidup rendah karbon. Bukan sekadar jargon akademik, tapi ia memahami maknanya dalam tindakan konkret, seperti hemat listrik, kurangi plastik, dan ajarkan anak-anak mencintai alam sedini mungkin.

“Intinya hidup lebih bijak, lebih bertanggung jawab,” ujarnya.

Pendidikan Iklim yang Belum Sempurna

Dalam sistem Kurikulum Merdeka yang baru, Magfirah menemukan ruang untuk menyelipkan nilai-nilai lingkungan. Lewat Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), ia dan rekan-rekannya bisa mengangkat tema seperti daur ulang, penanaman pohon, atau kampanye hemat energi. Tapi ruang itu masih jauh dari ideal.

Baca juga: Masyarakat Makassar Sadar Jejak Karbon dari Kendaraan Pribadi, Tetapi Belum Ada Pilihan Lain

“Masalahnya, tidak semua guru paham atau siap,” katanya.

Kurangnya pelatihan, minimnya fasilitas, dan rendahnya kesadaran dari orang tua menjadi tantangan utama. Bahkan tempat sampah terpilah pun kadang hanya hiasan—tak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Baca juga: Kesehatan Warga Tergerus Krisis Iklim Makassar

Kurikulum boleh berubah, kata Magfirah, tapi perubahan cara berpikir tak semudah itu. Budaya boros energi dan konsumsi plastik masih melekat di ruang-ruang sekolah. Meski begitu, ia tetap percaya, pendidikan adalah jalan panjang yang harus terus ditempuh.

“Kalau tidak dimulai dari anak-anak, kapan lagi?” ujarnya.

Adiwiyata, Semangat yang Tak Boleh Padam

Sekolah tempat Magfirah mengajar pernah ikut program Adiwiyata, inisiatif nasional untuk menjadikan sekolah sebagai ruang edukasi lingkungan. Dampaknya terasa lantaran taman-taman tumbuh, siswa lebih sadar akan sampah, dan suasana sekolah menjadi lebih hijau.

“Tapi semangat itu kadang memudar,” katanya, “apalagi kalau tidak ada kegiatan lanjutan.”

Tanpa konsistensi, perubahan mudah luntur. Anak-anak kembali jajan dengan kantong plastik, tumbler tertinggal di rumah, dan kebun kecil di pojok sekolah menjadi gersang karena tak disiram.

“Kebiasaan lama itu kuat sekali,” Magfirah mengeluh.

Tumbler
Siswa membawa tumbler ke sekolah. (Dok. Ist)

Namun ia tak menyerah. Dengan mengubah pendekatan menjadi lebih menyenangkan—lomba daur ulang, tanam pohon bareng, hingga kampanye hemat energi—ia mencoba menyalakan kembali api kecil kesadaran di hati murid-muridnya.

Bagi Magfirah, pendidikan gaya hidup rendah karbon bukan sekadar tren. Ini adalah investasi moral dan ekologis untuk generasi yang akan mewarisi dunia yang lebih panas, lebih rawan bencana, dan lebih penuh ketidakpastian.

“Sangat penting,” tegasnya. “Dampak perubahan iklim sudah mulai kita rasakan. Kalau anak-anak tidak dibiasakan sejak sekarang, nanti mereka akan tumbuh tanpa rasa tanggung jawab terhadap lingkungan.”

Ia berharap sistem pendidikan ke depan lebih serius memberi ruang pada isu iklim—bukan hanya sebagai sisipan, tapi sebagai inti dari kurikulum.

“Kalau perlu, semua guru dapat pelatihan rutin tentang pendidikan lingkungan,” katanya.

Namun ia juga sadar, sekolah tak bisa berjalan sendiri. Butuh dukungan dari rumah, dari masyarakat, dan dari negara.

Dunia usaha pun, katanya, tak boleh lepas tangan. Karena pendidikan lingkungan bukan semata soal teori, tapi soal budaya, teladan, dan ekosistem sosial yang mendukung.

