inspirasinusantara.id — Di pesisir utara Pulau Jawa, gelombang air laut kini bukan lagi sekadar tanda pasang surut alam. Ia telah menjadi wajah nyata dari krisis iklim yang kian menggigit kehidupan manusia, terutama perempuan.
Rumah terendam, lahan pertanian asin, tambak tak lagi berproduksi dan yang paling terasa, pekerjaan perempuan perlahan hilang ditelan air. Laporan terbaru Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap, lebih dari 80 persen perempuan di wilayah pesisir Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan Demak kehilangan sumber pendapatan akibat kenaikan permukaan laut (sea level rise) dan penurunan tanah (land subsidence).
Kondisi ini membuat mereka beralih ke sektor informal tanpa jaminan sosial, bekerja sebagai buruh harian, pedagang kaki lima, bahkan migran domestik.
“Perubahan iklim bukan hanya soal cuaca ekstrem. Ia mengubah struktur ekonomi keluarga. Perempuan kini menanggung beban ganda—harus tetap menjadi pengasuh, sekaligus pencari nafkah,” Laely Nurhidayah, Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN, dikutip dari Media Indonesia.
Dari Laut yang Subur ke Daratan yang Tenggelam
Bagi perempuan seperti Siti, warga pesisir Demak, laut dulu adalah sumber kehidupan. Namun kini, air asin yang merembes hingga dapur membuatnya kehilangan tambak udang yang sudah digarap turun-temurun.
“Dulu bisa panen tiga kali setahun. Sekarang tambak tenggelam. Saya jualan gorengan saja di depan rumah,” ujarnya lirih.
Fenomena ini adalah bentuk paling nyata dari krisis iklim global. Peningkatan suhu bumi mempercepat pencairan es di kutub dan mengakibatkan kenaikan permukaan laut.
Di sisi lain, eksploitasi air tanah dan pembangunan tanpa perencanaan membuat daratan pesisir turun beberapa sentimeter setiap tahun. Gabungan dua hal inilah yang menenggelamkan ruang hidup perempuan pesisir secara harfiah dan ekonomi.
Ketimpangan Iklim: Beban yang Tak Merata
Riset BRIN menyebut, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok paling terdampak secara sosial dan ekonomi. Selain kehilangan penghasilan, mereka menghadapi risiko kekerasan struktural, kesehatan buruk akibat genangan air, hingga ancaman perkawinan anak karena tekanan ekonomi.
“Perempuan pesisir menjadi wajah dari ketimpangan iklim. Mereka tidak berkontribusi besar terhadap emisi karbon, tetapi menanggung beban terberat dari dampaknya,” tegas Laely.
Para peneliti mendesak agar kebijakan nasional menempatkan keadilan iklim (climate justice) sebagai prioritas. BRIN merekomendasikan revisi Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU No.24/2007) agar memasukkan isu perubahan iklim, relokasi manusia, dan perlindungan pekerja perempuan di sektor informal.
Program adaptasi lokal seperti pelatihan ekonomi hijau, pengolahan hasil laut berkelanjutan, dan pemberdayaan perempuan pesisir menjadi strategi penting agar mereka tidak sekadar bertahan, tapi juga bangkit.
Perempuan, Benteng Terakhir Krisis Iklim
Krisis iklim memang merampas banyak hal lahan, pekerjaan, bahkan harapan. Namun dari pesisir yang tenggelam, muncul pula kekuatan baru.
Perempuan-perempuan pesisir membuktikan bahwa meski air laut naik, semangat mereka tak pernah surut. Dalam setiap langkah kecil mencari nafkah, mereka sedang melakukan hal besar: melawan ketidakadilan iklim dengan keberanian. (*/IN)



