inspirasinusantara.id — Di tengah deru kendaraan dan gedung pencakar langit yang berkilau, kota-kota besar kini mulai merasakan tanda-tanda krisis iklim. Suhu yang semakin ekstrem bukan lagi sekadar topik global warming di buku pelajaran, tetapi nyata terasa di kulit setiap warga urban.
Jalanan yang memantulkan panas dan udara yang kian lembap menjadi bukti nyata bagaimana krisis iklim mengubah ritme hidup masyarakat kota. Perlahan tapi pasti, warga urban menyesuaikan diri mulai dari cara berpakaian hingga pilihan tempat nongkrong semua bergeser mengikuti suhu bumi yang terus meningkat.
Menurut laporan United Nations (PBB), dunia kini menghadapi krisis iklim yang terjadi lebih cepat dari perkiraan. Miliaran ton emisi karbon masih dilepaskan setiap tahun akibat produksi batu bara, minyak, dan gas. Dampaknya, suhu global melonjak dan menyebabkan cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, misalnya, kota-kota seperti Makassar, Jakarta, dan Surabaya kini mengalami gelombang panas yang membuat siang hari terasa seperti oven raksasa.
“Kalau dulu kita bisa nongkrong di taman jam dua siang, sekarang baru keluar jam lima sore aja masih terasa terpanggang,” ujar Dinda, freelancer asal Makassar yang kini lebih sering bekerja dari kafe ber-AC.
Gaya Hidup Beradaptasi di Tengah Krisis Iklim
Generasi muda yang hidup di tengah perubahan iklim kini mulai menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru. Dari baju berbahan breathable, tumbler isi ulang, hingga transportasi ramah lingkungan, semuanya menjadi simbol gaya hidup baru yang bukan hanya keren, tapi juga berkelanjutan.
“Sekarang outfit bukan cuma soal estetik, tapi juga fungsional. Aku pilih bahan linen dan katun organik karena lebih adem dan ramah lingkungan,” kata Dinda.
Krisis yang Tak Lagi Jauh dari Dompet
Namun, perubahan iklim tak hanya soal panas atau gaya hidup. Ia berdampak langsung pada ekonomi dan ketahanan pangan. Laporan UNEP (United Nations Environment Programme) mengungkap, lebih dari 500 juta orang kini tinggal di wilayah yang terdampak erosi, dan hingga 30% bahan pangan dunia hilang akibat degradasi tanah.
Tapi di balik tantangan besar ini, sains memberi harapan. Menurut PBB, solusi berbasis alam bisa menjadi “napas tambahan” bagi bumi.
Konsep ini mencakup praktik seperti pertanian berkelanjutan, restorasi hutan, dan penghijauan kota. Kabar baiknya, banyak komunitas muda mulai bergerak.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pernah berkata, “Darurat iklim adalah perlombaan yang kita kalahkan, tetapi ini adalah perlombaan yang dapat kita menangkan.” dikutip dari United Nations.
Kini, saat panas ekstrem menjadi rutinitas baru dan udara segar kian langka, generasi muda urban punya peran penting dalam menentukan arah masa depan bumi di tengah krisis iklim yang kian nyata. Langkah kecil seperti memilih produk ramah lingkungan, menanam pohon, atau mengurangi jejak karbon bukan lagi sekadar tren gaya hidup hijau, melainkan bentuk kepedulian konkret terhadap keberlanjutan planet yang kita tinggali. (*/IN)