***

Kota Panas dan Generasi yang Resah

Setiap pagi, Maulana Ishak memutar kunci motornya, mengenakan jaket tipis, lalu melaju dari rumah ke kampus Pascasarjana Universitas Hasanuddin di Tamalanrea, Makassar.

Bising knalpot, panas jalanan, dan debu kota menjadi bagian dari rutinitasnya. Ia tahu, di setiap tarikan gas, ada jejak karbon yang ikut menebal di atmosfer.

Namun, di balik perjalanan harian itu, Maulana menyimpan keresahan yang lebih besar — krisis iklim yang mengintai masa depan kota tempat ia tumbuh.

“Saya meminimalisir penggunaan listrik di rumah,” ujarnya.

“Tapi saya masih harus pakai motor ke mana-mana. Transportasi publik belum memadai.”

Di usia dua puluhan, Maulana bukan tipe aktivis yang membawa spanduk di jalan. Tapi ia adalah bagian dari generasi muda kota yang sadar bahwa pilihan sehari-hari—seberapa kecil pun—punya dampak pada dunia yang lebih besar.

Kebiasaan yang Tertahan Infrastruktur

Meski mengaku tertarik pada gaya hidup rendah karbon, Maulana mengakui masih kesulitan mengubah banyak kebiasaan. Misalnya dalam pengelolaan sampah.

“Belum maksimal memilah karena tidak ada fasilitas yang mendukung,” katanya.

Ia menyimpan keresahan yang semakin kuat setelah mengetahui bahwa ancaman iklim bukan lagi sesuatu yang jauh. Panas di Makassar makin menyengat, hujan makin tak menentu.

“Stabilitas sistem kehidupan terganggu,” katanya pelan.

Di kota ini, suhu bisa mencapai lebih dari 34 derajat Celsius saat siang hari, dengan tingkat kelembapan tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, badai dan banjir sesekali melumpuhkan kawasan-kawasan tertentu.

Tapi isu lingkungan belum benar-benar jadi arus utama di ruang publik, apalagi dalam kebijakan.

Edukasi dari Dunia Maya dan Komunitas Pinggiran

Kesadaran Maulana tak datang dari ruang kelas. Ia mengenangnya sebagai fragmen-fragmen kecil dari komunitas dan unggahan media sosial.

Dalam sistem pendidikan formal, isu krisis iklim masih jarang masuk ke kurikulum utama. Bahkan di tingkat perguruan tinggi, diskusi seputar jejak karbon lebih banyak beredar di luar ruang kuliah—di forum komunitas, webinar, atau diskusi santai di kafe kampus.

Maulana aktif mengikuti komunitas-komunitas mahasiswa yang membahas isu sosial dan lingkungan. Dari sanalah ia belajar soal pentingnya hemat energi, transisi energi terbarukan, dan budaya rendah emisi.

Bayangan Masa Depan dan Harapan Kolektif

Maulana percaya bahwa gaya hidup rendah karbon bukan hal mustahil di Makassar—asal ada komitmen bersama.

“Budaya seperti ini bisa jadi arus utama, kalau institusi juga terlibat aktif,” tegasnya.

Ia berharap pemerintah tak hanya meluncurkan jargon hijau, tapi juga memberi teladan konkret. Ia menyebut pentingnya membangun sistem transportasi publik yang andal, fasilitas daur ulang sampah, hingga program insentif bagi warga yang mengadopsi gaya hidup hijau.

“Institusi mesti jadi aktor utama dalam perubahan,” ujarnya.

“Bukan hanya menuntut warga, tapi juga memberi contoh dan menyentuh akar masalah.”

Menakar Perubahan dari Skala Pribadi

Di tengah keterbatasan itu, Maulana masih percaya pada kekuatan pilihan individu. Mematikan lampu saat tak digunakan, membawa tumbler, tidak menyalakan AC terlalu lama.

“Kecil memang, tapi kalau banyak orang lakukan, dampaknya besar,” katanya.

***

Menjaga Bumi dari Ujung Jempol

Di tengah derasnya arus informasi digital, Kaharuddin memutuskan untuk melambat. Ia menghapus email tak penting, membatasi waktu berselancar di TikTok, dan memilih mengganti aktivitas daringnya dengan membaca buku atau berolahraga ringan.

