back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
25.1 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

BAZNAS Enrekang Salurkan Rp15 Juta untuk Bedah Rumah Keluarga Almarhum Aldi

ENREKANG, inspirasinusantara.id — Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Enrekang menyalurkan bantuan program bedah rumah senilai Rp15 juta kepada keluarga almarhum Aldi Oktavian, pelajar Madrasah...
BerandaBudayaMasyarakat Adat Karampuang Jadi Teladan Hadapi Krisis Iklim

Masyarakat Adat Karampuang Jadi Teladan Hadapi Krisis Iklim

inspirasinusantara.id — Gelombang panas yang kian ekstrem, hujan tak menentu, hingga gagal panen di sejumlah daerah menjadi tanda bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja. Di tengah dunia yang sibuk mencari solusi atas krisis iklim, masyarakat adat Karampuang di Sinjai, Sulawesi Selatan, justru telah lebih dulu menemukan jawabannya: hidup seirama dengan alam dan menjadikannya guru kehidupan.

Bagi masyarakat Karampuang, menjaga keseimbangan lingkungan bukanlah konsep baru atau sekadar jargon hijau. Sejak ratusan tahun lalu, mereka telah membangun sistem sosial, spiritual, dan ekologis yang menempatkan alam sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Di saat dunia sibuk mencari solusi teknologi untuk perubahan iklim, komunitas ini justru menawarkan jalan pulang: kembali pada kebijaksanaan lokal yang berpijak pada rasa hormat terhadap bumi.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2023 menyebutkan bahwa kawasan tropis seperti Indonesia menjadi wilayah paling rentan terhadap pemanasan global. Namun, ketahanan ekologi masyarakat adat seperti Karampuang justru menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana pengetahuan tradisional dapat berfungsi sebagai benteng alami menghadapi perubahan iklim.

Di tengah krisis iklim yang kian kompleks, model kehidupan seperti ini menunjukkan bahwa adaptasi iklim tidak harus dimulai dari kebijakan besar atau teknologi canggih. Kadang, jawabannya sudah lama ada di tanah sendiri dalam bentuk nilai-nilai leluhur yang masih dijaga dengan penuh kesadaran.

Empat Penjaga Alam: Sistem Adat yang Menyelamatkan

Masyarakat Karampuang memiliki sistem kepemimpinan adat unik bernama Ade’ Eppae atau “empat pemimpin adat.” Keempatnya melambangkan empat elemen alam: api, tanah, angin, dan air—simbol keseimbangan hidup yang menjadi dasar tata kelola sosial mereka.

Arung atau Tomatoa berperan sebagai pemimpin tertinggi yang melambangkan api dan menjadi penentu arah serta legitimasi aturan adat. Gella, sang perdana menteri adat, mewakili tanah dan bertugas mengatur kesejahteraan serta urusan agraria.

Baca juga  : Siri’ na Pacce: Kearifan Lokal Sulsel Tangkal Krisis Iklim

Sanro, tabib dan penjaga pengetahuan musim, melambangkan angin, sementara Guru, sang penjaga air, bertanggung jawab atas pendidikan serta pewarisan nilai-nilai kehidupan.

Keempat figur ini saling mengimbangi satu sama lain. Ketika Arung marah, Guru menenangkan. Saat Gella menegaskan aturan, Sanro memberi keseimbangan dengan kearifan spiritual.

Struktur sosial ini menciptakan sistem pemerintahan berbasis musyawarah dan keseimbangan kekuasaan—sebuah bentuk harmoni ekologis dan sosial yang memastikan keputusan tidak merusak keseimbangan alam.

Aturan Adat sebagai Regulasi Ekologis

Kehidupan masyarakat Karampuang diatur oleh Paseng ri Ade’, seperangkat aturan adat yang berfungsi seperti undang-undang ekologis. Setiap penebangan pohon harus disertai penanaman bibit pengganti.

Pengambilan madu mengikuti fase bulan agar koloni lebah tetap lestari. Sebagian hasil panen wajib diserahkan kepada dewan adat sebagai simbol rezeki bersama.

Mereka yang melanggar bukan hanya mendapat sanksi sosial, tetapi juga bisa kehilangan hak atas tanah adatnya. Prinsip ini menegaskan bahwa bagi Karampuang, menjaga alam bukan sekadar tanggung jawab moral, melainkan kewajiban sosial yang diatur secara konkret.

Sistem ini sejalan dengan konsep Traditional Ecological Knowledge (TEK)—pengetahuan lokal yang terbukti efektif dalam menjaga kelestarian alam. Sejumlah penelitian, termasuk di India, menunjukkan bahwa hukum adat seperti ini justru lebih mampu menjaga keberlanjutan hutan dibanding regulasi modern yang bersifat top-down.

Ritual Sebagai Sekolah Ekologi

Setiap tahun, masyarakat Karampuang menggelar ritual Mappogau Sihanua, perayaan syukur atas panen sekaligus momen pendidikan ekologis lintas generasi. Anak-anak membersihkan jalan desa, para pemuda mendokumentasikan upacara lewat media sosial, sementara para perempuan khususnya Sanro menurunkan pengetahuan tentang tanaman obat dan nilai spiritual kepada generasi muda.

Ritual ini bukan sekadar seremoni adat, tetapi juga berfungsi sebagai “kurikulum hidup” yang menanamkan kesadaran ekologis sejak dini. Melalui kegiatan tersebut, masyarakat Karampuang menegaskan satu hal penting: bahwa menjaga alam adalah bagian dari menjaga kehidupan.

Di tengah gempuran krisis iklim, Karampuang memberi pesan kuat kepada dunia—bahwa kearifan lokal, bila dijaga dan dipelajari, bisa menjadi panduan berharga menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. (*/IN)