Baginya, setiap klik di internet bukan cuma persoalan kecepatan data, tapi juga persoalan lingkungan.

“Saat kita mengirim pesan atau menyukai postingan, semua itu disimpan di pusat data yang butuh energi besar,” kata mahasiswa pascasarjana Universitas Hasanuddin ini.

“Energi itu menyumbang emisi karbon dalam jumlah signifikan.”

Setelah pandemi Covid-19, dunia makin terhubung dalam jaringan virtual. Di sisi lain, koneksi yang terus-menerus itu menyisakan jejak karbon digital yang tak kasatmata. Kaharuddin menyebut data dari platform Compare the Market: TikTok menyumbang 2,63 gram setara CO₂ per menit dari setiap pengguna aktif.

“Bayangkan kalau ada jutaan pengguna aktif selama berjam-jam,” ujarnya.

Kesadaran itu membuat Kaharuddin mempraktikkan gaya hidup digital yang lebih sadar lingkungan—sebuah pilihan yang masih jarang dibicarakan dalam kampanye iklim di Indonesia, apalagi di Makassar.

Menghitung Emisi dari Scroll dan Swipe

Kaharuddin tak menolak teknologi. Ia hanya mengingatkan bahwa teknologi—seperti bentuk konsumsi lainnya—punya dampak ekologis.

“Jejak karbon digital ini masih asing bagi banyak orang,” katanya. “Padahal dampaknya nyata.”

Ia memberi contoh sederhana seperti membersihkan kotak masuk email secara rutin. Hal itu, kata dia, bisa memangkas konsumsi energi server.

“SPAM dan email promosi itu numpuk di server dan butuh listrik terus menerus,” ujarnya.

“Hal kecil, tapi berdampak kalau dilakukan bersama-sama.”

Tak hanya di ranah digital, Kaharuddin juga berupaya hidup lebih selaras dengan alam di kehidupan nyata. Ia membawa tas belanja sendiri, memilah sampah sebisanya, dan menggunakan kendaraan pribadi dengan kesadaran bahwa setiap aktivitasnya punya konsekuensi ekologis.

“Bumi ini makhluk hidup juga, harus kita jaga untuk generasi mendatang,” katanya.

Belajar dari Alam dan Komunitas

Kesadaran lingkungan itu tidak lahir di ruang kelas. Kaharuddin menemukannya dalam perjumpaan dengan alam dan komunitas pencinta lingkungan seperti WALHI.

Dari mereka, ia belajar bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar membuang sampah pada tempatnya, tetapi menjaga kesinambungan kehidupan.

“Belajar dari alam itu penting,” katanya. “Melihat apa yang rusak, menelusuri penyebabnya lewat artikel atau diskusi komunitas.”

Ia menilai sikap acuh terhadap kerusakan lingkungan sama berbahayanya dengan krisis itu sendiri.

Dalam observasinya, banyak mahasiswa tahu soal perubahan iklim, tapi tak paham bagaimana keterlibatan pribadi bisa ikut mengubah keadaan.

“Butuh pendekatan yang lebih membumi dan dialog yang dekat dengan keseharian,” ujarnya.

Menggeser Budaya, Melawan Lupa

Bagi Kaharuddin, menjadikan gaya hidup rendah karbon sebagai budaya arus utama bukan perkara instan. Ia membayangkan proses panjang yang melibatkan individu, komunitas, dan negara dalam satu napas perubahan.

“Individu butuh kesadaran, komunitas memberi penyadaran dan ruang gerak, pemerintah bikin aturan yang mendukung,” paparnya. “Kalau salah satu tidak jalan, ya stagnan.”

Ia menyebut ketidakpedulian sebagai bola salju yang terus membesar. Semakin lama dibiarkan, semakin sulit dikendalikan. Dalam pandangannya, tantangan terbesar bukan pada teknologi atau dana, melainkan pada kemauan politik dan kepemimpinan moral.

“Masalah lingkungan adalah masalah kita semua,” katanya. “Kita harus membiasakan berpikir lintas generasi, bukan cuma soal kenyamanan hari ini.”

***

Dari Pesisir Takalar ke Kota Panas

Di usia delapan tahun, Muhajirin menyaksikan laut menyapu pekarangan rumah-rumah di desanya. Tanah yang dulu bisa ditanami, tergerus pelan-pelan oleh abrasi. Tak ada yang menjelaskan kenapa. Semua menganggapnya sebagai kutukan alam.

“Saya pikir itu proses alami,” katanya, “tapi ternyata tidak sesederhana itu.”

Abrasi yang menggerus pesisir Takalar bukan sekadar kerja gelombang, melainkan akibat dari akumulasi kesalahan manusia. Ekspansi tambak, rusaknya mangrove, dan iklim yang tak menentu menjadi sebab yang menyelinap di balik mitos.

Dari sanalah kesadaran itu tumbuh. Bahwa gaya hidup manusia, sekecil apapun, bisa menyulut perubahan yang lebih besar—baik atau buruk.

Kini, sebagai Koordinator Program Green Youth Celebes, Muhajirin menjadikan pengalaman masa kecil itu sebagai pijakan aktivisme.

Komunitasnya mengampanyekan gaya hidup rendah karbon: membawa botol minum sendiri, memakai tas kain, hingga berjalan kaki ketimbang naik motor untuk jarak dekat.

“Sesederhana itu, tapi tidak semua orang mau melakukannya,” ujarnya.

Melawan Repot, Merawat Harapan

Bagi banyak orang, gaya hidup rendah karbon tampak merepotkan. Ada yang merasa malas membawa tumbler ke kantor. Ada yang enggan berjalan kaki ke warung terdekat.

“Ini tantangan terbesar kami,” ujar Muhajirin.

“Pola pikir ‘praktis tapi boros’ ini mengakar begitu kuat.”

Tapi di tengah keengganan itu, Green Youth Celebes justru tumbuh. Mereka tak hanya menyasar sekolah-sekolah, tapi juga menjangkau ruang-ruang yang sering luput: panti asuhan, pemukiman padat, bahkan kelompok pemuda marginal. Bagi Muhajirin, edukasi iklim tak bisa elitis. Ia harus membumi.

“Semua orang bisa berkontribusi,” ujarnya. “Asal dia tahu kenapa penting, dan bagaimana caranya.”

Meski belum bisa menyajikan data kuantitatif dampak kampanye mereka, Muhajirin tak berkecil hati. Ia percaya perubahan sosial bukan semata angka.

“Kalau ada satu anak panti asuhan yang sekarang selalu bawa botol air sendiri, itu sudah dampak yang riil,” ujarnya.

Greenwashing dan Negara yang Gagal Jadi Teladan

Dalam perjalanannya, Muhajirin juga menyaksikan ironi. Banyak perusahaan berlomba membungkus diri dengan label “ramah lingkungan”, tapi nyaris tak mengubah rantai produksinya.

“Greenwashing itu nyata,” katanya. “Narasi indah di iklan, tapi jejak karbonnya tetap besar.”

Lebih menyakitkan lagi, kata dia, ketika pemerintah ikut larut dalam kemasan, tapi abai pada isi. Di ruang-ruang rapat pemerintah, air minum dalam botol plastik tetap disediakan satu per orang.

“Padahal mereka bisa jadi contoh,” ujarnya,

“Cukup gelas dan air isi ulang, itu sudah jadi pesan kuat.”

Baginya, negara seharusnya hadir bukan sebagai regulator semata, tapi juga panutan. Jika pemerintah bisa memberi insentif, menciptakan kebijakan yang berpihak, serta mengangkat komunitas akar rumput yang konsisten memperjuangkan gaya hidup rendah karbon, maka perubahan bisa lebih cepat dan meluas.

Muhajirin tahu perjuangan ini panjang. Tapi ia percaya pada kekuatan cerita.

“Kami tidak punya kekuatan politik,” katanya. “Tapi kami punya pengalaman. Dan pengalaman itu bisa mengubah orang.”

Pemimpin yang Enggan Berjalan Kaki

Di ruang kerja yang teduh di kampus Universitas Hasanuddin, Prof. Nita Rukminasari kerap membuka peta emisi karbon Makassar dengan gelisah. Ia tidak sedang membayangkan badai atau gelombang panas.

Ia sedang membayangkan motor-motor yang menumpuk di depan warung, dan jalan-jalan tanpa trotoar yang layak.

“Jarak 500 meter saja, orang kita naik motor,” keluhnya.

Sebagai Guru Besar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan sekaligus Sekretaris Pusat Studi Perubahan Iklim UNHAS, Nita telah bertahun-tahun meneliti jejak karbon di kota pesisir seperti Makassar. Tapi data ilmiah, kata dia, sering tak sanggup menandingi pola hidup sehari-hari yang tak ramah lingkungan.

“Tantangan utamanya itu, pemahaman masyarakat yang masih rendah,” ujarnya.

Emisi dari Knalpot, Bukan dari Cerobong

Banyak orang mengira krisis iklim disebabkan oleh industri besar. Tapi Prof. Nita menunjuk pelakunya di depan mata: kendaraan bermotor. Ia menyebutnya  sebagai kontributor terbesar gas rumah kaca di perkotaan.

Kemacetan
Kemacetan di Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar. (Dok. Ist)

Masalahnya, meski ada tren kendaraan listrik, sumber energinya masih dari pembangkit berbasis fosil.

“Jadi saat kita cas motor listrik, tetap saja kita pakai energi dari batu bara,” jelasnya.

Ia membandingkan dengan pengalaman saat berkunjung ke Eropa, terutama Denmark. Di sana, penggunaan sepeda bukan sekadar gaya hidup, tapi bagian dari strategi negara untuk mengurangi emisi.

“Jalan khusus sepeda itu aman, luas, menyenangkan. Di kita? Jalan kaki bisa celaka,” katanya, tertawa getir.

Program yang Menguap Setelah Dana Habis

Bukan berarti Indonesia tidak mencoba. Prof. Nita menyebut sejumlah program pengurangan emisi—termasuk yang didanai lembaga internasional—sebagai langkah awal yang patut diapresiasi. Tapi ia menyoroti masalah klasik: keberlanjutan.

“Banyak program bagus, tapi hanya sebatas proyek 1-2 tahun. Setelah dananya habis, hilang semua,” katanya.

Pemerintah, lanjutnya, tidak menyiapkan backup yang menjamin proyek itu bisa diteruskan. Akibatnya, upaya perubahan iklim menjadi seremonial—tidak tertanam di institusi, tidak meresap ke masyarakat.

“Kalau pemimpinnya tidak peduli lingkungan, jangan harap kebijakannya ramah lingkungan,” ucapnya tajam.

Perubahan Dimulai dari Dapur dan Langkah Kaki

Tapi Prof. Nita tidak pesimistis. Ia percaya bahwa perubahan harus dimulai dari bawah. Dari rumah tangga, dari cara memilih moda transportasi, dari kebiasaan membuka jendela daripada menyalakan AC.

“Edukasi iklim itu harus dimulai dari hal kecil,” katanya.

Bukan dari seminar elite atau proyek jutaan dolar, tapi dari anak-anak yang diajak berjalan kaki ke sekolah, dari ibu-ibu yang belajar memilah sampah, dari pemimpin RT yang menanam pohon di lorongnya.

Sebab, menurut Prof. Nita, krisis iklim bukan hanya soal teknologi, tapi soal budaya. Budaya naik motor ke warung, budaya membuang sampah sembarangan, budaya meremehkan pejalan kaki. (Andi/IN)

Catatan Redaksi

Wawancara ini menunjukkan betapa pentingnya membongkar struktur budaya dan kebijakan dalam menghadapi krisis iklim.

Di kota seperti Makassar, transformasi menuju gaya hidup rendah karbon tidak cukup dengan inovasi teknologi atau proyek jangka pendek. Ia menuntut visi jangka panjang, kepemimpinan yang peduli, dan keterlibatan warga dari tingkat rumah tangga.